Istilah hukum sering rumit, tak jarang dibuat rumit. Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat tantangan agar tak melakukan tebang pilih dan jangan hanya berani untuk kasus kelas teri, menersangkakan dan menahan SN (Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar) tak mendapat apresiasi apa pun dari anggota DPR. Tak jarang mereka latah menyuarakan asas praduga tak bersalah meski sebagian besar anggota DPR itu tanpa latar hukum.

Istilah "praduga tak bersalah" mungkin berasal dari bahasa Inggris: presumption of innocence. Dalam Kamus Inggris-Indonesia Jhon M Echols dan Hassan Shadily terbitan Gramedia, presumptionberarti 'anggapan, kesombongan, kepongahan, kelancangan', dan innocence'tidak bersalah'. Mungkin kata anggapansesuatu yang tidak terukur dan abstrak, tidak ditambahi lagi dengan pra-. Kapan dan siapa yang menambahnya dengan pra-anggapan/praduga tidak jelas, mungkin juga untuk lebih mendramatisasi ketidakbersalahan.

Bahasa Indonesia sederhana, mudah dimengerti, tidak menimbulkan multitafsir logis. Istilah tersangka yang sudah memenuhi unsur tadi lebih tepat diduga bersalah daripada praduga tak bersalah. Memang dalam fatsum politik kita, apabila ada anggota partai politik menjadi tersangka, ia langsung dipecat atau tidak langsung dipecat seperti SN.

Meskipun memang sama-sama belum tentu salah, istilah diduga bersalah lebih ada geregetnya. Mana yang lebih tepat?

Nasrul IdrisGondangdia Baru, Jati Cempaka, Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat


Viral Kriminal

Beberapa waktu yang lalu foto beberapa orang Indonesia yang memiliki nama "tidak biasa", seperti "polisi" atau "banjir", diviralkan. Bahkan, juga nama seorang WNA: "Wong Sxx Txxx".

Kalau memang identitas WNA itu demikian, bagaimana mungkin identitas yang tercantum di paspor dapat menjadi viral di Indonesia? Mungkinkah pengunggah viral adalah orang-orang yang kerjanya berhubungan dengan dokumen imigrasi atau staf kantor depan hotel?

Tindakan ini sudah dapat dikategorikan tidak terpuji karena tanpa seizin yang bersangkutan, identitasnya dikopi dan diviralkan. Memviralkan foto pribadi atau suatu kejadian yang bersifat pribadi harus seizin pemilik.

Jika memviralkan identitas seseorang merupakan kejahatan atau kriminal, biarkan aparat hukum yang menindaklanjutinya.

FX WibisonoJalan Kumudasmoro Utara, Semarang


Hukuman bagi Koruptor

Saya tidak dapat menghitung berapa besar biaya menangani satu kasus korupsi, mulai dari penelitian, penyidikan, peradilan, sampai ke penyelenggaraan pelaksanaan hukuman dan atau kurungan. Belum lagi berapa energi yang terkuras untuk keperluan tersebut.

Hukuman kurungan bagi koruptor rasanya tidak akan mengembalikan kerugian negara. Hukuman denda yang dijatuhkan pada umumnya tidak seberapa besar, tidak sepadan dengan biaya yang telah dikeluarkan.

Mereka semua yang terlibat seharusnya mempunyai tanggung jawab lebih berat dibandingkan dengan mereka yang cuma sekadar dimanfaatkan. Hukuman bagi pelaku seharusnya lebih berat.

Miris melihat begitu banyak pejabat tinggi kita yang mengenakan rompi oranye.

Menarik sekali perkataan Topo Santoso, Guru Besar Ilmu Pidana Universitas Indonesia: tak semua jenis tindak pidana perlu dikenai sanksi berupa hukuman penjara. Banyak negara yang sudah menggantinya dengan pilihan lain (Kompas, 23 November 2017, halaman 23).

Hal itu pulalah yang dilakukan Arab Saudi: menuntut koruptor menyerahkan sebagian dari kekayaan yang diduga diperoleh dari korupsi guna memperoleh kembali kebebasannya (lihat antara lainKompas, 18 November 2017, halaman 10). Sudah tentu kekuasaan dan sistem hukum Arab Saudi berbeda dengan Indonesia, tetapi prinsipnya dapat dipertimbangkan menjadi opsi.

Tak dapat ditunda lagi keharusan kita membangun kesadaran nasional beserta perangkat yang efektif untuk membebaskan Indonesia dari korupsi.

SuwarsonoJalan H Zaini, Cipete Selatan, Jakarta Selatan

Kompas, 8 Desember 2017