Dari beragam identitas yang melekat pada manusia, seperti jenis kelaminnya, profesinya, umurnya, rasnya, agamanya, kelas sosialnya, hanya tiga yang saya sebut terakhir yang secara masif bisa dipakai untuk identitas politis. Ketiganya bertanggung jawab atas berbagai peristiwa politik besar di seluruh permukaan Bumi selama ribuan tahun terakhir.

Semua identitas tadi dipakai manusia untuk berhubungan dengan manusia lain, baik untuk berkonfrontasi, berkompetisi maupun berkolaborasi dalam rangka mengelola sumber daya politik dan ekonomi. Dari ketiga identitas politik tadi dan tiga pilihan cara penerapannya, kita bisa melihat asal-usul ideologi- ideologi besar dunia. Salah satunya adalah Populisme Kanan Jauh (Far Right) atau politik rasisme.

Gelombang populisme kanan jauh yang melanda negara-negara di Eropa dan AS bisa dijelaskan sebagai fenomena penggunaan ras dalam cara manusia berkompetisi memperebutkan sumber daya politik dan ekonomi. Ia menggeser kubu Kanan yang lebih moderat dalam politik yang selama puluhan tahun terakhir menggunakan sentimen kelas sosial pengusaha untuk berkompetisi lewat pendekatan ekonomi pasar bebasnya.

Ini bukan fenomena baru. Kaum Kanan Jauh pernah juga menggunakan sentimen ras (dan kadang dibalut dengan agama) untuk berkonfrontasi melawan yang dianggap lain (the others) dalam rupa kolonialisme dan fasisme. Figur dan ide populis Kanan Jauh bermunculan dalam kompetisi demokratis dan sukses meraih dukungan mengesankan. Mulai dari Donald Trump di AS, Jean Marie Le-Pen di Perancis, Partai AfD di Jerman, kampanye Brexit di Inggris dan yang terbaru Sebastian Kurz di Austria.

Fenomena ini mencerminkan satu hal: kemarahan publik terhadap situasi ekonomi dan politik global saat ini. Globalisasi neoliberalisme (pendekatan kompetisi berbasis kelas majikan uang dan kapten-kapten industri) dipandang sebagai akar masalahnya. Kelas menengah bawah di Barat dibuat resah secara ekonomi karena ketidakpastian ekonomi pascakrisis 2008 yang berkepanjangan.

Sementara arus buruh migran dan pengungsi menimbulkan persoalan kultural yang memicu bangkitnya sentimen identitas "pribumi" di Eropa Barat dan AS. Mereka punya retorika "aseng dan asingnya" yang menjadi komoditas politik murah meriah. Karena ia bermula di negara-negara yang menjadi kiblat global neoliberalisme dan demokrasi, ia cuma menjelaskan satu hal yang lebih fundamental: reorientasi ideologi ekonomi global.

Kanan di abad XX dan XXI

Selama empat dekade terakhir neoliberalisme telah menjadi sebuah konsensus ekonomi bersama partai-partai politik utama di Barat. Kombinasi kebijakan privatisasi, deregulasi, perdagangan bebas menjadi resep standar untuk pencapaian kemakmuran secara global. Pasar bebas memungkinkan mobilisasi modal, barang, dan tenaga kerja berlangsung tanpa hambatan. Negara berkembang mau juga ambil untung oleh masuknya investasi asing, negara maju menikmati harga barang yang kian murah, pemodal diuntungkan oleh buruh murah dan proses produksi yang kian efisien.

Namun, neoliberalisme juga menimbulkan persoalan ketimpangan dan pengangguran bahkan di negara kapitalis Barat yang jadi asalnya. Kebijakan alih daya (outsourcing) membuat sektor manufaktur di negara maju tak berkembang. Sementara kapital yang diperoleh dari perdagangan bebas hanya terkonsentrasi di sejumlah kecil elite pemodal. Partai-partai politik utama, kiri- tengah maupun kanan-tengah, yang sama-sama mengadopsi kebijakan neoliberal juga enggan mendistribusikan kapital.

Tampilnya China, Rusia, dan India sebagai negara kekuatan ekonomi baru membuat kompetisi dunia kian sengit. Ketiga negara ini mampu melakukan serangan balik yang menohok dengan masuk ke dapur negara-negara kapitalis Barat. Keuntungan yang diperoleh dari pasar bebas tak lagi didominasi negara kapitalis Barat. Namun krisis keuangan 2008 jadi titik balik. Lapisan-lapisan kosmetik luntur.

Meski dunia tak selalu adil (fair), tetapi ia pasti selalu mencari titik-titik untuk seimbang (balanced). Kegagalan neoliberalisme negara-negara Barat mendorong pendulum relasi negara dan pasar kembali berubah mencari keseimbangan baru.

Krisis kapitalisme global yang memicu munculnya paradigma alternatif sebenarnya bukan hal baru. Krisis Depresi Besar di 1930 memunculkan rumusan baru Negara Kesejahteraan, New Deal dan Keynesianisme. Sementara krisis Great Inflation di 1970 memunculkan kebijakan fundamentalisme pasar dan neoliberalisme. Pertanyaannya, apa alternatif pascakrisis 2008?

Jika krisisnya ada di kubu neokonservatif dan neoliberal, secara alami pendulumnya harusnya bergerak ke progresif, yaitu ke sisi negara kesejahteraan sosial. Langkah strategis harusnya diambil untuk mengalihkan dari kompetisi antarkelas sosial menjadi kolaborasi antarkelas sosial. Beberapa fenomena politik seperti kemunculan sosok politik baru yang progresif di Perancis, AS, Kanada dan Spanyol adalah dari pergerakan pendulum ini.

Mereka mendorong regulasi perlindungan bisnis kelas menengah bawah untuk melunakkan kompetisi antarpemodal dan mendorong kewirausahaan sosial dengan membentuk koperasi- koperasi (Badan Usaha Milik Rakyat) atau dengan mereduksi kompetisi antartenaga kerja melalui, misalnya, program kesejahteraan (welfarism) yang fundamental dalam rupa Pemenuhan Kebutuhan Dasar Universal (Universal Basic Income).

Masalahnya, kaum progresif bukan satu-satunya yang menawarkan jawaban. Alternatif jawaban juga ditawarkan oleh zombie populisme kanan jauh yang tak butuh kemampuan berpikir yang rumit-rumit. Oleh emosi purbawi, pendulum negara-pasar itu juga dipaksa makin jauh ke kanan melalui kombinasi kebijakan proteksionisme yang berbasis etno-nasionalisme dan bahkan rasis, tetapi anti-welfarism. Bumbu politik identitas dimainkan dan menjadi pengikat koalisi lintas kelas pemodal-menengah bawah yang menjadi tulang punggung kebangkitan populisme kanan jauh saat ini.

Padahal, kelas menengah bawah korban neoliberalisme hanya berperan simbolik dalam genderang pemodal yang terancam kompetisi global. Kita dapat melihat fenomena yang sama dalam konflik antara taksi konvensional dan taksi berbasis aplikasi. Namun koalisi itu tak akan bertahan lama. Pada satu titik kelas menengah bawah akan melihat bahwa kebijakan ekonomi dari populis ekstrem kanan tak menjawab persoalan mereka.

Politik progresif

Populisme kanan jauh di Barat merupakanwake-up call bagi setiap kaum demokrat progresif di Indonesia. Pada era digital para demagog kanan jauh dapat saling menginspirasi dengan semangat menolak modernitas, antikesetaraan, mencurigai pluralisme dan sinis terhadap perlindungan hak- hak minoritas. Retorika konfrontatifnya diarahkan tak hanya ke atas (elite politik), tetapi juga ke samping sesama rakyat (minoritas etnis atau agama, bahkan ke kaumnya sendiri yang moderat, toleran dan progresif). Bahan bakarnya adalah "identitas" manusia sebelum usia produktifnya, baik saat dia masih dikandung sembilan bulan hasil pembuahan ibu dan bapak ras tertentu maupun keyakinan-keyakinan yang ditanamkan sejak masih kecil dengan membakar-bakar rasa kesukuan dan keagamaan.

Menjadi kanan tampaknya merupakan keseksian politik baru sekarang. Ini dimanfaatkan oleh politisi-politisi ambisius dan oportunis yang malas berpikir tetapi lihai di retorika kosong melompong. Di Barat isu imigran, Islamofobia dan xenofobia dieksploitasi politisi kanan jauh untuk mengeruk laba pemilu. Di Indonesia, ketakutan akan "aseng-asing" dimainkan untuk tujuan politik.. Padahal, kondisi obyektifnya jauh berbeda.

Sejauh ini ekonomi Indonesia tetap tumbuh dengan tingkat pengangguran, kemiskinan, dan rasio Gini (indikator ketimpangan) yang menurun. Isu imigran versus pribumi lebih merupakan isu jadi-jadian yang disebar lewat dunia maya. Ia lebih menyerupai asap dari rokok elektronik daripada api sungguhan di ujung cerutu. Meski begitu sensasinya sama menyalanya dan bisa menjadi kanker ganas yang menyerang paru-paru alasan adanya Indonesia, yaitu kebinekaan.

Rasisme atau fasisme (konfrontasi antarras dan agama) bukan jawaban. Ia sudah membunuh puluhan juta orang pada masa lalu, dan pasti petaka untuk masa depan dunia. Era digital sebenarnya telah menjalarkan peluang hadirnya politik ekonomi progresif dengan sama cepatnya, yang semangatnya adalah kolaborasi antar kelas sosial, partisipasi dari bawah, ko-kreasi dan kecerdasan kolektif warga. Ia secara etis layak melengkapi kolaborasi antarras dan umat agama yang sudah menjadi sistem kerjanya jejaring sosial orang- orang di Nusantara untuk Sumpah Pemuda dan kemerdekaan Indonesia.

Memang tak mudah tetap waras di tengah-tengah hasutan. Baiknya kita terjaga dan bergegas sebelum kebodohan yang terus diulang bisa menampilkan diri seolah sebuah sikap bijak. Betapa benarnya peringatan Voltaire, si filsuf Prancis itu, pada lebih dari 200 tahun lalu untuk milenial-milenial progresif era kini.

BUDIMAN SUDJATMIKO