Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 22 September 2017

IGD dan PICU (WIKAN INDRARTO)

Kasus meninggalnya bayi Tiara Debora Simanjorang (4 bulan) di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta, Minggu, 3 September 2017, dini hari, sungguh memilukan. Polemik pun segera muncul terkait pelayanan medis kepada pasien di IGD dan PICU. Bagaimana duduk perkara peristiwa ini?

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, pada Pasal 29 Ayat 1 disebutkan bahwa RS mempunyai kewajiban memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya.

Yang disebut dengan instalasi gawat darurat (IGD) adalah salah satu unit di rumah sakit yang berfungsi untuk menerima, menstabilkan, dan mengatur pasien dengan gejala yang bervariasi dan pada kondisi gawat.

Mengutip Dr Rudy Limantara pada Jurnal Kedokteran Brawijaya Malang tahun 2015, ia mengungkapkan faktor-faktor yang memengaruhi tingginya angka kematian pasien di IGD sebenarnya merupakan indikator penting kinerja dan mutu suatu rumah sakit.

Kematian pasien

Data menunjukkan, kematian pasien di IGD terbanyak terjadi pada 6-12 jam pertama, yang juga dipengaruhi jenis morbiditas dan usia pasien. Analisis akar masalah mengidentifikasi faktor pre-hospital oleh masyarakat sebagai determinan keterlambatan penanganan pasien di IGD, yang dapat meningkatkan risiko kematian pasien.

Di sisi lain, ada faktor aspek sumber daya manusia di IGD, demikian juga dengan kinerja monitoring komite mutu RS yang belum baik, bisa meningkatkan angka kematian.

Sesuai SK Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Dr Supriyantoro pada 26 Juli 2011 Nomor HK.02.04/I/1996/11,intensive care unit (ICU) adalah suatu bagian dari RS yang ditujukan untuk melakukan observasi, perawatan, dan terapi pasien yang menderita penyakit akut, cedera atau penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa, dengan prognosis dubia atau kemungkinan sembuh tidak jelas, yang diharapkan masih dapat pulih atau reversibel.

PICU

Pediatric intensive care unit (PICU) adalah ruangan perawatan khusus pasien anak yang butuh penanganan intensif. Pasien yang layak dirawat di PICU adalah pasien yang masih diharapkan pulih kembali, yang memerlukan tindakan medis segera, pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara terkoordinasi dan berkelanjutan dengan metode terapi titrasi, dan pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinu dan tindakan segera, untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis.

Di Amerika sekitar 20 persen pasien (1 dari 5 atau setara 500.000 orang per tahun) meninggal di PICU, sedangkan angka kematian di PICU di seluruh dunia sekitar 25 persen.

Profesor Linda Aiken dari Universitas Pennsylvania, AS, (2014) menunjukkan data dari 30 negara di dunia bahwa setiap penambahan seorang pasien akan meningkatkan beban kerja perawat PICU, yang berkaitan dengan kenaikan sebesar 7 persen kasus kematian pasien. Angka kematian di ICU RSUP dr Sardjito Yogyakarta pada tahun 2010 adalah 31 persen. Dari jumlah itu, 8 persen di antaranya meninggal sebelum 48 jam dirawat, dan 23 persen meninggal setelah dirawat lebih dari dua hari.

Dr Hardisman (2004) di Padang menemukan angka mortalitas pasien di ICU 25,6 persen, lama rawatan lebih dari 7 hari, dan angka mortalitas cenderung lebih tinggi pada pasien usia <10 tahun dan >50 tahun (p<0,05).

Dr Armiati, dalam Jurnal Media Medika Muda FK UNDIP Semarang (2014) meneliti tentang acute physiology and chronic health evaluation (APACHE)score, yang merupakan sistem skoring untuk menentukan luaran klinis pasien di ICU.

Terdapat korelasi yang bermakna antara APACHE II score dan angka kematian, semakin tinggi APACHE II score pasien, semakin besar kemungkinan pasien keluar PICU dalam kondisi meninggal (r:+0,705).

Tanggung jawab

Mengacu pada UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, pada Bab IV Pasal 6 Ayat 1 Poin d disebutkan tentang tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah untuk memberikan perlindungan kepada rumah sakit. Tujuannya agar RS dapat memberikan pelayanan kesehatan secara profesional dan bertanggung jawab.

Oleh karena faktor kontributor utama kematian pasien di IGD adalah faktor pre-hospital dan belum optimalnya standar prosedur operasional pengelolaan kegawatan-meskipun kecepatan pelayanan atau response timesudah cukup optimal-maka pemerintah juga berkewajiban melakukan edukasi kepada masyarakat  terkait faktor prehospital dan emergency drill di IGD RS secara berkala.

Selain itu, prediksi akan kematian pasien kritis yang akan masuk PICU perlu ditetapkan dan diinformasikan kepada pasien agar dapat mengetahui besar kecilnya peluang pasien memperoleh keuntungan dari perawatan berbiaya (sangat) mahal yang dilakukan di PICU.

Meskipun pada UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit secara rinci mengatur hak dan kewajiban rumah sakit ataupun pasien, dalam setiap perselisihan selalu ada jalan lain yang bersifat kekeluargaan dan lebih manusiawi sifatnya.

Perlu kewaspadaan

Untuk efektivitas, keselamatan dan ekonomisnya pelayanan PICU, RS perlu mengembangkan unit pelayanan tingkat tinggi (high care unit/HCU) yang menjadi unit perawatan antara, dari bangsal rawat dan PlCU. Di HCU, tidak diperlukan peralatan canggih seperti PICU, tetapi yang diperlukan adalah kewaspadaan dan pemantauan yang tinggi atau ketat.

Hubungan antara kematian bayi Tiara Debora Simanjorang di IGD dan tidak dilakukannya perawatan di PICU belum dapat dipastikan. Namun, pelayanan medis kepada pasien di IGD dan PICU perlu terus diperbaiki semua pihak, termasuk pada faktor pre-hospital,untuk menekan angka kematian pasien.

Apakah Anda sudah terlibat?

 WIKAN INDRARTO 

Sekretaris IDI Wilayah DIY, Dokter Spesialis Anak RS Panti Rapih Yogyakarta, Alumnus S-3 UGM, Pengurus ARSSI DIY

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 September 2017, di halaman 7 dengan judul "IGD dan PICU".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger