Tidak atau belum pernah ada satu pun bangsa di dunia ini mengangkat sumpah bersatu seperti sumpah kita. Sumpah ini tidak hanya ringkas, sumpah itu telah melintasi bahkan melampaui zamannya. Akan tetapi, dalam kekinian, sumpah itu tampaknya telah mengalami pelapukan yang lamat-lamat bisa mengeroposi keindonesiaan kita.

Pelapukan bangsa

Bila membaca pola segregasi yang terjadi pada masyarakat dan juga elite dalam pengalaman kita memilih pemimpin, terutama di tingkat lokal, tampaknya kita sedang menyaksikan suatu "turbulensi" sosial yang sedang mengguncang perlahan, tetapi laten atas semangat kebangsaan yang bineka. Dalam kontestasi pemilihan kepala daerah misalnya, preferensi sebagian (besar) pemilih memilih pemimpin berdasar relasi keseasalan—suku, dan agama—telah mendorong pemilihan kepala daerah mirip pemilihan pemimpin kelompok.

Kecenderungan ini semakin tampak pada daerah-daerah di Indonesia yang tinggi diversitas genealogi sosio-kulturalnya. Belum lagi kalau elite pada saat yang sama karena dorongan "syahwat" berkuasa yang menggebu-gebu dengan sadar memainkan tirakat politik identitas.

Pada keadaan semacam ini, cara komunikasi, argumentasi, jargon, bahkan agitasi politik berdasar semangat kelompok tak terelakkan. Sudah begitu, pengenyahan, penegasian terhadap konstituen pemilih dan calon pemimpin lain jadi semacam ritus niscaya yang memang harus dipraktikkan meraup kemenangan.

Jembatan sosial

Kita sudah paham, sepaham-pahamnya bahwa sumpah menjunjung bahasa persatuan untuk menegakkan keindonesian kita yang majemuk ini adalah bahasa Indonesia.

Kita pun sudah paham betul, bahkan mendapatkan pengalaman kebangsaan, bahwa bahasa negara-bangsa ini telah begitu kuat memperjumpakan kita, mengantarkan kita ke ruang-ruang percakapan yang membuat kita berhasil membangun bangsa yang begini bineka. Keindonesiaan begitu rekat karena kita bertukar-pikiran, mentransmisikan pengetahuan, membangun keadaban, membentuk kecerdasan melalui kelas-kelas pembelajaran, memajukan ilmu pengetahuan, memajukan kesenian dan karya kreatif karena kita sama-sama menggunakan bahasa negara-bangsa ini.

Selama 89 tahun (1928) atau 72 tahun (1945) bahasa negara-bangsa ini telah berhasil merangkum kita ke dalam satu ruang-sadar kebangsaan yang dimanis. Bahkan, "Islam Nusantara" dan "Islam yang Berkemajuan" pada etos dinamis Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam kerangka penguatan bangunan keindonesiaan yang bineka ini pun karena kita dengan canggihnya menggunakan bahasa negara-bangsa sebagai ruh diskursusnya.

Kalau demikian, sebagai bahasa pergerakan dan perjuangan, bahasa Indonesia tidak sekadar menjadi instrumen. Ia telah meneguhkan dirinya sebagai "wacana penjumpa" yang dengan keegaliterannya telah menjadi jiwa bagi pemajuan demokrasi kita.

Misalnya, saat-saat ketika kita saling-silang pendapat, mengalami gangguan kebangsaan, menyelesaikan konflik-konflik di aras nasional dan lokal, bahasa negara-bangsa ini kita gunakan. Bahasa negara-bangsa ini telah menjadi "jembatan sosial" pelerai, bahkan pendamai.

Tidak dapat dibayangkan, bila ada konflik di antara kita, lalu masing-masing kita memilih bahasa lokal sebagai jembatan penyelesai konflik. Alih-alih menyelesaikan, kita malah menyulut perpecahan karena bahasa yang kita pilih adalah "bahasa kami", bukan "bahasa kita".

Kalau demikian pula, kesangsian macam apa lagi yang membuat kita menganggap urusan bahasa negara-bangsa ini adalah perkara remeh-temeh! Kepongahan macam apa lagi yang membuat kita menganggap bahasa negara-bangsa ini hanyalah kewajiban sekelompok orang yang sibuk mengurusi soal "baik dan benar" dalam bertutur?

Kesombongan macam apa lagi yang membuat kita menganggap bahasa negara-bangsa ini urusan yang tidak ngefekkepada isi kantong kita? Nalar sesat macam apa lagi yang sedang kita "rituskan" bahwa anak-anak kita belajar dan mencintai bahasa negara-bangsa ini bukanlah jalan bagi penanaman akal-budi dan jati diri bangsa?

Bangsa lamur

Semangat memilih kepala daerah seperti mirip pemilihan pemimpin kelompok telah melamurkan kita dari pentingnya merawat bangunan kebangsaan yang bineka ini. Karena "rabun jauh", myopic, itu pulalah yang membuat elite politik kita tengah mempraktikkan politik identitas yang menyegregasi warga berdasar relasi primordial.

Dalam praktik politik seperti ini, elite melihat bangsa ini dalam fragmen siklus pemilihan pemimpin; dan karena itu mereka sesungguhnya sedang melapukkan sumpah kebangsaan, sumpah yang tidak saja melintasi tetapi juga melampui sejarah pendirian dan pemajuan bangsa ini.

Abai pada kehebatan "sumpah menjunjung bahasa persatuan" yang telah merekatkan kita sampai jelang satu abad ini membuat kita lamur dan membiarkan ruang-ruang publik adalah tempat berjayanya bahasa asing dan tersekapnya bahasa Indonesia.

Padahal, kita tentu saja tidak bisa membayangkan apa yang terjadi sekarang bila sumpah kedua dan ketiga dalam Sumpah Pemuda 1928 adalah berbangsa-berbahasa satu bangsa-bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Minang, Batak, Bugis, atau bangsa-bahasa lainnya di timur Indonesia. Bisakah Indonesia sebagai negara-bangsa seperti sekarang?

Dengan mempraktikkan cara memilih kepala daerah seperti pemilihan pemimpin kelompok dan pengabaian atas bahasa negara-bangsa di ruang-ruang publik, kita sesungguhnya sedang melapukkan sumpah yang telah menghebatkan kita itu.