Harga minyak naik dan turun berayun seperti pendulum. Dahulu perusahaan-perusahaan minyak selalu menggunakan ramalan (prediksi) harga minyak dengan melihat faktor-faktor dominan (substansial) dan nondominan, seperti kualitas produk, keseimbangan pasok dan kebutuhan (supply and demand), pergantian musim, geopolitik, perang antarnegara produsen, dan sanksi ekonomi.

Dampak gejolak harga

Sekarang harga minyak lebih sulit lagi diprediksikan karena adanya substitusi energi ini oleh energi baru dan terbarukan yang dikembangkan secara agresif. Ditemukannya minyak dan gas serpih (shale oil/gas) di Amerika merupakan energi baru yang mengakibatkan banjirnya volume minyak dan gas di pasaran dunia sehingga menurunkan harga energi ini. Di saat yang hampir bersamaan, pengembangan energi terbarukan (energi surya, bayu, panas bumi) juga muncul bak musim jamur.

Pemanfaatan gas alam dan LNG (liquefied natural gas) sebagai pengganti minyak mentah telah dilakukan di sejumlah negara. Pembangunan infrastruktur gas dan LNG yang terus tumbuh telah mengubah peta distribusi dan perdagangan minyak dan gas dunia. Langkah inilah yang kemudian juga mendorong harga minyak bertahan di posisi rendah. Apalagi ditambah dengan pengembangan energi terbarukan yang makin kompetitif.

Sebagai contoh, pemasangan panel surya (solar cell) dan kincir angin pembangkit energi yang begitu masif di negara-negara yang notabene penghasil energi fosil (batubara, minyak, dan gas), seperti Qatar, Amerika, China, dan beberapa negara Eropa, telah dibarengi dengan pengembangan mobil listrik, arsitektur gedung, infrastruktur, dan berbagai keperluan rumah tangga yang lebih hemat energi.

Jaringan distribusi gas ke rumah-rumah sudah digantikan dengan penguatan jaringan kabel-kabel listrik yang bersumber dari energi terbarukan. Stasiun bahan bakar sudah digantikan dengan EVCS (electric vehicle charging station) yang dapat dengan mudah ditemukan di tempat parkir pusat-pusat perbelanjaan, perkantoran, hotel, dan pinggir jalan. Panel-panel surya dipasang di atap-atap kantor dan perumahan serta pada lampu-lampu jalanan.

Lalu bagaimana dampak pendulum harga minyak yang mengayun tidak menentu sekarang ini terhadap kinerja perusahaan minyak dunia? Ini jelas menjadikan tantangan yang sulit yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya. Inilah disrupsi bagi sebagian pemain bisnis minyak sekarang ini.

Perusahaan minyak besar, seperti Exxon Mobil, Shell, Total, BP, Chevron, bahkan Petronas dan Pertamina, yang memiliki bisnis di sektor hulu dan hilir, seharusnya tidak begitu terpengaruh dengan turun naiknya harga minyak. Pada saat harga minyak tinggi, pemasukan di sektor hulu seharusnya akan naik, sedangkan pada saat harga minyak rendah, sektor hilirnya akan meraup margin keuntungan yang lebih tinggi.

Namun, lagi-lagi pendulum harga minyak masih terus bergerak menuruti hukumnya. Kali ini mengayun naik ke level 60 dollar AS per barrel, hanya beberapa bulan setelah pimpinan Saudi Aramco memprediksi harga minyak bisa jatuh ke titik 10 dollar AS per barrel karena melihat perkembangan energi baru terbarukan dan produksi mobil listrik yang akan dilakukan secara masif.

Fenomena kenaikan harga minyak ini juga terjadi pada saat Indonesia baru beberapa bulan mengumumkan kebijakan BBM Satu Harga di seluruh pelosok Tanah Air dan baru beberapa bulan setelah Pertamina merencanakan membangun megaproyek kilang minyak di beberapa daerah dengan memanfaatkan minyak impor yang harganya rendah.

Kenaikan harga minyak yang signifikan ini tentunya akan menggerus keuntungan kegiatan hilir, apalagi selama harga minyak rendah, kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dikurangi. Artinya, keuntungan yang semestinya didapat dari kegiatan sektor hulu tidak terjadi.

Keseimbangan kebijakan

Banyak pengamat masih mencari penyebab substantif kenaikan harga minyak ini, tetapi belum semuanya sepakat pada satu kesimpulan. Beberapa di antaranya memprediksi bahwa kondisi ini bersifat sementara karena harga minyak yang tinggi justru akan memicu negara-negara yang tadinya sebagai pengimpor minyak semakin gencar mengembangkan energi baru dan terbarukan di sektor hulu dan hilirnya.

Pencarian energi baru pengganti minyak melalui riset dan inovasi teknologi makin berkembang. Diprediksikan ayunan pendulum harga minyak akan kembali turun mengikuti hukum keseimbangannya. Seberapa besar turunnya dan dalam waktu berapa lama, tidak ada yang bisa memperkirakannya.

Maka, menyiasati pergerakan pendulum harga minyak itu perlu menjadi perhatian bagi perusahaan minyak ataupun pemerintah. Pembuatan kebijakan yang sepertinya baik di satu sisi (politik) mungkin dapat merugikan di sisi lain (bisnis).

Perusahaan negara yang berbentuk perusahaan terbatas (PT) yang notabene tunduk pada peraturan PT yang harus meraup untung akan terseok merugi jika harus menanggung "penugasan pemerintah" untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di seluruh pelosok Tanah Air tanpa mempertimbangkan sifat alam ayunan pendulum harga migas ini. Itulah yang mungkin dirasakan oleh perusahaan energi di Indonesia, seperti PT PLN, PT Pertamina, dan PT Perusahaan Gas Negara, sehingga perlu adanya keseimbangan kebijakan.

Kebijakan yang seharusnya ditempuh adalah memanfaatkan pendulum harga minyak yang sedang naik dengan memanfaatkan sebagian dananya untuk pengembangan energi yang ada di setiap daerah secara optimal. Desentralisasi energi perlu menjadi pilihan. Prinsip the right energy in the right place mesti digulirkan. Pemanfaatan in situ energyseharusnya terus digalakkan.

Sebagai contoh, daerah-daerah yang memiliki energi surya berlimpah dan tidak memiliki energi fosil, seperti Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, harus dipacu untuk membangun dan memanfaatkan energi surya, bayu, biomassa, torium, atau yang lainnya. Papua yang masih memiliki sungai-sungai besar harus memiliki pembangkit tenaga air yang maksimum.

Minyak dan gas yang ada dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku petrokimia yang memang tidak dapat digantikan dengan mineral lain. Kebijakan BBM Satu Harga ada baiknya ditinjau ulang karena hanya akan memanjakan pemakai BBM yang konsumtif dan tidak menumbuhkan inovasi substitusi energi lain. Mungkin perlu dialihkan pada subsidi listrik dan infrastrukturnya yang bersumber dari energi baru dan terbarukan.

Begitu listrik sudah tersedia dari energi alternatif di daerah-daerah dengan harga yang terjangkau, industri akan tumbuh, lapangan pekerjaan tercukupi, dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Pada awalnya mungkin perlu investasi yang disubsidi, tetapi lambat laun mereka akan mandiri dengan energi yang tak pernah habis (terbarukan) dan inovasi kegiatan ekonomi yang tak pernah berhenti.

Dengan demikian, kebutuhan energi dasar kita bisa secepatnya terbebas dari pengaruh pergerakan pendulum harga minyak yang memang tak dapat kita prediksikan dengan baik dan tepat.

Salis S Aprilian