Difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian anak melalui obstruksi larings atau sumbatan pada saluran pernapasan atas dan peradangan pada dinding otot jantung atau miokarditis. Difteri sangat menular melalui percikan air liur.

Gambaran klinis difteri adalah demam 380 celsius, mukosa hidung putih keabu-abuan (pseudomembran), mudah berdarah di laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher bengkak seperti leher sapi (bullneck), dan sesak napas disertai bunyi.

Kasus dugaan difteri adalah kasus yang menunjukkan gejala demam, sakit menelan, pseudomembran, pembengkakan leher dan sesak napas disertai bunyi (stridor). Dugaan difteri harus dikonfirmasi via laboratorium.

Penyakit ini sebagian besar mengenai anak umur 1-5 tahun. Semakin dewasa usia, semakin kuat terhadap penularan difteri.

Hilang peluang

Saat ini 130 dari 194 negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mencapai cakupan 90 persen untuk DPT3 di tingkat nasional, sesuai target dalam Global Action Plan. Tahun 2016, imunisasi dasar lengkap diberikan kepada 4.337.411 bayi atau 91,1 persen, di Banten diberikan kepada 226.762 bayi atau 93,8 persen, di Kalimantan Utara cakupan terendah kepada 8.177 bayi atau hanya 56,1 persen.

Cakupan itu sesuai laporan WHO dan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) bahwa di seluruh dunia hampir 1 dari 10 bayi tak diimunisasi, disebut missing out atau hilang peluang, pada 2016. Ini berarti bayi tersebut berada pada risiko serius dari penyakit yang berpotensi fatal, seperti pada saat terjadi KLB difteri.

Apabila ditemukan satu anak penderita difteri, itu sudah merupakan KLB. Difteri harus dihadapi dengan mekanisme segera dibawa ke rumah sakit, diisolasi dan diobati dengan antibiotik dan anti-difteri serum (ADS). ADS selalu tersedia, tetapi terpusat di Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan.

Terhadap kontak penderita diberikan antibiotik eritromisin 500 mg selama 7-10 hari. Kontak penderita adalah orang yang tinggal satu rumah, yang berbagi peralatan makanan minuman yang mungkin terkena sekret penderita. Jika hasil laboratorium kontak penderita juga positif, dilanjutkan dengan pemberian antibiotik selama 7-10 hari, sampai hasil pemeriksaan laboratoriumnya negatif.

Upaya lainnya untuk memutuskan rantai penularan penyakit adalah denganoutbreak respons imunization (ORI). Ruang lingkup meliputi semua anak balita di wilayah kasus ditemukan. Luasnya ORI adalah pada wilayah KLB, minimal satu wilayah puskesmas atau kecamatan, dan wilayah sekitar yang berisiko berdasarkan kajian epidemiologi. ORI dilakukan pada semua anak tanpa melihat riwayat imunisasi dan hasil laboratorium.

Imunisasi DPT-HB-Hib pada bayi di bawah 2 tahun dan cakupan BIAS DT dan Td pada anak sekolah dasar atau sederajat perlu ditingkatkan. Laporkan segera ke puskesmas jika ada penderita dengan gejala mirip difteri, dan sarankan memakai masker jika batuk atau bersin. Membudayakan hidup bersih dan sehat serta melibatkan peran pemangku kepentingan di luar kesehatan untuk menginformasikan pentingnya pencegahan via imunisasi.

Gagal target

Terjadi KLB difteri mencerminkan cakupan imunisasi yang gagal mencapai target. Selain itu, ada dugaan imunisasi gagal membentuk antibodi secara maksimal kepada anak. Bisa jadi karena vaksin DPT merupakan vaksin mati sehingga untuk mempertahankan kadar antibodi di atas ambang pencegahan sangat diperlukan kelengkapan atau imunisasi ulangan. Imunisasi DPT 5 (lima) kali harus dilengkapi sebelum anak berumur 6 tahun.

Imunisasi adalah salah satu intervensi kesehatan masyarakat yang paling berhasil dan hemat biaya. Karena itu, imunisasi merupakan intervensi yang paling perlu disetarakan (the most pro-equity interventions) untuk mengurangi ketidaksetaraan pemberian, terkait dengan status ekonomi, tempat tinggal, pendidikan ibu, sosial budaya, dan berbagai faktor lain.

Saat menghadapi KLB difteri di Banten, kita diingatkan juga akan anak di Kalimantan Utara dengan cakupan imunisasi paling rendah di Indonesia. Mereka adalah kelompok yang berisiko tinggi tidak diimunisasi, missing out atau hilang peluang mendapatkan imunisasi DPT.

Inilah PR kita bersama.