Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk memindahkan Kedutaan Besar AS ke Jerusalem memicu kontroversi. Keputusan tersebut diambil di tengah kevakuman proses perdamaian dan hanya akan mendorong pada meningkatnya tensi.

Jerusalem merupakan salah satu agenda perdamaian paling rumit dalam konflik Palestina-Israel. Masalah Jerusalem memiliki tiga dimensi yang berkelindan menjadi satu. Dimensi pertama yang sifatnya materialis adalah batas. Perdebatan mengenai batas ini menjadi rumit karena kedua pihak sama-sama mengklaim Jerusalem bersatu, untuk merujuk pada Jerusalem Timur dan Jerusalem Barat sebagai ibu kota negara. Israel secara resmi mengadopsi UU Jerusalem tahun 1980 yang membuat negosiasi batas menjadi semakin sulit untuk dilakukan.

Kedua, masalah Jerusalem juga terkait pengungsi dan permukiman yang berkaitan dengan masalah identitas. Morris (2004) menjelaskan secara detail kebijakan Haganah dalam mengusir pemukim Arab dari berbagai wilayah, termasuk Jerusalem, dalam Perang 1948. Selama ini, Israel hanya mengakui eksistensi pengungsi pada mereka yang diusir paksa dalam perang ini, tanpa memasukkan mereka yang secara mandiri pindah karena takut akan jadi korban perang.

Posisi ini jauh berbeda dengan posisi Palestina yang juga mempertimbangkan mereka yang mengungsi secara mandiri dalam perang ini dan mereka yang diusir paksa sesudah Perang 1948. Masalah pengungsi juga beririsan dengan kebijakan pembangunan Yahudi yang mendorong wilayah Israel untuk menguasai Jerusalem. Apalagi, dalam periode pemerintahan Benjamin Netanyahu, pembangunan permukiman Yahudi baru di Jerusalem terjadi secara masif.

Ketiga, dan mungkin yang paling rumit, masalah Jerusalem juga terkait keberadaan situs suci bagi tiga agama Abrahamik. Masalah terakhir ini, yang sifatnya supranatural, menjadi ganjalan paling serius bagi penyelesaian final isu Jerusalem.

Kian rumit

Usulan bagi penyelesaian Jerusalem selama ini didominasi oleh penyerahan Jerusalem di bawah kontrol internasional, terutama PBB. Meski usulan ini sebetulnya baik, tetapi tak punya dukungan politik yang memadai, terutama dari kedua pihak yang bertikai. Tahun 2000, Presiden Bill Clinton mengusulkan kontrol atas wilayah suci di tangan kedua pihak, Palestina atas Haram al-Syarif dan Israel atas Tembok Ratapan, atau kontrol bersama untuk menyelesaikan masalah Jerusalem. Hanya saja, usulan tersebut tidak mendapat dukungan dari kedua pihak.

Negosiasi perdamaian Palestina-Israel sendiri mandek sejak berakhirnya perundingan Camp David tahun 2000 atau beberapa bulan sebelum usulan Clinton (Clinton Parameters). Meski setelah Camp David terdapat beberapa perundingan antara Palestina dan Israel, tidak ada kesepakatan signifikan yang dicapai. Kemandekan proses perdamaian tersebut berdampak pada melemahnya dukungan publik Palestina dan Israel terhadap proses negosiasi.

Di Palestina, melemahnya dukungan tersebut diisi dengan peningkatan dukungan pada pilihan bersenjata yang diambil Hamas dan berkontribusi pada meningkatnya posisi politik mereka. Fatah yang mendominasi pemerintahan memilih langkah membawa penyelesaian masalah Palestina melalui jalur multilateral. Langkah tersebut dalam beberapa taraf berhasil dengan pengakuan Palestina sebagai negara pengamat non-anggota PBB tahun 2012. Selain itu, Palestina juga diterima sebagai anggota di beberapa organ utama PBB.

Di Israel, kegagalan proses perdamaian membawa publik pada pilihan politik yang lebih kanan. Partai-partai nasional dan ortodoks mendapatkan kemenangan politik dengan agenda ekonomi mereka. Secara sistematis mereka juga mengambil kebijakan yang mendorong okupasi lebih jauh terhadap wilayah-wilayah sengketa, termasuk Jerusalem. Dalam konteks ini, kemandekan proses perdamaian pun dibayar mahal dengan semakin rumit situasi di lapangan yang membawa dampak pada tingkat kesulitan lebih tinggi dalam menyelesaikan ketiga dimensi masalah Jerusalem.

Kian memburuk

Salah satu faktor yang berkontribusi signifikan memburuknya kondisi tersebut adalah berkurangnya peran AS sebagai mediator perdamaian. Sejak 2000, tak ada negara atau aktor lain yang sanggup memainkan peran sebagai penengah negosiasi. Meski peran AS sebagai mediator sering mendapatkan kritik karena cenderung pro-Israel, dalam realitasnya mereka mampu berperan sebagai buffer untuk mendorong status quo semaksimal mungkin. Keputusan yang diambil Trump hanya mempertegas sikap AS yang cenderung pro-Israel.

Selama ini, sikap AS dalam isu posisi Jerusalem sebagai ibu kota Israel cenderung mendua. Kongres AS meloloskan Jerusalem Embassy Act tahun 1995. Dalam tataran domestik, calon-calon presiden AS senantiasa menjanjikan pemindahan, terutama ketika mereka bertemu kelompok Yahudi untuk mendapatkan dukungan. Hanya saja, ketika sudah menjabat, mereka akan lebih memilih menandatangani waiver untuk mencegah komplikasi pada proses perdamaian.

Lebih dari satu dekade sebelumnya, setelah Israel mengadopsi UU Jerusalem, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 478, yang menyatakan bahwa UU itu tak bisa diberlakukan dan harus dicabut. Dari 15 anggota DK PBB, AS satu-satunya negara yang abstain meski tidak menolak. Resolusi tersebut juga memerintahkan negara mana pun yang sudah memiliki perwakilan diplomatik di Jerusalem segera memindahkannya.

Di luar mandat resolusi tersebut, keputusan memindahkan kedutaan ke Jerusalem juga memiliki komplikasi keamanan. Wilayah Jerusalem, terutama Jerusalem Timur, salah satu wilayah paling rawan di Tepi Barat. Pada Juli 2017, misalnya, 91 dari 222 serangan terjadi di Jerusalem. Bulan selanjutnya, 25 dari 110 serangan terjadi di Jerusalem. Pada September 2017 terjadi 29 serangan di Jerusalem dari total 103 serangan di seluruh wilayah yang ada di bawah kontrol Israel. Terakhir, Oktober, 18 dari 71 serangan terjadi di Jerusalem, satu di antaranya terjadi di dalam garis hijau.

Angka tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan serangan yang terjadi atau dilakukan dari Jalur Gaza. Pemindahan kedutaan AS ke Jerusalem hanya akan membawa konsekuensi pada meningkatkan jumlah serangan di Jerusalem. Apalagi sejak Trump berkuasa, kebijakan AS terhadap Palestina cenderung negatif, termasuk ancaman penutupan kantor PLO di Washington DC, beberapa waktu lalu.

Sikap tegas harus ditujukan pada keputusan Trump. Penolakan secara resmi terhadap kegilaan sesaat tersebut harus tetap disampaikan. Namun, lebih mendasar dari hal tersebut, upaya menghidupkan kembali negosiasi antara Palestina dan Israel harus dilakukan. Peran mediator harus diisi agar komunikasi di antara kedua pihak yang bertikai bisa dilakukan dan perubahan-perubahan yang sifatnya mendasar di lapangan bisa dicegah. Hal tersebut juga akan meminimalkan perilaku petualang seperti yang diambil Presiden Trump.