Sekalipun harus diakui juga bahwa tidak semua elemen kelembagaannya, termasuk organisasi kekaryaan yang menjadiunderbouw partai, bisa berfungsi
baik, terutama dalam mengartikulasi kepentingan rakyat pemilihnya.  Golkar  juga menjadi partai yang bersifat terbuka dan cair serta dapat melepaskan diri sebagai partai Orde Baru. Tidak ada lagi pemilik atau penguasa tunggal yang mengendalikan dan memutuskan kebijakan partai. Ini berbeda dengan partai-partai  lain, yang setiap keputusan politiknya bergantung pada ketua umum atau dewan pembina.

Namun, sayangnya, aset politik yang dimiliki tak mampu dikapitalisasi sebagai kekuatan yang efektif untuk memajukan kehidupan politik yang sehat dalam rangka kemajuan bangsa dan negara. Partai ini justru mengalami perkembangan memilukan hingga titik nadir seiring keterlibatan Setya Novanto dalam kasus megakorupsi KTP elektronik.

Seolah-olah kehadirannya telah menjadi virus yang akan mematikan bagi masa depan partai sehingga tuntutan diselenggarakannya musyawarah nasional luar biasa (munaslub) partai sulit dihindari, dengan harapan mengembalikan pamor Golkar.

Bisnis politik

Pada hakikatnya, gejala kemerosotan Golkar sudah lama terjadi. Hal ini ditandai perolehan suara pada Pemilu 1999 sebesar 22,44 persen. Sekalipun kemudian memenangi pemilihan legislatif 2004, perolehan suaranya menurun menjadi 21,58 persen.  Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap Golkar ternyata kurang direspons elite partai dengan melakukan pembaruan posisi, peran dan program politiknya mengikuti dinamika sosial masyarakat pemilih.

Akibatnya, suara yang diperoleh tinggal 14,5 persen (2009) dan tak berbeda jauh dengan hasil Pemilu 2014, yakni 14,75 persen. Bahkan, ketidakpercayaan masyarakat semakin tinggi dengan beberapa kasus korupsi yang menimpa ketua umumnya. Survei Litbang Kompasatas elektabilitas partai politik pada April 2017 menunjukkan bahwa suara Golkar hanya sekitar 7,8 persen.

Ironisnya, dalam situasi terperosok, partai dikelola seperti biasa (bisnis as usual). Wajah pemihakan Golkar atas persoalan rakyat, seperti ketimpangan, ketidakadilan, dan kemiskinan,  nyaris tidak tampak sebagai perwujudan dari  visinya, yaitu berjuang menuju Indonesia baru yang maju, modern, bersatu, damai, adil, dan makmur.

Ketidakhadiran partai di tengah rakyat juga terlihat  dari absennya, baik kader maupun organisasi underbouw-nya, dalam kerja nyata di tengah masyarakat sebagai cerminan posisi Golkar sebagai partai gerakan. Bahkan, partai ini juga kurang melakukan kegiatan pendidikan politik dan kaderisasi secara masif  dengan mendorong dan menempatkan generasi muda yang relatif bebas dari konflik kepentingan masa lalu sebagai motor untuk menggerakkan  roda organisasi.

Sejak reformasi, ada kesan pengelolaan partai tak ubahnya seperti bisnis dengan politik sebagai komoditas. Dengan demikian, yang diukur dan dikejar adalah jabatan dan materi dibandingkan dengan kelahiran sosok pemimpin yang memiliki integritas dan produk politik untuk kemajuan bangsa dan negara. Karena itu, kehidupan organisasi sarat transaksi, mulai dari pemilihan ketua umum, elite pengurus, calon wakil rakyat di DPR, hingga pemilihan pemimpin daerah.  Bahkan, Golkar mengalami de-ideologisasi dan basis pemilih mengambang, di mana  elite dan politisi partai tidak lagi berdiri untuk apa pun atau siapa pun sehingga kehilangan politisi yang memiliki prinsip, ide-ide politik , dan program inovatif.

Partai marginal

Mengutip pendapat Frans Becker dan Rene Cuperos dalam The Party Paradox: Political Parties Between Irrelevance and Omnipotence, perkembangan Golkar saat ini seperti partai politik yang hampir mati akibat ada krisis kepemimpinan dan penurunan dukungan pemilih. Dengan demikian, munaslub menjadi peristiwa penting dan menentukan dalam mengembalikan pamor Golkar. Setidaknya ada tiga isu yang mesti dipertimbangkan jika Golkar tak ingin terperosok lebih dalam sebagai partai marjinal.

Pertama, Golkar perlu memilih sosok ketua umum yang  berintegritas dan berlatar belakang politik dan bukan sekadar memiliki sumber daya lebih. Pimpinan dan pengurus Golkar juga perlu diisi dengan figur yang tak mencari jabatan dan uang sehingga tidak transaksi atas sikap politiknya.

Kedua, Golkar perlu mendeklarasikan sebagai partai antikorupsi dengan memelopori gerakan pemberantasan korupsi, terutama di internal organisasinya. Misal, meminta setiap kader di eksekutif dan legislatif, baik di pusat maupun daerah, membuat pakta integritas untuk tak melakukan praktik korupsi.

Ketiga, Golkar perlu mendorong dan memulai proses perekrutan dan seleksi pimpinan nasional (presiden) melalui pendekatan konvensi sehingga dapat diperoleh figur pemimpin otentik yang memiliki talenta dalam memajukan bangsa dan negara. Dalam kaitan ini, Golkar juga melarang ketua umumnya ikut berlaga dalam konvensi.

Golkar juga penting untuk tak selalu berada dalam kekuasaan mengingat keberadaan kadernya di pemerintahan belum terbukti memberi dampak terhadap kemajuan partai. Kehadiran di kekuasaan justru mengakibatkan Golkar  tidak mandiri dan menjadi kritis terhadap produk kebijakan pemerintah yang mengasingkan rakyat.

Dengan memutuskan keempat poin di atas, itu akan menjadi embrio dan pintu masuk dalam mengembalikan pamor Golkar ke depan. Sebaliknya, jika hanya memilih ketua umum semata, munaslub hanya bersifat seremonial yang tak mampu mengangkat pamor partai. Sayang dan tragis sekali jika kelak Golkar menjadi partai marjinal.

Suhardi Suryadi