Perkara korupsi KTP-el itu semestinya memperkuat pembelaan kita terhadap hak-hak asasi warga dalam mendapatkan identitas politiknya sebagai warga negara. Namun, sayang, persoalan penting itu luput dari perhatian publik—bahkan dalam jalannya sidang pengadilan—sehingga terasa praktik hukum berlangsung kurang mendapat legitimasi.

Memenuhi aspek legalitas saja tak cukup bagi berjalannya sebuah praktik hukum. Legalitas harus dilengkapi legitimasi untuk terciptanya sebuah tatanan sosial yang nyata. Kepastian hukum tidak bisa hanya didasarkan pada faktisitas suatu perkara atau suatu kejadian, tetapi juga harus bersandar pada validitasnya berdasar prinsip dan nilai berlaku dalam kehidupan publik.

Di alam demokrasi, hukum harus mengindahkan validitasnya berdasar prinsip dan nilai demokrasi. Terasa begitu naif kalau kita menjalankan praktik hukum terisolasi atau terlepas dari
sistem politik berlaku.

Validitas hukum penanganan tindak pidana korupsi itu kita pertanyakan karena implikasi politik yang ditimbulkan terasa begitu membahayakan perkembangan demokrasi. Dari berbagai praktik selama ini, mulai dari penangkapan di ranahprivate hingga penyelidikan atau penyidikan yang begitu predetermined, terasa prinsip penghormatan hak asasi manusia atau warga negara dan demokrasi kurang diindahkan. Padahal, kita tahu, keduanya tidak boleh dilanggar dalam bernegara berdasarkan konstitusi.

Sejauh ini, telah sekian ratus penyelenggara negara di daerah, yang terpilih secara demokratis, terkena kasus korupsi. Kita pun luput menghitung kerugian penyelenggaraan pemerintahan yang ditimbulkan. Terutama dari terhentinya penciptaan fasilitas publik dan pelayanan publik yang seharusnya diberikan kepada warga negara akibat tersangkanya pejabat publik. Belum lagi soal kerugian strategis karena pejabat pengganti tak bisa mengeluarkan kebijakan strategis di daerah.

Sementara hilangnya kemanfaatan berlipat ganda dari penyedia fasilitas dan pelayanan publik itu belum tergantikan, praktik hukum tindak pidana korupsi dalam banyak hal telah menimbulkan komplikasi politik-hukum tersendiri. Khusus terkait berlarutnya penanganan kasus korupsi KTP-el, hal itu tak hanya menghambat pembentukan politik kewarganegaraan, tetapi juga telah memperlemah bekerjanya lembaga demokrasi.

Implikasi politik yang ditimbulkan dari berlarutnya penanganan kasus korupsi KTP-el itu, yang diduga melibatkan anggota DPR, dan bahkan kini ketuanya jadi tersangka, sungguh membahayakan masa depan demokrasi.

Nalar publik

Arah kecenderungan dari implikasi berlarutnya praktik hukum tindak pidana korupsi itu menjadikan negeri ini terasa terus dihadapkan pada situasi darurat politik. Situasi demikian jelas membahayakan demokrasi karena ia akan mempersempit kebebasan dan mempertebal kesewenangan otoritas kekuasaan dalam mengambil kebijakan.

Sejauh ini, sebuah kejanggalan politik memang sedang berlangsung. Selama 10 tahun terakhir, kita menyaksikan ruang publik sehari-hari dipenuhi suasana riuh penanganan kasus korupsi dan berjubelnya massa di Gedung KPK dan di ruang sidang pengadilan. Sementara diskusi dan debat politik bermutu di gedung parlemen dalam pengambilan kebijakan terasa semakin sepi.

Kita juga menyaksikan perubahan sedang terjadi dalam topografi politik kita. Paradigma berpikir membuat perencanaan partisipatoris, melakukan pengawasan, dan monitoring serta evaluasi—untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, sebagai sebuah cara paling elegan untuk meniadakan korupsi—terasa kian hilang. Semua itu menegaskan, sesungguhnya krisis demokrasi sedang berlangsung di negeri ini.

Namun, kita percaya, demokrasi tidak akan pernah kehilangan daya aktualitas dan aktivasinya untuk memperbarui diri. Kekuatan terbesar tak terbantahkan dari demokrasi adalah kemampuannya memproduksi nalar publik yang berkembang dari proliferasi kebebasan dan kesetaraan yang dijalankan dalam praktik politik. Termasuk di sini berkembangnya nalar publik dalam pembuatan hukum atau legislasi.

Didorong pula kemajuan teknologi komunikasi, berkembangnya nalar publik itu akan membuat demokrasi semakin mendapatkan statusnya yang khusus dalam melakukan perlawanan terhadap segala bentuk dominasi. Bukan hanya terhadap dominasi hukum teokrasi, bahkan terhadap hukum bersumber dari otoritas melalui pembalikan asas bukan otoritas melainkan kebenaran yang membuat hukum, veritas non auctoritas facit legem.

Perkembangan itu mengisyaratkan pentingnya peninjauan ulang produk legislasi dijadikan acuan dalam penanganan korupsi selama ini agar ke depan mendapatkan landasan nalar publik yang berkualitas. Hanya dengan cara demikian, UU penanganan korupsi akan mendapat basis kesadaran politik nasional yang kuat di kemudian hari.