Betapa tidak, dinamika global, regional, dan nasional kini menghadapkan Indonesia pada tantangan baru: terorisme di kawasan maritim. Isu ini mengemuka, tetapi seperti angin lalu. Faktanya, terorisme di kawasan maritim luput dari rancangan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.

Ancaman nyata situasi keamanan nasional, terutama kawasan maritim, tak bisa diabaikan. Fakta ancaman ini telah terlihat jelas sejak ditemukannya dokumen dari markas Osama bin Laden yang mengungkapkan ketertarikannya untuk menargetkan industri maritim sebagai metode terorisme dalam memprovokasi krisis ekonomi ekstrem di Barat sebagaimana diberitakan surat kabar Inggris, Guardian (20/5/2011).

Melihat kemungkinan itu, TNI mengambil berbagai inisiatif. Salah satunya, pada 2014 dibentuk Tim Western Fleet Quick Response (WFQR) untuk merespons ancaman keamanan di Selat Malaka, termasuk terhadap kemungkinan aksi terorisme maritim. Inisiatif ini membukukan kesuksesan dengan menurunnya tindak kejahatan di Selat Malaka sehingga desain operasi ini kemudian diterapkan sebagai model untuk seluruh perairan Indonesia, termasuk perbatasan.

Desain operasi ini lahir tidak lepas dari menguatnya kesadaran bahwa konstelasi geografisnya menjadikan Indonesia negara maritim. Hal ini dipertegas dengan bertambahnya luas wilayah laut sampai 100 mil laut berdasarkan ketentuan UU Nomor 4 Tahun 2017 tentang pengesahan persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Filipina mengenai penetapan batas zona ekonomi eksklusif (ZEE).

Selain itu, Indonesia memiliki posisi strategis bagi poros aktivitas maritim regional dan global. Tentu kondisi ini sangat menguntungkan di sisi ekonomi karena Indonesia harus hadir sebagai penyedia akses jalur perdagangan di laut. Namun, di sisi lain, posisi itu berpotensi menimbulkan kompleksitas ancaman dan tantangan bagi stabilitas keamanan nasional, terutama kelangsungan pengelolaan sumber daya alam dan keamanan akses itu. Sebut saja, pencurian ikan, pembajakan dan perompakan di laut, penyelundupan barang, manusia, dan narkotika, pencemaran lingkungan laut, keselamatan navigasi, bencana alam, dan terorisme. Hal ini tentu menjadi tantangan prioritas yang akan dihadapi TNI saat ini maupun di masa yang akan datang.

Terorisme maritim

Salah satu bentuk ancaman pada domain maritim yang terkadang luput dari perhatian publik adalah terorisme maritim. Kompleksitas ancaman terorisme di laut sering kali diabaikan, padahal probabilitasnya semakin meningkat. Masih segar dalam ingatan kita, betapa paniknya pemerintah saat 10 kru kapal Brahma 12 berkebangsaan Indonesia menjadi sandera kelompok Abu Sayyaf pada 26 Maret 2016.

Setelah itu, menyusul anak buah kapal Henry, Charles 00, dan dua kapal ikan Indonesia kembali menjadi sasaran penculikan oleh kelompok militan yang beroperasi di Laut Sulu, Filipina. Meskipun akhirnya dapat dibebaskan, ancaman dari kelompok teroris yang melaksanakan penculikan terhadap kru kapal masih sangat nyata dan terus berlanjut selama keberadaan mereka masih eksis.

Meskipun beberapa pihak berpendapat tindakan serangan terhadap kapal-kapal yang berlayar di Laut Sulu merupakan tindakan pembajakan murni karena bermotif ekonomi sebab pelaku meminta sejumlah uang tebusan sebagai ganti pembebasan para sandera, tindakan kriminal di laut dengan penggunaan kekerasan oleh kelompok teroris atau berafiliasi dengan kelompok teroris tertentu akan semakin kompleks, terutama dari aspek tindakan hukum ataupun dampak yang ditimbulkan.

Bagi TNI, untuk menghadapi ancaman ini, beberapa opsi unilateral maupun multilateral dengan bekerja sama dengan negara-negara tetangga atau satu kawasan telah dilaksanakan. TNI telah melaksanakan pengerahan kapal perang untuk berpatroli di wilayah tersebut. Hal ini sebagai tindakan preventif dan represif terhadap setiap ancaman yang akan dan telah terjadi.

Bekerja sama dengan angkatan bersenjata Filipina dan Malaysia, TNI telah menggelar operasi laut terkoordinasi bernama "Indomalphi" sejak 19 Juni 2017. Inisiatif ini pendekatan yang sangat relevan dan diharapkan membuahkan hasil signifikan dengan menurunnya serangan aktual oleh kelompok militan terhadap kapal-kapal di perairan Laut Sulu dan sekitarnya.

Namun, upaya ini masih bersifat insidental dan belum dapat mengatasi ancaman terorisme maritim yang sesungguhnya. Tujuan utama kelompok teroris adalah menyampaikan pesan politik dan memaksa pemerintah atau negara melakukan sesuatu sebagai sasaran akhir yang ingin dicapainya. Perusakan terhadap instalasi atau obyek vital maritim serta penyerangan dengan kekerasan terhadap kapal dan krunya hanyalah cara untuk menyampaikan pesan politik tersebut.

Namun, tindakan ini berdampak signifikan mengingat infrastruktur publik yang berada di kawasan maritim kian beragam, seperti pelabuhan laut, pipa minyak dan gas, kabel komunikasi serat optik, fasilitas eksplorasi lepas pantai, dan obyek wisata, yang akan berdampak luas secara global.

RUU Terorisme

Bukti luputnya perhatian pemerintah terhadap kejahatan terorisme di kawasan maritim ini terlihat dari tidak dimasukkannya kejahatan di kapal menjadi delik dari tindak pidana terorisme. Ketentuan Pasal 8 dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme hanya memasukkan delik kejahatan terorisme di pesawat udara.

Meski demikian, publik mafhum jika pembuat UU pada 2003 belum memasukkan delik kejahatan di kapal laut, pelabuhan, dan kawasan maritim sebagai bagian dari tindak pidana terorisme karena saat itu ancaman terorisme belum meluas seperti saat ini. Namun, upaya untuk melakukan perubahan terhadap UU Nomor 15 Tahun 2003 karena dianggap sudah tak bisa mengikuti perkembangan kejahatan terorisme global saat ini harus dilakukan secara komprehensif.

Tak adanya penambahan delik pidana pada obyek vital strategis di kawasan maritim hanya akan membuat kejahatan terorisme terus menemukan celahnya dan tidak pernah terselesaikan. Kompleksitas penanganan kejahatan di kawasan maritim sejatinya tak bisa hanya diselesaikan dengan pendekatan pidana konvensional. Penambahan delik pidana kejahatan di kapal, pelabuhan, dan kawasan maritim sebagai bagian dari tindak pidana terorisme mutlak dilakukan.

Tak pelak, perubahan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang saat ini sedang dilakukan di DPR menjadi momentum tepat untuk memasukkan ketentuan terorisme maritim sebagai bagian dari delik tindak pidana terorisme.

Publik tentu memiliki harapan besar terhadap Panglima TNI yang baru. Komitmen kuat untuk menjaga kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia kini mutlak menjadi tugas utama TNI. Untuk menjawab kompleksitas kejahatan di kawasan maritim saat ini, dibutuhkan suatu pedoman, strategi, dan prioritas dalam tataran strategis, operasional, dan taktis nasional, khususnya dalam menghadapi ancaman kejahatan terorisme maritim.

Kondisi ini tentu kian menuntut TNI sebagai alat pertahanan negara untuk beradaptasi dan mencari strategi yang inovatif yang mampu menjawab atau mengatasi berbagai tantangan itu. Tentu menjadi tantangan baru bagi TNI dalam memformulasikan cara bertindak terbaik untuk mengatasinya, terutama untuk melihat kembali aturan hukum tentang penanggulangan terorisme maritim di Indonesia.

Akhirnya, ancaman terorisme maritim sudah saatnya diantisipasi dan dicarikan strategi terbaik untuk menghadapinya. Pada salah satu aspek inilah TNI dipandang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang utama dalam upaya penanggulangan terorisme, terutama pada domain dirgantara. Harapannya, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto juga mulai memberikan perhatian yang lebih terhadap keamanan maritim nasional, khususnya terorisme maritim.

Hal ini dapat dilihat pada desain operasi dan upaya modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) seperti apa yang akan dilakukan ke depan bagi TNI serta keterlibatan TNI sebagai salah satu alat negara dalam penanggulangan terorisme. Kita tunggu apa yang akan dilakukan oleh Panglima TNI ke depan.