Setiap kali Korea Utara menguji coba peluru kendali, orang selalu bertanya mengapa China sebagai satu-satunya negara yang disegani oleh rezim Kim Jong Un tidak menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan tindakan yang bisa memicu ketegangan regional itu. Bukankah eksistensi kediktatoran Pyongyang sangat bergantung pada bantuan ekonomi dari Beijing?

Ada sejumlah alasan mengapa Beijing terlihat mendua dalam menyikapi sikap keras kepala Kim Jong Un. Di satu pihak China kesal juga terhadap Pyongyang yang mengancam stabilitas regional di Asia Timur. Namun, di pihak lain, China enggan untuk bertindak lebih jauh guna memaksa negara itu tunduk pada hukum internasional.

Berbeda dengan Washington yang berambisi menjatuhkan rezim Kim Jong Un, Beijing lebih suka memilih jalan persuasif agar tidak terjadi eskalasi ketegangan yang tidak perlu.

Sumber ambigu

Ambiguitas itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, pada level nasional, melumpuhkan rezim komunis Kim Jong Un sama dengan menggoyahkan legitimasi pemerintahan Partai Komunis China. Sesungguhnya, pemerintahan China pun menggunakan metode kontrol yang sama terhadap rakyat. Bedanya, di China keberhasilan pembangunan ekonomi yang spektakuler memberikan legitimasi kinerja yang kuat bagi penguasa Beijing. Sementara di Korea Utara, kontrol banyak mewujud jadi intimidasi dan teror terhadap para pembangkang dan hanya sedikit untuk menyejahterakan.

Selain itu, bagi China, kediktatoran Kim Jong Un merupakan urusan dalam negeri Korea Utara. Apalagi, China tidak menghendaki kejatuhan Korea Utara secara revolusioner karena akan menimbulkan kekacauan. Dampaknya adalah menimbulkan eksodus pengungsi besar-besaran ke wilayah perbatasan China.

Jika kemungkinan itu yang terjadi, akan timbul gejolak sosial ekonomi luar biasa di perbatasan China. Rezim komunis Beijing tidak akan menolerir gejolak sekecil apa pun yang bisa mengganggu stabilitas dalam negeri.

Jadi peredam

Kedua, pada level regional, sampai batas tertentu, ketegangan yang terjadi akibat tes nuklir Korea Utara membuat posisi Beijing selalu berada di atas angin. Secara tidak langsung, ketegangan justru mengukuhkan peran Beijing yang mutlak perlu (indispensable) untuk meredam.

Dalam konteks konflik tradisional dengan Jepang dan Korea Selatan—baik karena alasan historis maupun perebutan wilayah—kondisi ini menguntungkan dan menjadi sumber daya tawar (bargaining).

Ancaman Korea Utara mendorong Jepang meningkatkan kemampuan militernya dengan alasan penangkalan ataudeterrence. Jepang bahkan ingin memiliki kemampuan pre-emptive strike untuk melumpuhkan musuh sebelum menyerang.

Terkait Korea Selatan, China agak risau dengan penempatan payung perlindungan serangan nuklir atau sistem terminal high altitude area defense (THAAD) sebagai bagian dari kerja sama militer dengan Amerika Serikat.

Dalam pertemuan bilateral di Beijing 22 November 2017, Menteri Luar Negeri China Wang Yi mendesak Menteri Luar Negeri Korea Selatan Kang Kyung-wha agar tidak menambah fasilitas baru sistem ini (China Daily-Asia Weekly, edisi ASEAN 27 November-3 Desember 2017).

Warisan perang dingin

Ketiga, pada level global, bagaimanapun isu senjata nuklir Korea Utara merupakan warisan perang dingin yang kini bermanifestasi dalam perebutan pengaruh antara China dan AS.

Meskipun di atas permukaan kedua negara adidaya itu bisa bekerja sama menghasilkan resolusi Dewan Keamanan PBB untuk menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Pyongyang, konflik kepentingan strategis tetap menentukan aksi kedua negara, khususnya China.

Bagi Beijing, rezim Kim Jong Un ibarat "anak nakal" yang hanya perlu dibina tanpa harus dilenyapkan. Hubunganpatron-client antara Beijing dan Pyongyang memiliki nilai strategis untuk keduanya, di mana penyelesaian apa pun jangan sampai merugikan kalkulasi strategis yang sarat muatan politik dan keamanan.

Uraian di atas mengantar kita pada beberapa kesimpulan penting. Pertama, agak sulit mengharapkan Pyongyang menghentikan tes nuklirnya dalam waktu dekat selama rezim Kim Jong Un merasa terancam oleh peningkatan kerja sama militer AS dengan Jepang dan Korea Selatan. Ini diperparah dengan dampak sanksi ekonomi yang dirasa rakyat Korea Utara, dengan pelopor AS.

Kedua, perubahan internal rezim politik Korea Utara tidak bisa dipaksakan dari luar. Selain karena China akan mencegah upaya tersebut, juga tidak ada kekuatan alternatif di dalam negeri yang bisa diandalkan sebagai katalisator perubahan.

Peran beberapa negara

Ketiga, dunia hanya bisa berharap pada kemauan politik Beijing dan Washington untuk bekerja sama dalam mengendalikan situasi di lapangan agar tidak lepas kendali dan mengancam stabilitas regional dan global.

Akhirnya, pendekatan Korea Selatan yang memberi prioritas tinggi kepada ASEAN dan Indonesia perlu dipahami dalam konteks negara itu ingin memperluas ruang gerak diplomasinya sehingga tidak terkungkung dalam pertarungan tanpa akhir negara-negara besar di sekitarnya, khususnya AS dan China.

Niat baik itu perlu disikapi secara cerdas berdasarkan aaas kepentingan bersama.