Melalui deklarasi keadaan darurat, tatanan lama diruntuhkan dan kekerasan dibenarkan guna melahirkan tatanan baru. Kedaruratan selalu merupakan momentum awal dari demokrasi.

Persoalannya, setelah revolusi berlalu, bagaimana keadaan darurat ditempatkan? Bagaimana posisi status-darurat dalam negara demokrasi? Pemikir Italia, Giorgio Agamben, mengidentifikasi kecenderungan infiltrasi logika keadaan darurat dalam normalitas negara demokrasi.

Setelah tatanan baru terbentuk, rezim demokrasi semestinya berjalan di atas asumsi normalitas penyelenggaraan prinsip dasar: pembagian dan pembatasan kekuasaan, check and balances, dan kesetaraan semua orang di depan hukum. Penyelenggaraan demokrasi membutuhkan landasan keadaan normal dan negasi atas keadaan abnormal. Oleh karena itu, status-darurat harus dikurung dalam status non-operatif atau non-interupsi. Mengapa demikian? Karena deklarasi status-darurat adalah deklarasi keadaan abnormal di mana hukum dan prinsip-prinsip demokrasi dapat ditangguhkan.

Namun, Agamben menemukan hal sebaliknya. Rezim demokrasi tidak konsekuen meletakkan status darurat sebagai pengecualian tatanan, tetapi diam-diam menormalkannya sebagai bagian integral dari mode penyelenggaraan kekuasaan.

Kedaruratan senantiasa mengalami pelonggaran konteks sehingga muncul status darurat pengungsi, darurat terorisme, darurat radikalisme, darurat bencana, dan lain-lain. Tidak cukup terang apa kriteria-kriteria untuk menetapkan keadaan darurat. Jangan-jangan deklarasi darurat hanya sebentuk fiksi, menyatakan sesuatu yang tidak nyata (the fictitious state of emergency)?

Entah fiksi atau nyata, status darurat begitu lazim dideklarasikan sehingga menurut Agamben secara ontologis tidak ada lagi batas tegas antara keadaan darurat dan normal.

Kekaburan batas

Deklarasi status darurat mengaburkan batas-batas antara demokrasi dan absolutisme. Jika Carl Schmitt meletakkan status darurat dalam konteks rezim totaliter di mana kekuasaan berdaulat (sovereign power) menggunakan momentum darurat untuk menangguhkan konstitusi dan membenarkan kekerasan guna mempertahankan kekuasaan, sebaliknya Walter Benjamin meletakkan status darurat dalam kerangka revolusi di mana kekuatan anomik revolusioner menangguhkan konstitusi dan membenarkan kekerasan dengan tujuan sebaliknya: menumbangkan rezim totaliter dan melahirkan tatanan demokratis.

Melampaui dua interlokutor ini, Agamben justru meletakkan status darurat sebagai zona tumpang tindih sekaligus kesinambungan antara demokrasi dan totalitarianisme.

Melalui keadaan darurat, dimensi totalitarianisme menyelinap ketika kekuasaan eksekutif menjadi berdaulat (sovereign power) yang menganulir prinsip pembagian kekuasaan, menangguhkan konstitusi dan prosedur demokrasi, serta membenarkan kekerasan. Keadaan darurat juga ditandai perluasan kewenangan eksekutif yang melahirkan kerancuan kuasa pembentuk-konstitusi (constituting-power) dan kuasa pelaksana konstitusi (constituted power), antara keberadaan hukum dan kekosongan hukum, antara kehendak mewujudkan keadilan (dike) dan penggunaan kekerasan dalam menyelenggarakan tatanan (bia).

Dalam konteks inilah, Agamben berteori tentang normalisasi status darurat dalam kerangka negara demokrasi. Status darurat bukan penangguhan atas hukum, melainkan hukum itu sendiri. Status darurat secara paradoksal adalah hukum yang menangguhkan hukum. Bukan penyimpangan dari tatanan politik, melainkan matriks yang secara laten menggerakkan tatanan politik.

Tesis yang radikal dan dekonstruksionis ini mengandung beberapa persoalan. Agamben kurang memperhitungkan hukum sebagai praksis sosial relasional dan desentralistik, yang dalam banyak kasus bersifat produktif bagi penanganan kekerasan.

Agamben cenderung melihat hukum secara deterministik dan statis, berangkat dari pengandaian hukum sebagai semata-mata sarana pemaksaan negara. Agamben kurang memperhitungkan kemungkinan sebaliknya, bahwa hukum dalam praktiknya juga bersifat operasional bagi pembatasan pelaksanaan kekuasaan. Agamben juga mengesampingkan dialektika, multipolaritas, dan transformasi terus-menerus dalam praktik kedaulatan.

Benar bahwa tendensi praktik kekuasaan-berdaulat sedang terjadi di Rakhine, Myanmar, hari ini. Namun, dunia internasional tidak tinggal diam dan terus-menerus memberikan tekanan yang bisa mengubah keadaan penuh kekerasan di sana.

Dalam konteks ini, lebih tepat jika kecenderungan normalisasi keadaan darurat tidak diletakkan sebagai paradigma, aturan atau matriks tatanan politik seperti kata Agamben, tidak pula dianggap sebagai sekadar kasus pengecualian. Tendensi normalisasi status darurat hendaknya dipandang sebagai potensialitas kontinjen dalam tatanan negara demokrasi.

Normalisasi status darurat adalah "bahaya laten" yang selalu menghantui sehingga harus diantisipasi. Namun, bahaya itu tidak selalu teraktualisasikan karena bergantung pada dialektika penyelenggaraan kekuasaan yang terjadi dalam rezim demokrasi.

Terlepas dari catatan di atas, Agamben berkontribusi memberikan kerangka berpikir tentang bagaimana semestinya negara demokrasi meletakkan keadaan darurat, momentum yang mengawali demokrasi (beginning), tetapi semestinya tidak diperlakukan sebagai matriks yang secara laten menggerakkan tatanan demokrasi (hidden matriks). Dalam normalitas penyelenggaraan tatanan demokrasi, keadaan darurat semestinya secara konsekuen dikurung sebagai pengecualian atau residu dari tatanan sehingga tidak secara repetitif dan sistemik dinyatakan.

Perlu diperhatikan, deklarasi keadaan darurat adalah deklarasi penangguhan atas tatanan demokrasi. Ini sesungguhnya adalah sebentuk pengakuan bahwa negara tidak berhasil menjalankan prinsip-prinsip demokrasi sebagaimana mestinya sehingga prinsip dianulir sementara waktu. Maka, setiap tendensi penormalan dan pelonggaran kedaruratan sesungguhnya melahirkan efek delegitimatif terhadap demokrasi dan kemampuan negara dalam menjalankannya.

Penangguhan sistemik

Apa artinya berdemokrasi jika penangguhan atas demokrasi demikian sistemik? Walter Benjamin dalam konteks ini mengingatkan dampak resiprokal dari deklarasi status darurat. Jika dengan alasan darurat, penguasa secara repetitif menangguhkan konstitusi dan prosedur demokrasi, maka secara resiprokal hal ini memberi alasan bagi warga negara untuk menyatakan sebaliknya: menangguhkan kepatuhan terhadap konstitusi karena keputusan penguasa tak mencerminkan pelaksanaan konstitusi.

Jika penguasa cenderung membiarkan kekerasan dengan alasan darurat, maka lahir alasan bagi sebagian orang untuk berhenti menaati titah penguasa.

Dalam konteks normalisasi keadaan darurat, Agamben menyampaikan tesis biopolitik. Ketika hukum secara sistemik menangguhkan diri dan mengapropriasi kekerasan sebagai ekspresi penyelenggaraan hukum, maka hubungan politik yang asali adalah penelantaran (abandonment).

Yang menyambungkan negara dan warganya bukanlah matra perlindungan dan pelayanan, melainkan matra inklusi sekaligus eksklusi. Negara menyerap setiap orang ke dalam tatanan dengan memberlakukan berbagai batasan dan larangan, sekaligus menelantarkannya sebagai hidup telanjang (bare-life). Yang dimaksud Agamben adalah ketelanjangan politis orang-orang yang tak menikmati jaminan perlindungan dan kebebasan karena tidak sepenuhnya memiliki kualifikasi politik sebagai warga negara. Tesis biopolitik Agamben ini menggambarkan nasib kelompok minoritas, imigran, pengungsi, di Indonesia dan dunia.

Agus Sudibyo, Lulusan Program Doktoral Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Kompas, 16 Desember 2017