Para pendahulunya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) misalnya, kita tahu adalah menantu Sarwo Edhie, Komandan RPKAD tahun 1965, yang memimpin operasi  penumpasan PKI. Secara pribadi tentulah SBY memiliki kendala dalam penyelesaian kasus 1965. Di atas kertas, bagi Jokowi akan lebih mudah menyelesaikan berbagai kasus HAM masa  lalu.

Joko Widodo alias Jokowi bukanlah anggota PKI atau keturunannya. Ia lahir tahun 1961, jadi baru berusia empat tahun pada 30 September 1965. Ibunya, Sujiatmi, menikah dengan bapaknya, Widjiatno, yang kelak-seperti kebanyakan orang Jawa-memilih jeneng tuwo Notomihardjo.

Notomihardjo pernah menjadi ketua ranting sebuah partai nasionalis. Walaupun demikian, ia seorang pendiam dan biasanya istrinya, Sujiatmi, yang diminta berbicara dalam berbagai pertemuan keluarga dan lingkungan. Tahun 1965 mereka tinggal di Gilingan Solo. Mereka baru tinggal di sana dan kampung itu diobrak-abrik tentara. Rumah mereka tidak diapa-apakan, tetapi beberapa orang tetangga ditangkap karena dianggap simpatisan PKI dan Gerwani.

Kisah inilah yang menyebabkan seorang penulis di Semarang menuduh keluarga Jokowi terlibat G30S 1965 dalam bukuJokowi Undercover. Kasus ini sudah disidangkan, sang penulis dijatuhi hukuman, semoga tidak ada lagi yang mengulangi tindak kriminalitas serupa.

Dalam kampanye Pemilihan Presiden 2014, Jokowi menyampaikan Nawacita, yang salah satu programnya menyelesaikan masalah masa lalu. Ini dikuatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Penyelesaian masa lalu itu sesuatu yang lumrah bagi negara yang mengalami transisi dari rezim otoriter menuju demokrasi. Pelanggaran HAM berat pada masa lalu diselesaikan melalui Pengadilan HAM Ad Hoc serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Di Indonesia sudah dilakukan Pengadilan HAM Ad Hoc dalam kasus Timor Timur. UU KKR sudah dibuat. Sementara komisi itu belum terbentuk, UU tersebut sudah dirubuhkan secara ultra petita oleh Mahkamah Konstitusi.

Penyelesaian kasus 1965

Rekonsiliasi antara  korban peristiwa 1965 dan kalangan nahdiyin sudah berjalan di akar rumput dengan diinisiasi kelompok anak muda Syarikat (Santri untuk Advokasi Masyarakat) di Yogyakarta dan meluas di seluruh Jawa. Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang beranggotakan anak-anak dari tokoh yang pada masa lalu bermusuhan, seperti Amelia Yani, Ilham Aidit,  Sarjono Kartosuwiryo, Farid Prawiranegara (alm), dan Ferry Omar Dani, telah sepakat untuk menghentikan konflik dan tidak mewariskan konflik.

Sementara itu, di Jawa Timur, Dahlan Iskan sebelum menjadi menteri sempat menjadi mediator antara pesantren  keluarganya di Magetan dan Soemarsono. Soemarsono adalah tokoh pemuda yang berjasa dalam perjuangan bulan November 1945 di Surabaya dan kemudian terlibat peristiwa Madiun tahun 1948. Pasca-G30S 1965, Soemarsono ditangkap dan ditahan beberapa tahun. Setelah bebas, ia minta suaka ke Australia dan kini menetap di Sydney. Biarlah rekonsiliasi ini berlangsung wajar tanpa  campur tangan pemerintah.

Pemerintahan Jokowi bersungguh-sungguh menyelesaikan kasus 1965. Hal ini seperti terlihat pada penyelenggaraan pertemuan ilmiah untuk menyelesaikan kasus 1965 yang untuk pertama kalinya dengan anggaran pemerintah pada bulan April 2016 di Jakarta oleh Dewan Pertimbangan Presiden atas prakarsa Letjen (Purn) Agus Widjojo. Dalam pertemuan dengan korban 1965, Gubernur Lemhannas Agus Widjojo menyampaikan bahwa ia telah berusaha mencari solusi. Menurut dia, sebaiknya diciptakan kondisi agar Presiden dapat dengan nyaman mengambil keputusan, tanpa ada penentangan dari salah satu pihak.

Dengan kata lain, tentu sulit menyelesaikan masalah pembunuhan massal tahun 1965/1966 karena ini melibatkan bukan saja pihak militer, melainkan juga kelompok masyarakat seperti Banser NU. Tahun 2012, Komnas HAM menyerahkan hasil penyidikan mengenai pelanggaran HAM berat 1965 kepada Kejaksaan Agung. Namun, berkas itu dipingpong bolak-balik antarkedua instansi tanpa ada keputusan.

Oleh sebab itu, diselesaikan dulu kasus yang murni merupakan kebijakan negara. Pertama, pencabutan kewarganegaraan bagi mahasiswa Indonesia yang tugas belajar di luar negeri dan kelompok lainnya tahun 1965/1966. Kebijakan itu menyebabkan mereka bukan saja kehilangan kewarganegaraan Indonesia, melainkan juga terhalang untuk bertemu dengan keluarga mereka di Tanah Air selama puluhan tahun. Sebagian eksil ini sudah berkewarganegaraan asing di tempat mereka kini tinggal.

Solusi untuk mereka mudah. Presiden Jokowi dalam kunjungan kenegaraan ke sebuah negara Eropa mampir menemui para eksil di KBRI setempat. Presiden mengakui bahwa kebijakan pencabutan kewarganegaraan itu  memang terjadi pada masa lampau dan Presiden menyesalkan hal tersebut, serta berharap tidak terulang lagi.

Kasus Pulau Buru

Kedua, kasus Pulau Buru. Lebih dari 11.000 orang telah mengalami pemindahan paksa ke Pulau Buru tanpa proses pengadilan selama 10 tahun (1969-1979). Dalam kasus ini tempatnya jelas, waktunya jelas, korbannya jelas, dan pelakunya jelas (perintah Kopkamtib kepada Pelaksana Resettlement Pulau Buru yang sekaligus Jaksa Agung. Kopkamtib langsung di bawah Presiden).

Di sini mereka kerja paksa dari subuh sampai matahari terbenam, bahkan malam hari, untuk membangun lahan pertanian dan melayani keperluan lain komandan penjaga dengan tanpa digaji. Kalau terlihat beristirahat sebelum diperintahkan sang komandan, mereka akan dipukul.

Terkait hal ini, Presiden dapat mengeluarkan  keputusan presiden untuk merehabilitasi nama baik mereka. Pemberian rehabilitasi itu dapat diberikan Presiden setelah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Dulu, Ketua MA Bagir Manan pernah menyurati Presiden mengenai hal ini. Tahun 1970-an jumlah mereka lebih dari 11.000 orang. Hampir setengah abad berselang, kini mereka rata-rata berusia 80-an tahun dan entah berapa orang yang masih hidup.

Asvi Warman Adam