HANDINING

.

Bencana dan kemiskinan adalah dua hal yang berbeda. Akan tetapi, ketika keduanya terakumulasi dan menimpa secara bersamaan, dampaknya akan sangat "melukai". Keluarga miskin yang sehari-hari hidup serba kekurangan tiba-tiba masih harus ditambah dengan datangnya bencana yang tak terduga. Mereka bukan saja terancam mengalami proses pendalaman kemiskinan, tetapi bukan tidak mungkin mereka akan kehilangan mekanisme memberdayakan diri dan keluarganya.

Berbagai studi telah banyak membuktikan bahwa, bagi masyarakat miskin, kehadiran bencana-terutama mulainya musim hujan-sesungguhnya adalah awal dari terjadinya situasi krisis dan awal dari musim kelaparan yang bakal mereka hadapi (Chambers, 1988). Walaupun bagi masyarakat desa kehadiran hujan juga merupakan berkah tersendiri karena hal itu akan bermanfaat untuk pasokan air selama mereka bercocok tanam. Namun, secara keseluruhan kehadiran musim hujan, apalagi yang berkepanjangan, justru sering kali malah akan mempersulit kehidupan keluarga miskin. Hadirnya musim hujan acap kali identik dengan kehadiran bencana yang menyengsarakan karena akan mengakibatkan terjadinya tanah longsor, lahan-lahan produktif yang terendam, dan hilangnya kesempatan memanen hasil budidaya.

Hujan deras yang terus-menerus, bagi keluarga miskin di sepanjang daerah aliran sungai dan daerah yang rawan longsor, adalah isyarat akan datangnya musibah. Luapan sungai dan bencana tanah longsor yang merambah dan menghancurkan sawah-sawah garapan mereka, membanjiri rumah dan merusak aset produksi yang mereka miliki, boleh dikata merupakan bencana tahunan yang selalu saja terjadi ketika hujan tak bisa diajak kompromi.

Dampak bencana

Studi yang dilakukan Lembaga Penelitian dan Inovasi Universitas Airlangga (LPI Unair, 2014-2015) tentang dampak sosial-ekonomi bencana di sejumlah daerah di Jawa Timur menemukan bahwa bencana banjir yang melanda daerah rawan bencana sering kali menyebabkan keluarga miskin terpaksa mengalami berbagai hal yang mengancam kelangsungan usaha dan kehidupan sosial mereka. Bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika satu keluarga dengan modal pas-pasan telah menanamkan seluruh tabungan yang mereka miliki untuk membeli bibit, pupuk, dan sebagainya, tetapi ketika menjelang panen tiba-tiba air bah datang, menerjang begitu saja tanpa kompromi dan menghancurkan mimpi keluarga miskin itu untuk dapat memanen  hasil kerja keras mereka. Dalam banyak kasus, banjir membuat keluarga miskin seolah menghadapi mimpi buruk yang berkepanjangan. Musim hujan, bagi keluarga miskin di pedesaan yang menjadi korban bencana, sering kali menjadi masa-masa yang mencemaskan dan bahkan menyengsarakan. Sebab, kemungkinan mereka harus mengalami tekanan kemiskinan yang makin kronis menjadi lebih terbuka.

Masyarakat dan keluarga miskin di mana pun sesungguhnya memiliki karakteristik yang sama: mereka sehari-hari hidup dalam kondisi serba kekurangan, miskin, rentan, memiliki utang banyak, tidak berdaya, mudah terserang penyakit, dan posisi tawarnya lemah. Namun, keluarga miskin yang tinggal di daerah bencana dan menjadi korban bencana umumnya kondisinya lebih parah: mereka bukan saja hidup serba kekurangan, tetapi upaya untuk mengembangkan usaha dan keberdayaannya sering kali mentah di tengah jalan karena tiba-tiba menjadi korban bencana. Keluarga miskin yang rumahnya terendam air dan terpaksa gagal panen gara-gara sawah mereka kebanjiran niscaya dengan cepat akan masuk dalam pusaran kemiskinan yang makin menyengsarakan.

Bencana ibarat mimpi buruk: kehadirannya sering kali tidak pernah terduga, dan kita baru sadar tatkala korban telah berjatuhan. Bencana bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan menimpa siapa saja.

Di sejumlah daerah yang menjadi lokasi bencana, dampak bencana paling tidak berkaitan dengan tiga hal. Pertama, studi yang dilakukan LPI Unair (2014-2015) menemukan bahwa terjadinya bencana banjir dan tanah longsor bukan hanya melahirkan tekanan kemiskinan dan kehidupan ekonomi keluarga yang makin memburuk, serta terjadinya proses pendalaman kemiskinan, melainkan juga menyebabkan keluarga miskin kehilangan aset produksi dan kerusakan tempat tinggal yang ujung-ujungnya menyebabkan utang mereka makin meningkat.

Kedua, tidak sedikit keluarga miskin akibat bencana kemudian usahanya menjadi terhenti, modalnya hilang, dan bahkan terpaksa sebagian di antaranya harus berganti pekerjaan, melakukan migrasi untuk mengadu nasib mencari pekerjaan di kota besar. Studi yang dilaporkan LPI Unair menemukan bahwa bencana banjir yang melanda daerah rawan bencana sering kali menyebabkan keluarga miskin terpaksa gagal panen, mereka kehilangan aset produksinya, kehidupan sehari-hari terganggu karena genangan air yang tak kunjung surut, penyakit mulai berkembang, utang meningkat, dan ujung-ujungnya kehidupan keluarga miskin itu menjadi lebih sengsara karena mengalami proses pendalaman kemiskinan.

Ketiga, upaya yang dilakukan keluarga miskin untuk bertahan hidup setelah terjadinya bencana, selain berusaha mengatasi dengan kemampuan sendiri dan melakukan berbagai langkah penghematan, seperti mengurangi kualitas menu makanan dan frekuensi makan sehari-hari, tidak jarang mereka juga mengandalkan dukungan kerabat, pemerintah dan bantuan atau uluran tangan dari dermawan yang peduli. Untuk jangka pendek, keluarga miskin yang menjadi korban bencana biasanya mengandalkan utang dan mengencangkan ikat pinggang.

Namun, dalam perkembangannya kemudian mereka biasanya akan berusaha mencari pekerjaan, bekerja lebih keras dan menghidupkan kembali usaha yang ditekuni. Namun, utang sering kali menjadi jalan keluar yang paling realistis dilakukan untuk mengatasi kebutuhan hidup yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Meski demikian, utang sering kali juga menjadi perangkap yang membuka kemungkinan keluarga miskin masuk dalam pusaran kemiskinan yang makin memerangkap keluarga miskin ke kondisi sangat miskin.

Potensi swakarsa

Selama ini, berbagai upaya biasanya dilakukan keluarga miskin yang menjadi korban bencana untuk dapat kembali melangsungkan kehidupannya. Selain mengencangkan ikat pinggang atau melakukan berbagai langkah penghematan, seperti beralih ke makanan yang mutunya lebih rendah, mekanisme lain yang lazim dikembangkan keluarga miskin adalah mengembangkan berbagai alternatif subsistensi secara swadaya. Sebutlah seperti berjualan kecil-kecilan, bekerja sebagai tukang kecil seperti buruh lepas, atau bahkan bermigrasi.

Tidak jarang pula keluarga miskin korban bencana akan meminta bantuan sanak saudaranya, kawan-kawannya, atau meminta bantuan kepada patron di desanya-seorang pelindung yang berpengaruh. Sanak saudara biasanya merasa berkewajiban untuk berbuat apa yang dapat diperbuat untuk menolong seorang kerabat dekat yang sedang dalam kesulitan, tetapi mereka sendiri sering kali tidak dapat menawarkan lebih dari sumber daya yang dapat mereka himpun di kalangan mereka sendiri.

Apabila kebutuhan pangan tidak dapat dipenuhi melalui upaya subsistensi, studi yang dilakukan LPI Unair menemukan ada beberapa cara lain yang lazim dilaksanakan keluarga miskin untuk menanggulanginya. Yang pertama adalah para anggota rumah tangga menganekaragamkan kegiatan mereka. Pekerjaan yang paling merendahkan martabat pun diterima kendati bayarannya rendah. Apabila kegiatan ini masih tidak memadai, mereka akan berpaling ke sistem penunjang yang ada di desa. Kedua, bekerja lebih banyak, tetapi pada saat yang sama justru  dengan cara mengurangi konsumsi pangan dan bahan-bahan pokok lainnya.

Di tengah kondisi ketidakberdayaan dan kerentanan yang dialami, upaya yang dilakukan keluarga miskin seperti di atas memang bukan langkah ideal, tetapi harus diakui tak ada pilihan lain yang bisa mereka lakukan.  Di tengah pola penanganan bencana yang selama ini masih bersifat parsial dan dilakukan di bawah paradigma yang sifatnya fatalistik-responsif, harus diakui tidak banyak kesempatan lain yang bisa dilakukan keluarga miskin untuk memberdayakan kembali kehidupan sosial dan usaha yang mereka tekuni. Alih-alih memperoleh dukungan dari negara untuk membangun kembali potensi swakarsa mereka, justru dalam kenyataan yang sering terjadi adalah pelaksanaan program-program penanganan bencana yang justru berpotensi mematikan potensi masyarakat korban bencana untuk menolong dirinya sendiri.

Penyaluran berbagai bantuan yang sifatnya darurat, dalam jangka pendek memang dibutuhkan keluarga miskin yang terpaksa mengungsi karena tempat tinggal mereka tidak lagi layak dan usahanya pun kolaps karena terserang banjir. Akan tetapi, ke depan, apa yang seharusnya ditawarkan negara sesungguhnya tidak cukup hanya melalui penyaluran bantuan yang sifatnya amal-karitatif, sekadar melakukan langkah-langkah penanganan yang sifatnya darurat.

Menangani keluarga miskin yang menjadi korban bencana, selain membutuhkan langkah-langkah yang sifatnya preventif mempersiapkan daya tahan dan daya kenyal keluarga miskin untuk dapat segera bangkit dari bencana yang mereka alami, yang tak kalah penting adalah bagaimana memastikan potensi swakarsa dan kadar keberdayaan masyarakat miskin tetap hidup, untuk kemudian difasilitasi perkembangannya. Model penanganan masyarakat yang menjadi korban bencana niscaya akan lebih realistik dan fungsional jika dilakukan dengan bertumpu pada potensi dan kelangsungan keberdayaan kehidupan keluarga miskin pada masa depan.

Bagong Suyanto