Tak dapat ditolak jika sekarang dikatakan sebagai era media sosial yang maha- dahsyat. Generasi muda kita adalah penikmat media sosial paling aktif di antara negara-negara lainnya di Asia: 87,4 persen adalah penikmat media sosial aktif (CSIS, 2017).

Apa yang dapat kita lakukan dengan generasi media sosial (medsos) di Indonesia? Tak bisa kita berdiam diri saja. Inilah era digital yang merambah dunia sakral (dunia agama) sehingga sekarang muncul istilah virtualisasi dan digitalisasi kesucian di ruang publik.

Menyambung survei CSIS di atas adalah survei yang dilakukan The Wahid Foundation, Mei 2016. Dinyatakan bahwa siswa SMA sederajat yang tergabung dalam unit kerohanian Islam sebanyak 38 persen menggunakan Instagram setiap hari dan 14 persen menggunakan Linkedin setiap hari dari 1.600 siswa yang disurvei di Jabotabek.

Sungguh cukup memprihatinkan generasi kita sekarang karena mereka lebih banyak membaca dan menimba pengetahuan tentang Islam dari medsos ketimbang dari para ustaz yang ikhlas, tulus, dan dialogis. Oleh sebab itu, sudah saatnya para ustaz, ustazah, penceramah, dan guru agama di sekolah memperhatikan kecenderungan anak didiknya yang lebih akrab dengan medsos ketimbang dengan buku yang berhalaman tebal. Apalagi jika dianggap rumit bahasanya, jangan harap akan dibaca oleh kaum muda!

Generasi muda Muslim kita adalah generasi medsos, bukan lagi generasi baca-tulis secara konvensional. Oleh sebab itu, jika saat ini generasi muda Muslim lebih tertarik pada ustaz-ustaz selebritas, ustaz di televisi yang muncul belakangan, salah satu penyebabnya karena para ustaz tersebut adalah para pengguna medsos yang aktif.

Temuan The Wahid Foundation ini sudah semestinya jadi perhatian kita semua. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, 88,7 persen dari total penduduk Indonesia, fenomena ini merupakan hal sangat
signifikan untuk di- perhatikan oleh siapa pun yang hendak mempelajari Islam Indonesia. Islam tidak lagi harus bertarung di halaman rumah karena ruang tidak lagi identik dengan halaman rumah, lapangan, ataupun perguruan tinggi: ruang adalah medsos.

Generasi muda Muslim kita adalah generasi yang lahir dalam ruang yang serba terbuka, nyaris tanpa batas. Mereka generasi yang dapat mengakses informasi kapan dan di mana pun sejak bangun tidur sampai tidur lagi. Ruang privat tidak ada lagi karena semua space dan enclave telah "dikuasai" oleh informasi medsos.

Medsos adalah makhluk gaib yang sekarang hadir di depan kita dengan nyata. Tak ada yang dapat menghentikannya. Kita akan menyesal melawan medsos hanya dengan menguasai lapangan atau ruang dalam makna yang konvensional karena mereka tidak lagi membutuhkannya.

Masa depan agama

Jika para penyebar agama tetap berprinsip pada hal-hal yang sifatnya konvensional, sudah bisa dipastikan akan ditinggalkan jemaahnya. Tentu saja akan tetap memiliki jemaah, tetapi mereka itu adalah yang lahir di bawah 1980-an alias generasi tua dan sepuh. Sementara mereka yang tergolong generasi masa depan kita—generasi yang lahir setelah era 1990-an—tidak lagi tertarik pada penyebaran agama yang konvensional.

Dampak yang paling dahsyat dari generasi medsos adalah adanya kebosanan untuk membaca hal yang dianggap rumit, buku bacaan yang tebal, apalagi tidak menarik. Generasi muda masa depan yang kita sebut generasi Z atau generasi milenial adalah generasi medsos yang sangat aktif dan atraktif. Mereka tidak akan pernah bisa meninggalkan telepon pintar ataupun medsos sebagai sarana komunikasi yang dianggap paling efektif-efisien.

Tantangan paling konkret dari generasi medsos adalah ketika minat baca-tulis yang serius telah ditinggalkan, maka yang akan kita peroleh adalah generasi yang minat baca-tulisnya rendah dengan pelbagai dimensinya. Maka, peradaban unggul dan bijak agaknya akan semakin sulit kita temukan di Indonesia.

Oleh sebab itu, kita perlu merumuskan langkah-langkah strategis agar generasi medsos yang kita miliki tidak "buta dan tuli" pada realitas kehidupan yang ada di depannya. Apalagi jika para penyebar agama hanya sibuk membuat demarkasi antara kita dan mereka: antara saudara dan liyan. Padahal, jelas, yang seperti itu hanya komodifikasi agama di ruang politik jelang Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.

Tuan dan puan, medsos adalah sebuah fakta virtual yang membius. Tak ada kata lain kecuali melawannya dengan hal-hal yang juga virtual tetapi positif. Kita tidak bisa melawan generasi medsos yang penuh virtualisasi dan digitalisasi dengan melarang mereka karena melarang adalah hal yang dianggap negatif oleh generasi muda medsos. Memberikan alternatif adalah yang paling bijak.

Kita harus segera siuman bahwa masa depan kita ada di generasi muda yang gila medsos, bukan pada generasi yang telah uzur dan gagap media sosial. Oleh sebab itu, agama di masa depan harus mampu menjawab apa yang jadi kebutuhan generasi medsos tersebut. Jika agama tidak mampu menjawab kebutuhan mereka, maka jangan tertunduk malu jika jemaah pengajian atau jemaah shalat di masjid hanya akan dipenuhi kaum sepuh.

Penguatan pemahaman

Di sinilah negara harus mengambil peran. Negara tidak hanya bertugas sebagai pengawas dan pemadam kebakaran dengan cara membredel, menutup, ataupun menghukum generasi medsos yang sangat kreatif dan aktif dalam menggunakan media di ruang publik. Mereka adalah representasi generasi yang sangat "melek media" di ruang publik, yang jumlahnya sangat besar.

Penyebaran pelbagai macam berita kebencian, hujatan, dan berita hoaks adalah salah satu yang tidak bisa dibendung ketika kita sendiri tidak melek media sosial. Generasi medsos yang tidak kritis akan mengambil saja apa yang didapatkan karena mereka tidak mampu membedakan berita yang diterima itu benar atau bohong.

Karena itu, kita harus mampu memberikan penguatan pemahaman, fondasi keilmuan, dan literasi media sosial kepada generasi medsos sesuai dengan harapan mereka yang lihai dalam masalah urusan medsos. Jangan kita hukum mereka dengan pelbagai hukuman sosial ataupun hukum fikih klasik karena hal itu tidak akan pernah membuat mereka jera. Manfaatkanlah potensi generasi medsos dengan kebajikan yang positif untuk individu, bangsa, dan negara.

Semoga kita tidak larut dalam kebencian, hujatan, hoaks, dan pertarungan ambisi politisi yang sering menggunakan agama sebagai basis legitimasi dan ruang publik dikuasai dengan cara konvensional sebagai bentuk "pamer dan pawai" kekuatan massa.