Kelompok "penyayang" kaum koruptor bekerja keras mengerahkan kemampuan intelektual, politik, ekonomi, dan hukum untuk membebaskan koruptor dari segala jeratan hukum. Mereka selalu mengatasnamakan negara hukum, keadilan, dan kesamaan warga negara di depan hukum.

Tentu dengan embel-embel kata "demi" sehingga terkesan mulia dan sakral. Celakanya, semua orang dipaksa untuk setuju. Bagi warga negara yang tidak puas dan protes melalui berbagai cara, disediakan pasal-pasal tuntutan. Meneror? Sangat mungkin.

Sensitivitas melemah

Nilai-nilai budaya bangsa kita selalu mengutuk perilaku pencurian uang/harta benda, baik yang dilakukan dengan cara halus (menipu, memperdaya, menelikung, mengakali) maupun kasar (mencopet, merampok, menjarah).

Budaya Jawa, misalnya, menyebut para bedebah itu sebagai kecu, predikat sangat buruk dan nista. Orang yang dimasukkan dalam golongan kecu  selalu mendapatkan hukuman sosial: dikucilkan. Tidak peduli kaum kecu  itu kaya raya dan "terhormat".

Logika yang berlaku adalah hanya orang yang memiliki martabatlah yang layak dihormati meskipun mereka orang miskin, wong cilik, atau orang biasa. Ukuran martabat dilihat pada perilaku etis, integritas, sikap moral, sikap sosial, dan nilai manfaat yang dimiliki seseorang terhadap masyarakat. Di sini tampak bahwa masyarakat hadir dan berfungsi sebagai kontrol atas perilaku setiap orang.

Namun, kini keadaan telah berubah. Kerekatan sosial memudar. Nilai-nilai ideal kehidupan telah mencair. Ukuran kepantasan pun berubah. Orang tidak sepenuhnya lagi diukur dari kualitas kepribadian, integritas, kapabilitas, dan dedikasi, melainkan kepemilikan material ditambah popularitas.

Kaya dan terkenal menjadi syarat bagi siapa pun untuk dianggap terhormat. Logika yang berlaku adalah logika berlanggam material dan budaya massa. Maka, jangan heran jika kaum koruptor  dengan kepemilikan materi dan bermodal besar kini menempati posisi tinggi dalam stratifikasi sosial. Bukan lagi mereka yang berilmu (alim) dan memiliki kesalehan personal dan sosial.

Lihat saja dalam berbagai perhelatan atau upacara sosial. Orang berpredikat apa pun akan lebih dihormati jika kaya, apalagi ditambah populer dan gelar akademik yang berderet-deret. Tidak peduli kualitas moralnya.

Logika "hanya yang kaya dan terkenal yang dihormati" telah menyerimpung daya penalaran masyarakat. Basis ukuran bukan lagi nilai-nilai, melainkan materi. Karena itu, masyarakat pun cenderung permisif terhadap kaum koruptor yang kaya raya, terkenal, dan berkuasa.

Penilaian atas kaum koruptor pun jadi aneh dan absurd. "Masak orang kaya korupsi. Orang kaya pasti baik. Mulia." Sensitivitas dan daya kritis masyarakat terhadap kaum koruptor pun semakin melemah. Apalagi bagi mereka yang kecipratan rezeki dari kaum bedebah itu.

Masyarakat permisif

Suka atau tidak suka, di negeri ini kaum koruptor telah menjelma menjadi kelas sosial baru. Ini terjadi seiring dengan semakin menguat dan membesarnya masyarakat permisif. Yakni masyarakat yang semakin terbuka dan serba boleh, tempat nilai, etika, moral, dan norma semakin melonggar dan relatif.

Perilaku mencuri atau korupsi yang semula dianggap sebagai tabu dan hina/nista kini semakin dianggap wajar dan biasa. Orang justru dianggap "bersalah" karena tidak korupsi ketika berkuasa dan segalanya sangat mungkin dilakukan.

Perilaku korup pun dominan dalam langgam kehidupan masyarakat permisif. Orang-orang pun berlomba-lomba untuk melakukan korupsi. Regenerasi koruptor pun terjadi secara smooth, sempurna. Tingkat pencapaian korupsi pun semakin meningkat.

Jika dulu pada zaman Orde Baru orang korupsi senilai ratusan juta rupiah sudah dianggap luar biasa, kini yang dianggap istimewa adalah mereka yang punya prestasi tinggi korupsi, misalnya menilep uang negara berjumlah ratusan miliar atau bahkan triliunan rupiah.

Semakin tinggi jumlah uang yang dikorupsi, semakin tinggi pula tingkat kemampuan koruptor untuk tidak bisa disentuh hukum. Dengan uangnya, para koruptor bisa menggalang dukungan baik secara politik, hukum, maupun sosial. Tentu para pendukung itu adalah mereka yang menyayangi koruptor atas dasar keuntungan material atau keselamatan diri.

Penguatan kelompok koruptor dan penyayang koruptor berpotensi besar menenggelamkan negara dalam kubangan kegagalan. Muncul kesan negara "takluk" kepada gerombolan kecu terhormat. Jika negara diam, masyarakat kehilangan orientasi nilai keadilan. Masyarakat jadi skeptis, bahkan tidak percaya.

Tumbuhnya masyarakat yang tidak percaya (distrust) pada penegakan hukum dan peran negara (legislatif, yudikatif, dan eksekutif) menjadi momok yang menakutkan bagi perkembangan kebudayaan dan peradaban bangsa. Involusi dan stagnasi otomatis terjadi.

Rakyat masuk dalam kehidupan bernegara yang hampa karena tidak merasakan makna dari kehadiran negara. Negara hadir hanya dalam pidato pejabat atau politisi yang sok merasa jadi negarawan, tetapi abstrak dalam kehidupan riil rakyat.

Sikap dan perilaku menyayangi kaum koruptor hanya bisa dicegah jika para penyelenggara negara yang masih berhati nurani dan bernalar benar berani menghunus pedang keadilan dan menusukkannya ke jantung kaum koruptor. Nyali besar ini mendesak untuk diwujudkan sebelum kaum koruptor semakin kuat dan "berwibawa" di depan hukum.