Ketika kita ramai-ramai menghujat Setya Novanto (SN), sebenarnya kita sedang mengecam sistem sosial politik (sospol) kita yang jauh dari harapan rakyat. SN adalah bagian tak terpisahkan dari sistem sospol itu. SN berkali-kali berhasil lolos dari jeratan hukum dengan memanfaatkan sistem yang ada. Kekayaan yang berlimpah sanggup membuatnya bisa membiayai partai atau siapa saja untuk berada di pihaknya.

Ketika politisi dan pejabat pemerintah melihat kedudukan dan kekuasaan bukan sebagai alat untuk mengabdi kepada rakyat tetapi untuk diri sendiri atau kelompoknya, maka setiap peristiwa punya harga dalam rupiah atau dollar. Ketika parpol menggantungkan pembiayaan partai dari sumber dana satu dua orang, maka partai bukan milik anggotanya, melainkan sekadar instrumen bagi kepentingan pendana.

Ketika untuk menjadi anggota DPR harus mengeluarkan tak sedikit biaya kampanye, maka DPR adalah tempat kerja untuk mengembalikan modal politisi dengan laba cukup. Ketika penegak hukum hakim, jaksa, polisi, dan pengacara melihat kasus hukum sebagai barang dagangan, maka terjadilah transaksi di bawah meja untuk berbagi keuntungan. Pengacara bukan lagi pendamping dalam mencari celah hukum yang dapat meringankan kliennya, melainkan sebagai makelar dan negosiator bisnis kasus. Jaksa telah menjadi penjual pasal dan hakim penentu harga.

Ketika auditor negara bukan bertugas menyampaikan temuan yang benar dan mewujudkan sistem kendali keuangan yang efektif, tetapi sebagai alat untuk menawarkan laporan WTP (wajar tanpa pengecualian), maka auditor telah jadi perusak sistem akuntabilitas pejabat. Ketika mereka yang memanggul senjata tak boleh disentuh oleh hukum, maka mereka telah menggagalkan sistem supremasi sipil.

Ketika otonomi daerah telah menciptakan raja-raja kecil yang memindahkan kongkalikong dan KKN dari pusat ke daerah, maka keadilan regional telah berubah menjadi pengisapan warga daerah. Ketika ulama telah menjual diri kepada politisi yang haus kekuasaan dengan mengkhotbahkan kebencian, maka agama telah menjadi sumber perpecahan dan kemunduran peradaban.

Kinerja revolusi mental

Bisa saja kita mengatakan bahwa apa yang diuraikan di atas terlalu berlebihan. Keadaan kita tak seburuk itu. Proses demokrasi memang tak mudah dan penuh tantangan sehingga kita harus sabar. Namun, betapapun kita berupaya untuk membesarkan hati, hampir 20 tahun setelah reformasi 1998 kita belum mencapai kemajuan yang berarti dalam tata cara berpolitik yang sehat dan penyelenggaraan negara  yang bersih dan efektif.

Gerakan reformasi 1998 yang dimotori mahasiswa dan menjatuhkan rezim otoriter Soeharto yang berkuasa 32 tahun mengagendakan enam tujuan utama. Adili Soeharto dan kroni-kroninya, laksanakan amandemen UUD 1945, hapuskan Dwifungsi ABRI, pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya, tegakkan supremasi hukum, dan ciptakan pemerintahan bersih dari KKN.

Sebagian dari agenda itu gagal total seperti dalam upaya mengadili Soeharto. Sisanya, tak sepenuhnya tercapai sesuai kehendak, semangat, dan cita-cita murni para mahasiswa dan pemuda saat itu. Kita kemudian bertanya apakah bila demikian bangsa ini perlu reformasi jilid dua?

Ketika Jokowi terpilih sebagai presiden ketujuh RI, banyak dari kita yang berbesar hati dan penuh harapan karena presiden terpilih tidak hanya akan membangun ekonomi yang berkeadilan, tetapi juga mencanangkan agenda penting revolusi mental untuk mewujudkan budaya baru bangsa yang berkeadaban.

Rencana yang sudah diatur dalam instruksi presiden tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental berisi lima program yang harus digalakkan: Program Gerakan Indonesia Melayani, Program Gerakan Indonesia Bersih, Program Gerakan Indonesia Tertib, Program Gerakan Indonesia Mandiri, dan Program Gerakan Indonesia Bersatu (Kompas, 11/1). Masing-masing ditugaskan kepada menteri dan menko yang berbeda untuk dikoordinasikan dan dilaksanakan.

Pencanangan revolusi mental ini adalah bagian dari janji kampanye Jokowi-JK untuk mengubah dan memperbaiki karakter bangsa. Meski tampaknya sasaran utamanya mewujudkan SDM andal sejak dini dalam rangka memperkuat daya saing bangsa, tetapi tujuan lainnya menyangkut perihal mengikis habis budaya malas birokrat, budaya priayi yang bukan melayani tapi minta dilayani, budaya korupsi, budaya menyerobot lalu lintas, budaya malas antre, dan sejenisnya.

Budaya baru yang muncul relatif belakangan dan lebih berbahaya di era internet dan medsos adalah budaya bohong dan fitnah dengan menutup identitas asli pelaku. Semua yang memprihatinkan ini refleksi perangai negatif dan kebobrokan elite politik dan hukum.

Karena itu, jika Presiden Jokowi serius merealisasikan niatnya dalam revolusi mental, harus dimulai dari atas, bukan dari bawah. Pertama yang harus dilakukan adalah upaya serius penegakan hukum, dimulai dengan pembersihan di  tubuh institusi penegak hukum itu sendiri. Tak ada gunanya berbicara etika dan sejenisnya apabila hukum saja dilanggar dan diperjualbelikan.

Kedua, harus ada contoh nyata keberanian memberhentikan pejabat yang tak berprestasi dan tak bersih, dan menggantinya dengan pejabat baru atas dasar meritokrasi. Kita tak tahu mengapa Presiden tak lagi meminta masukan KPK tentang catatan integritas calon pejabat seperti pernah dilakukan pada awal pemerintahan.

Ketiga, jangan memberi kesan ragu mendukung upaya penegakan hukum yang benar karena khawatir dituduh campur tangan dalam institusi hukum. Kesan pembiaran terhadap perseteruan DPR-KPK serta gesekan-gesekan yang tidak jarang terjadi antara Kejaksaan, Polri, dan KPK tidak menguntungkan Presiden dan upaya revolusi mentalnya.

Pertimbangan politik jangka pendek harus dikalahkan oleh pertimbangan keadilan dan pembentukan karakter beradab bangsa jangka panjang. Jokowi telah membuktikan kerja kerasnya dengan hasil cukup menggembirakan di bidang pembangunan fisik, tetapi belum mengomunikasikan proses dan hasil kerja yang sudah dicapai dalam revolusi mental. Keberhasilan Jokowi membangun karakter bangsa adalah keberhasilan kita semua.

ABDILLAH TOHA