Memang, kudeta militer pada Selasa pekan lalu-yang oleh militer disebut sebagai pembersihan orang-orang kriminal di sekitar presiden-mengakhiri pemerintahan otoriter Presiden Robert Mugabe yang sudah berjalan selama 37 tahun.

Mugabe berkuasa sejak tahun 1980 dengan menjadi perdana menteri dan mulai tahun 1987 menjadi presiden eksekutif dengan kekuasaan penuh. Dan, kantor perdana menteri dimasukkan ke dalam kantor kepresidenan. Artinya ada di bawah presiden. Sebelumnya, jabatan presiden adalah jabatan kehormatan.

Sejak saat itu, Mugabe menjadi penguasa tunggal di negerinya. Rakyat, memang, tidak memungkiri jasanya bagi Zimbabwe dalam perjuangan melepaskan diri dari penjajahan Inggris. Akan tetapi, ketika kekuasaan semakin memusat pada dirinya, Mugabe semakin pula lupa daratan.

Pada akhirnya, pekan lalu, militer bertindak. Akan tetapi, muncul pertanyaan: apakah tindakan militer itu benar-benar sesuai dengan kepentingan rakyat? Pertanyaan ini muncul berangkat dari berbagai kenyataan bahwa sebelum kudeta telah terjadi konflik di dalam tubuh partai yang berkuasa, partainya Mugabe, yakni Front Patriotik-Uni Nasional Afrika Zimbabwe (ZANU-PF).

Mengingat Mugabe sudah uzur, muncul spekulasi politik siapa yang akan menggantikannya. Muncul nama-nama antara lain Emmerson Mnangagwa dan istri Mugabe, Grace. Pertarungan di antara kedua tokoh ini yang pada akhirnya mendorong militer turun tangan, dengan menyingkirkan Mugabe.

Sekarang kekuasaan sudah di tangan militer. Pertanyaannya, sampai kapan militer akan memegang kekuasaan tersebut? Apakah-setelah Mugabe benar-benar diakhiri kekuasaannya-akan segera digelar pemilu yang benar-benar demokratis; memberikan peluang yang sama kepada semua partai yang ada? Ataukah pemilu akan diselenggarakan sesuai dengan kepentingan militer, seperti yang terjadi di banyak negara, katakanlah seperti yang terjadi di Thailand, juga Pakistan, di mana militer sangat sulit melepaskan diri dari jerat kekuasaan?

Jika demikian yang terjadi, sebenarnya bukan hanya Mugabe yang telah mengakhiri jalan demokrasi Zimbabwe, melainkan juga militer. Persoalan akan berbeda jika militer dengan sukarela menghormati supremasi sipil, otoritas sipil, dan segera menggelar pemilu multipartai yang adil, jujur, dan fair.