Lihat saja, tiap momentum  20 Mei, 1 Juni, 17 Agustus, 1 Oktober, 28 Oktober, dan 10 November, selalu ada memorialisasi atas nilai nasionalisme, heroisme, dan patriotisme. Baik diwujudkan sebagai selebrasi formal kenegaraan ataupun refleksi filosofis-historis yang berhasrat pada pengetahuan dan gerakan sosial.

Dialektika globalisasi

Wacana nasionalisme awalnya berasal dari sejarah globalisasi. Ia berkembang dan membesar sehingga jadi fenomena sosial-politik masif. Namun, setelah 300 tahun, nasionalisme menghadapi serangan balik dari globalisasi, seperti pengempisan dan pengaburan.

 Jika merujuk Eric Hobsbawm,  sejarawan Inggris, sejarah nasionalisme telah menyemburkan bunga api yang cukup menakjubkan. Benar-benar fenomena yang sangat dahsyat dan tidak pernah dijumpai di abad-abad sebelum abad ke-18. Fenomena itu berupa kekompakan sosial baru yang dibangun di atas aliansi bahasa, etnik, latar belakang sejarah, dan penderitaan menuju semangat "persatuan bangsa" melawan "kekuatan luar".

 Namun, memasuki dekade pertama milenium ketiga, terjadi dialektika baru yang menegasikan sejarah dan konsep nasionalisme. Nasionalisme menghadapi tantangan lain dari globalisasi, berupa implosi:  ledakan di dalam yang menyerbukkan getah bening bagi tubuh nasionalisme itu sendiri berupa ekstremisme agama dalam skala global.

 Ekstremisme global ini menggoda negara-bangsa yang sangat majemuk seperti Indonesia, dengan menawarkan harapan perubahan baru, seperti khilafah, ISIS, dan juga politik agama.

 Dengan cepat konsep keindonesiaan dianggap tidak memadai lagi untuk menampung imajinasi anak bangsa tentang Indonesia kekinian. Dituduh bahwa konsep Indonesia hanya bisa "menanggung derita, tetapi tanpa pernah menebus diri menjadi bahagia bersama." Korupsi, ketimpangan sosial, perasaaninferiority complex, eksklusivitas kelas sosial, dan diskriminasi dalam pembangunan menjadi sebab munculnya kesadaran sublim; keterpukauan pada sesuatu yang lain. 

 Di sebagian umat Islam, wujud kerapuhan pemahaman kebangsaan Indonesia berbasis Pancasila ini dicari alasannya pada aspek historis formal, yaitu pada "perampokan tujuh kata" pada sila pertama, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Sejarah Pancasila yang berlaku dinamis di dalam dirinya itu dilihat dalam konteks eksklusif hari ini, yang ironisnya bisa dibaca sebagai ahistoris.

 Itulah takdir halusinatif saat ini. Ide khilafah atau politik syariat Islam dianggap menjadi penanda baru dalam membangun masyarakat yang sejahtera dan maju untuk Indonesia. Ide syariah dianggap kompatibel dengan khilafah, yang kemudian dicocok-cocokkan pada frasa "jika konsep ibadah berlangsung sempurna, maka kondisi politik bangsa pun otomatis sejahtera."

Simplifikasi logika ini bukan saja meracuni realitas sosial-budaya masyarakat, juga menjadi amphetamine yang menyebabkan orang tak perlu mencari alasan- alasan lain dalam menyelesaikan masalah sosial-politik yang demikian kompleks.

Tiba-tiba orang tidak lagi melihat politik sebagai sebuah kontestasi yang terbuka pada program, ide, dan perjuangan perbaikan masyarakat, tetapi "seberapa lurus" pemimpin itu berada dalam haluan keimanan yang sama dengan pemilihnya, begitu seterusnya. Konsep primordialisme itu pun diternakkan. Agama dan politik terlibat perkawinan paksa, menjadi sangat formal, seremonial, dan literal.

 Akhirnya, kelompok intoleran memiliki panggung politik. Sikap radikal dianggap lebih bergaya, optimistis, progresif, dan maskulin; bukan hanya menyerang Islam moderat, tetapi juga pluralisme dan keragaman etnis. Padahal, di Indonesia tumbuhnya Islam moderat bersifat sangat antropologis.  Spirit Islam Indonesia tidak berasal dari desakan model doktrin "serba negara", seperti di Arab Saudi atau Maroko sebagaimana yang terlihat dalam kajian Clifford Geertz (Islam Observed, 1968), tetapi merupakan interseksi sejarah, kebudayaan, dan perubahan transtemporal politik ekonomi agraris yang sebagian besar tersentral di perdesaan.

Populisme Islam vs warga multikultural

Jika kini terlihat ide khilafah mekar, tak lain itu hanya gambaran perkotaan. Ia tidak merepresentasikan Indonesia yang beragam. Wacana khilafah dan Islam politik malah hanya menjadi daya pukau di kalangan pemerintahan, yang hidupnya dibiayai negara, seperti aparat sipil negara (ASN).

Berita dari media lokal di Aceh mengafirmasi hal itu: "Tiga kampus di Aceh Terindikasi Paham HTI" (Serambi Indonesia, 29 September 2017).  Berita itu sempat mengejutkan para rektor. Bagaimana bisa kampus yang seharusnya menjadi poros kebijaksanaan dan memikul tanggung jawab kemanusiaan-kebangsaan malah terpapar ideologi impor.

 Di sini terlihat bahwa keterpukauan pada Islam politik atau ide khilafah tidak dapat dilepaskan dari semakin mencengkeramnya ide populisme global di dalam kehidupan masyarakat. Populisme Islam itu semakin meresahkan karena juga ikut mengkritik; lebih tepatnya bersikap sinis atas Islam tradisional yang lebih dulu mengakar di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama..  Padahal, Islam tradisional dan moderat telah memiliki lokasi sosiologis dan sejarah di Nusantara.

Fenomena ini tidak dapat dilawan dengan merepresi secara politik atau hukum ala Orde Baru. Cara-cara seperti itu sudah kuno dan berisiko pada pelanggaran HAM.. Kita perlu format baru yang diistilahkan oleh profesor filsafat politik Kanada, Will Kymlicka: kewargaan multikultural.

Kewarganegaraan multikultural ini semakin hidup di generasi Y dan Z. Mereka secara sosiologis adalah anak semua bangsa, tetapi tidak terkungkung pada titik koordinat geografis. Ia bisa saja warga Aceh yang sedang nongkrong sambil minum kopi uleekareng, tetapi berhubungan dengan Baghdad, Mekkah, Kairo, New York, atau Chow Kit, Kuala Lumpur, untuk merancang aksi sosial-kemanusiaan

Generasi ini memiliki tanggung jawab baru memandang Indonesia dan Pancasila. Mereka lebih sensitif dengan isu-isu minoritas, termasuk isu pluralisme budaya dan agama. Mereka semakin terbiasa menerima perbedaan cara pandang minoritas dalam sebuah masyarakat sekaligus menganggapnya niscaya. Mereka bebas memilih kota-kota harapan barunya untuk hidup dan berkembang di mana pun di Indonesia. Tidak ada urat nadi chauvinisme lagi pada mereka.

Di tangan generasi Y dan Z inilah Indonesia sedang dipertaruhkan. Mereka bahkan memiliki cara ampuh melawan narasi ekstremisme global melalui penguasaan teknologi informasi, wacana etika global, dan gerakan humanisme baru.

Mereka adalah anak bangsa sekaligus warga dunia yang bisa menyaring konsep globalisasi secara positif dan menolak racun- racun ekstremisme global.  Kita sungguh perlu cara ungkap baru atas konsep kebangsaan dan Pancasila secara empatik, emik, estetik, dan artistik. Tinggalkan cara-cara konservatif dan propagandis dalam melawan ekstremisme global.