credit="Istimewa

"Setelah Indonesia jatuh dari rezim otoriter di bawah Soeharto tahun 1998, kini demokrasi Indonesia jatuh ke tangan politisi para penjahat."

(Anders Uhlin, 2017)

Suatu ketika seorang kawan bercerita bahwa menurut kawannya, yakni Anders Uhlin-pengamat demokrasi politik Indonesia, saat ini Indonesia dalam darurat demokrasi. Pasalnya, demokrasi yang diperjuangkan dan direbut dengan darah dan akal sehat sekarang direbut oleh para politisi penjahat.

Benarkah yang diceritakan kawan tadi pada kita? Akan kita lihat fakta-fakta di lapangan, seperti yang saya kemukakan dalam artikel ini.

Kasus dramatik korupsi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) yang menimpa banyak politikus adalah yang paling aktual. Drama politikus terjerat pidana korupsi akhirnya menyeret pimpinan partai politik. Bersatunya kuasa dan uang, uang dan kuasa, seakan tidak ada tanding. Kini politik tersandera oleh kuasa uang dan kekuasaan yang diraih dengan cara-cara kotor. Kasus yang menjerat pimpinan DPR adalah drama politik para penjahat yang amat transparan.

Pelajaran berharga

Kita menyaksikan beberapa persoalan penting yang memang memprihatinkan akal sehat dan nurani. Politikus menjual nurani dan akal sehat dengan harga murahan. Pelaku ekonomi bersedia jadi broker politikus busuk. Para agamawan bersedia menjadi jongos dan pelayan politikus bramacorah dan tuna-kebangsaan.

Karena itu, dibutuhkan lahirnya para negarawan bukan politikus. Sebab, negarawan adalah sekaligus politikus, sedangkan politikus tidak serta-merta jadi negarawan. Kita tidak memiliki negarawan. Kita hanya memiliki politikus. Itu pun politikus busuk (Syafii Maarif, 2017).

Kita pikirkan baik-baik agar bangsa ini tidak dikendalikan para broker politik. Kita juga harus berpikir keras agar bangsa ini tidak dikuasai oleh politikus penjahat. Syaratnya sederhana: massa-rakyat harus dicerdaskan dan diberi pengetahuan tentang banyak hal dengan cara sederhana dan mengenai sasaran. Masyarakat butuh pegangan dan panduan moral bermasyarakat dan bernegara.

Berharap perbaikan pada para politikus jauh panggang dari api. Karena itu, yang paling mungkin adalah para pemimpin agama, pemimpin ormas, dan rakyat biasa yang masih memiliki nalar sehat dan nurani kebangsaan dan perilaku welas asih.

Ciri-ciri kaum penjahat yang dikatakan Uhlin tak terlalu jauh dari kenyataan politik Indonesia. Mereka adalah para politikus yang "rabun ayam" sekaligus tunahati nurani. Oleh sebab rabun ayam dan tunahati, maka berpolitik tidak memiliki visi jauh ke depan untuk memajukan bangsanya atau menyejahterakan rakyat banyak yang telah memilihnya. Bagi mereka berpolitik adalah meraih kekuasaan!

Kaum penjahat ini memanfaatkan modal yang dimiliki untuk "membeli suara" dalam pilkada atau dalam pemilu legislatif (pileg) yang tengah berlangsung sejak 1999 hingga 2017. Kita akan terus saksikan terjadinya pertarungan bebas para politikus rabun ayam dan tunanurani dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 mendatang. Karena itu, praktik demokrasi kita akan sangat jelas dipenuhi oleh para penjahat demokrasi kelas kakap dan hiu.

Politikus bermodal besar karena sokongan para pelaku ekonomi kakap dan hiu menjadi mantra paling mutakhir dalam praktik berpolitik Indonesia yang nyaris tak terbendung. Pemberian "uang saku" politik pada setiap pemilihan dari tingkat desa sampai pusat adalah fenomena aktual tak terbantahkan. Anehnya, rakyat kere juga bersedia "menari di atas" genderang politikus penjahat.

Betapa lihainya para penjahat demokrasi bermain drama. Dia berperan banyak muka (dasamuka), bukan hanya dua wajah, tetapi sepuluh wajah yang sangat kontekstual bisa berubah-ubah. Inilah wajah bramacorah politikus para penjahat demokrasi yang menari di atas kesengsaraan rakyat. Rakyat benar-benar hanya alat mendapatkan kekuasaan tanpa dipedulikan pascapilihan berlangsung.

Rakyat bahkan dijadikan tunggangan politik melalui sentimen agama dan dana yang dimilikinya. Rakyat tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi yang benar dan memadai karena turut beroperasinya para penjahat demokrasi di ruang maya melalui media sosial.

Media sosial seperti Twitter, Instagram, Facebook, danWhatsapp adalah sarana memanipulasi informasi yang sangat keras digunakan oleh para penjahat demokrasi di negeri ini. Miliaran rupiah digelontorkan demi meraih kekuasaan. Mereka tak pernah merasa rugi membayar para buzzermedia sosial untuk menipu massa-rakyat yang sebagian besar tidak melek media kecuali hanya mendapat informasi satu arah saja.

Dalil-dalil keagamaan pun disuguhkan, padahal hanya untuk kepentingan politiknya, melalui orang-orang yang pernah menjadi tokoh agama, tokoh politik bahkan tokoh organisasi keagamaan. Inilah kehebatan cara para penjahat demokrasi memanipulasi realitas objektif politik.

Tersebab kuatnya para penjahat demokrasi berkuasa di ruang maya-serta ruang politik yang nyata, yakni di legislatif, birokrasi, partai politik, perguruan tinggi, BUMN, swasta, dan pers-maka rakyat benar-benar tidak dapat berkutik. Bahkan, politikus yang masih memiliki akal sehat dan nurani malah dituduh politikus yang tak realistis dan hanya ingin mencitrakan dirinya kalau tidak sebagai penjahat.

Warga yang berani memberikan kritik, peringatan serta berlawanan arus dengan praktik politikus penjahat demokrasi akan di-bully di ruang media sosial, dan dalam forum-forum yang mempraktikkan perbedaan pendapat dan pemahaman. Mereka yang berbeda dengan arus politikus penjahat akan dituduh sebagai "pengkhianat umat" dan pengkhianatan pada agama. Sungguh telah terjadi pemutarbalikan logika akal sehat dan nurani, tetapi yang seperti ini dibenarkan dalam logika penjahat demokrasi.

Segeralah siuman

Praktik-praktik politisi penjahat demokrasi jika dibiarkan oleh publik yang jumlahnya lebih besar, maka demokrasi Indonesia yang mendasarkan pada Pancasila benar-benar dalam situasi darurat demokrasi. Karena itu, situasi harus segera disadarkan oleh mereka yang masih memiliki akal sehat dan nurani. Jangan sampai demokrasi Pancasila kemudian dibajak lalu disingkirkan, diganti dengan praktik demokrasi yang tak dikehendaki para pendiri bangsa ini.

Jika warga negara tidak segera siuman, gagasan mengganti Pancasila dengan yang lain bukanlah isapan jempol belaka. Kita berharap pada dua ormas besar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) untuk tetap mengawal Pancasila. Akan tetapi, jika dibiarkan berjuang sendirian, Muhammadiyah dan NU pun akan terkapar oleh gencarnya kampanye antinegara berdasarkan Pancasila.

Politikus yang masih memiliki akal sehat dan hati nurani harus didorong melakukan perubahan bersama. Mereka adalah para akademisi, filosof, agamawan yang bijak bestari, pengusaha bersih, dan aktivis demokrasi yang tidak mata duitan untuk menyelamatkan Indonesia dari gerayangan penjahat-penjahat demokrasi yang multiwajah.

ZULY QODIR