Tahun lalu, ketika saya pulang kampung, saya melihat anak-anak muda di desa saya mulai sulit berbicara dengan bahasa kromo kepada orang-orang tua, apalagi kromo inggil. Sebagian bahkan bisanya ngoko.

Kalau kondisi itu tidak diatasi dengan upaya konkret, saya khawatir jangan-jangan 25 tahun lagi bahasa Jawa punah seperti bahasa Hitu dari Maluku, sebagaimana diberitakan Kompas. Anak cucu kita yang ingin belajar bahasa dan sastra Jawa mungkin harus pergi ke negeri Belanda.

Ide memasukkan bahasa daerah melalui pendidikan di sekolah sudah baik. Namun, perlu dipikirkan juga kota besar yang plural seperti Jakarta. Saya usul ada pilihan bahasa daerah, selain bahasa daerah setempat yang wajib.

Saya juga mengusulkan perlunya partisipasi media massa. Di koran-koran daerah, bisa dibuat rubrik bahasa daerah secara rutin. Untuk itu, saya menyampaikan permohonan kepada para pemilik media, juga para gubernur kepala daerah di seluruh Nusantara, dan para pinisepuh di berbagai daerah agar berkenan mendorong dan mendukung bahasa daerah di wilayah masing-masing agar tidak punah dan tetap langgeng mendampingi bahasa persatuan kita bahasa Indonesia. Kita selalu membanggakan kekayaan negeri dengan beraneka suku, budaya, dan bahasa, tetapi kurang peduli dalam merawat dan melestarikannya.

Soenarko, Pondok Labu I, Cilandak, Jakarta Selatan

 

Tolong, Jangan Lepas Tangan

Terima kasih kepada harian Kompas yang telah memuat surat rekan kami Syaiful Pandu (Selasa, 12 September 2017).. Terima kasih juga kepada manajemen PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang telah menanggapi di Kompas (Rabu, 20 September 2017).

Seperti yang telah disampaikan pihak CPI, memang benar Yayasan Pendidikan Cendana Riau (YPCR) memiliki badan hukum terpisah dari PT CPI, tetapi PT CPI adalah sponsor utama berdiri dan berlangsungnya kegiatan pendidikan sekolah-sekolah Yayasan Pendidikan Cendana Riau (YPCR). YPCR tidak lepas dari PT CPI, buktinya Peraturan Yayasan Pendidikan Cendana 1984-1986, 1 Februari 1986, disetujui oleh Coordinator Industrial Affairs PT Caltex Pacific Indonesia Bellamy A Kasim.

Dasar utama kami para guru dan karyawan pensiunan YPCR bekerja di sekolah Cendana karena adanya program Asuransi Pensiun 1 September 1983.

Disebutkan hak pensiun kami 1,5 persen dari dasar pensiun untuk setiap tahun masa kerja dengan minimum 25 persen dan maksimum 50 persen dari dasar pensiun secara berkala setiap bulan selama hidup. Ini berlaku sampai 1 Januari 1997 sesuai Peraturan Kepegawaian YPC Riau.

Kami diikutsertakan YPC dalam program Asuransi Pensiun PT Asuransi Jiwasraya Wilayah Pekanbaru. Pada 1 April 1986, YPCR mengikutsertakan kami dalam program Asuransi Dwiguna Kumpulan 5.000 dollar AS juga pada PT Asuransi Jiwasraya Wilayah Pekanbaru. Pada 1 Agustus 1997, kami diikutsertakan YPCR dalam program Tabungan Hari Tua dengan sumber dana sumbangan orangtua/wali murid melalui pembayaran SPP.

Pokok masalah guru dan karyawan pensiunan dengan YPCR adalah diubahnya Asuransi Pensiun (penerimaan bulanan selama hidup) menjadi Asuransi Saving Plan (penerimaan sekaligus) pada 1 Juli 2006. Setelah kami hitung, jumlah Saving Plan yang kami terima rata-rata di bawah 60 bulan/5 tahun.

Perlu kami informasikan, sampai kami pensiun pada Juli 2016, tidak ada Peraturan Kepegawaian YPC yang meniadakan ketiga program pensiun di atas dan tidak ada Peraturan YPCR yang menyatakan pembayaran hak pensiun kami berdasar UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Bagi kami, peraturan pensiun YPCR jauh lebih baik daripada UU Ketenagakerjaan itu.

Apabila YPCR mengubah program Asuransi Pensiun menjadi Asuransi Saving Plan, YPCR wajib memperhatikan UU RI No 11/1992 tentang Dana Pensiun, Pasal 9 Perubahan atas Peraturan Dana Pensiun: tidak boleh mengurangi manfaat pensiun yang menjadi hak peserta tanpa pengesahan menteri.

Pernah kami ajukan ke YPCR, minimal Saving Plan yang kami terima 10 tahun penerimaan bulanan. Meski pensiunan YPC banyak yang hidup di atas 15 tahun setelah pensiun. Oleh karena itu, kami mohon kepada PT CPI agar tidak lepas tangan terhadap "perselisihan" kami dengan YPCR.