Bandar narkoba sedang gencar-gencarnya memasarkan barang haram ini, termasuk dengan memberikannya kepada anak-anak usia TK dan SD. Banyak cara mereka lakukan, termasuk membuat kemasan narkoba seperti permen, agar anak-anak tertarik mencobanya.
Anak-anak adalah generasi penerus bangsa yang akan memimpin pada masa datang. Apa jadinya kalau negara dipimpin oleh generasi yang lemah dan tidak produktif? Bagaimana cara mencegah semua ini terjadi?
Anak sebagai anggota keluarga tentu mempunyai ayah, ibu, dan saudara. Anak juga menjadi anggota sekolah dan masyarakat. Tiga ruang lingkungan itu tentu mempunyai andil besar untuk melawan peredaran narkoba yang mulai membidik anak-anak.
Pada lingkungan pertama, keluarga harus menanamkan nilai-nilai keagamaan, budi pekerti, dan sopan santun kepada semua orang. Jika ada orang tak dikenal memberikan sesuatu, ajari untuk menolak dengan cara baik.
Lingkungan kedua adalah sekolah. Guru sebagai orangtua di sekolah hendaknya mengingatkan murid agar tidak menerima segala tawaran makanan dari orang tak dikenal, tidak mengizinkan aneka promo dari pihak tidak resmi, mengontrol pedagang di sekitar sekolah, dan menganjurkan murid-murid membawa bekal dari rumah.
Di lingkungan ketiga, masyarakat, anak tidak boleh main terlalu jauh dari lingkungan rumah. Apabila ada orang asing, anak diajari menjauh dan segera melapor kepada orang yang sudah dia kenal atau tetangga.
Tiga lingkungan tersebut harus saling mendukung untuk menangkal narkoba menjangkau anak TK-SD. Semoga peredaran narkoba, terutama kepada anak TK-SD, dapat segera ditanggulangi.
Erny Wahyuni, S.Pd.I, Anggota FGSM, Guru TKIT Bakti Insani Sleman Jalan Letnan Sumanto, Srimulyo, Triharjo, Sleman
Menjaga Bahasa
Oktober kita kenal sebagai Bulan Bahasa. Tentu ini berkaitan dengan Sumpah Pemuda yang diperingati setiap 28 Oktober. Meskipun demikian, tidak berarti di luar bulan Oktober kita boleh mengabaikan bahasa.
Jika pijakannya Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia telah resmi digunakan selama 89 tahun. Maka, seruannya adalah gunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Tidak mungkin seorang putra Papua berbicara dengan keluarganya menggunakan bahasa Indonesia. Demikian juga suku-suku lain. Umumnya mereka menggunakan bahasa sehari-hari di lokasi mereka.
Berbeda dengan seorang pejabat publik, seperti presiden, gubernur, atau bupati. Mereka harus menggunakan bahasa resmi negara, sesuai UUD 1945 Pasal 36 Ayat 1, bahwa bahasa resmi negara adalah bahasa Indonesia. Tidak hanya dalam ucapan, penulisan setiap kata juga harus benar sesuai kaidah.
Namun, sepertinya belum semua kantor pemerintah memberdayakan para ahli bahasa untuk mengoreksi naskah pidato pejabat.
Perhatikan Presiden Jokowi ketika mengucapkan selamat Idul Fitri kepada rakyatnya di televisi. Ia mengatakan, "Selamat hari raya Idul Fitri".
Menurut Badan Bahasa, kalimat presiden ini tidak efektif karena Idul Fitri itu sudah pasti hari raya, hari agung/besar. Jadi kalimat tersebut tidak efektif. Yang baik dan benar adalah, "Selamat Idul Fitri".
Demikian juga menteri, gubernur, dan kepala dinas. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise saat menyambut Hari Anak di Pekanbaru mengatakan, "Kita menyampaikan beribu-ribu terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada…."
Sudah beribu-ribu terima kasih, mengapa ada kata sebanyak- banyaknya? Tidak efektif!
Bagaimana dengan istilah asing? Ini lebih parah lagi. Kecenderungan menggunakan istilah atau kata-kata asing seperti tak terbendung. Sudah jelas ada bahasa kita dibagi, orang masih menyebut di-share. Sudah bagus daerah tujuan wisata, kita merasa hebat menggantinya dengan destinasi wisata. Belum lagi up date, posting, like. Mungkinkah bahasa kita yang kaya dengan sinonim ini terkalahkan bahasa asing?
Padahal, kecintaan bangsa terhadap budaya, termasuk bahasanya, akan memperkokoh jati diri bangsa. Bangsa yang kokoh tidak mudah terombang-ambing. Lihatlah bangsa Eropa, terutama Inggris, yang bahasanya digunakan di seluruh dunia.
Sebelum terlambat, mari kita peduli bahasa Indonesia. Sebaiknya, setiap lembaga pemerintah mempekerjakan ahli bahasa agar naskah pidato pejabat tidak menyalahi kaidah bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar