Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 10 Oktober 2017

ANALISIS POLITIK J KRISTIADI: Profesionalisme TNI Harga Mati (Kompas)

Presiden Joko Widodo dengan tegas dan tandas pada HUT Ke-72 TNI menekankan agar TNI tidak berpolitik praktis. Peringatan itu bukan hanya merespons kegaduhan politik tentang kontroversinonton bareng film Pengkhianatan G30S/PKI; Panglima TNI tidak wajib lapor kepada Menteri Pertahanan dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, dan sejenisnya; melainkan mengantisipasi munculnya masalah lebih besar lagi. Sebab, keterlibatan TNI dalam politik mempunyai akar yang sangat kuat, yaitu persepsi diri sebagai institusi yang semula bernama laskar rakyat adalah embrio tentara Indonesia. Mereka ikut merebut kemerdekaan, maka mereka merasa ikut membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Fakta sejarah tersebut benar, tetapi semakin lama fakta itu menjadi hak sejarah bagi TNI terlibat politik. Babak baru perpolitikan Indonesia, akhir tahun 1990-an, mendorong terwujudnya TNI yang profesional. Perdebatan tentang profesionalisme militer sudah terjadi puluhan tahun lalu. Salah satu yang dapat dijadikan acuan adalah Huntington (1977). Perwira militer di abad modern adalah status sosial dengan ciri-ciri: (1) keahlian dalam manajemen kekerasan; (2) hubungan saling menguntungkan (pertanggungjawaban terhadap klien, masyarakat, atau negara); (3) jiwa korsa dan semangat korps serta terikat dengan ideologi doktrin militer tertentu. Dalam konteks Indonesia, semangat itu ditegaskan secara komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Tujuan utama reformasi TNI adalah mewujudkan profesionalisme TNI. Intinya TNI fokus pada tugas utama, yaitu bertanggung jawab di bidang pertahanan, terutama ancaman militer asing. Sayangnya, setelah lebih dari satu dasawarsa, reformasi TNI makin tak jelas. Agenda reformasi TNI mengalami kejumudan (Agus Widjojo, Transformasi TNI, 2015). Isu reformasi TNI (dan Polri) tenggelam dalam kegaduhan politik yang diproduksi oleh agenda politik yang sarat dengan kompetisi membangun imperium kekuasaan; perang siasat para politisi yang membuat adonan antara populisme, sentimen primordial, politik pasca-kebenaran, dan kekuatan modal. Akibatnya, otoritas politik dan masyarakat sipil jadi melempem dan lengah melanjutkan agenda yang penting itu. Otoritas sipil tidak kompeten dan gagap membangun peradaban politik yang demokratis.

Agenda reformasi TNI dan Polri mangkrak dan menyisakan berbagai masalah, seperti tiadanya koherensi, kohesivitas, ketidakjelasan, kekaburan, serta parsialitas dari UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Bahkan, rencana UU tentang peradilan militer yang menjadi bagian reformasi TNI dan Polri tak diketahui lagi juntrungannya. Akibatnya, para aktor yang terlibat dalam fungsi pertahanan, keamanan, dan ketertiban hukum punya diskresi sesuai pemahaman mereka sendiri.

Diskresi yang menyengat publik akhir-akhir ini adalah pernyataan Panglima TNI yang hanya berkewajiban melapor kepada Presiden, tidak perlu melapor Menhan atau Menko Polhukam. Mungkin yang dimaksud adalah penggalan Pasal 3 Ayat (1) UU No 34/2004 tentang TNI. Namun, konstitusi menegaskan Indonesia adalah negara hukum, bukan negara pasal. Maka, pemahaman terhadap UU dilarang terpaku pada bunyi pasal. Sebab, ide dasar UU No 34/2004 adalah menempatkan TNI secara terhormat sebagai institusi yang tugas pokoknya mempertahankan negara dari agresi militer asing, bukan instrumen politik penguasa untuk membangun basis politik. Oleh sebab itu, reformasi TNI yang diprakarsai beberapa perwira tinggi berkolaborasi dengan kekuatan masyarakat sipil merancang TNI dan Polri sesuai dengan panggilan zaman. Konkretnya, TNI dan Polri tunduk kepada tertib politik yang berkedaulatan rakyat. Prinsip tersebut ditegaskan Pasal 2 Ayat (d) UU No 34/2004 bahwa "tentara profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi".

Berdasarkan prinsip itu, prajurit TNI tidak boleh bergerak atas inisiatif sendiri, tetapi harus berdasarkan putusan politik pejabat yang dipilih secara demokratis. Tataran kebijakan strategis adalah keputusan politik pemerintahan (presiden) dengan persetujuan DPR. Pada tataran yang lebih operasional, misalnya, Pasal 3 UU No 34/2004 menegaskan: Ayat (1) bahwa "dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden". Pada Ayat (2) disebutkan "dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI di bawah koordinasi Departemen Pertahanan". Semangat pasal ini, terutama Ayat (2), bahwa TNI adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Kementerian Pertahanan. Oleh sebab itu, Panglima TNI seyogianya demi efektivitas tugas pokoknya melakukan koordinasi ketat dengan Menhan. Koordinasi dengan Menko Polhukam juga bukan tindakan berdosa.

Beberapa catatan di atas hanya pucuk gunung es dari isu reformasi TNI dan Polri. Mengingat pentingnya isu itu, Menko Polhukam perlu segera membentuk tim untuk menuntaskan reformasi TNI dan Polri. Profesionalisme TNI dan Polri jadi harga mati.

J KRISTIADI, PENELITI SENIOR CSIS

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Oktober 2017, di halaman 15 dengan judul "Profesionalisme TNI Harga Mati".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger