Ide ini bukanlah sesuatu yang baru karena pada 2013 sudah pernah disampaikan mantan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa. Tujuan awalnya adalah keinginan Indonesia agar interaksi negara-negara di lingkar Samudra Hindia dan Samudra Pasifik tidak dikendalikan oleh hasrat mencapai keseimbangan kekuatan atau balance of power, tetapi  dynamic equilibrium atau keseimbangan yang dinamis, dengan mengakomodasi kepentingan semua negara besar. Apa motivasi Indonesia menghidupkan kembali wacana kerja sama Indo-Pasifik ini?

Dinamika regional

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu digambarkan konteks perkembangan politik internasional di kawasan Asia Pasifik, di mana minimnya pengaturan keamanan regional yang efektif  dapat menimbulkan miskalkulasi dan eskalasi yang berisiko tinggi.

Pertama, krisis senjata nuklir Korea Utara yang praktis bisa menjangkau daratan Amerika Serikat (AS) serta sekutunya, baik Jepang maupun Korea Selatan, belum menemukan solusi permanen yang memuaskan semua pihak. Memang saat ini ada peredaan ketegangan dalam hubungan Pyongyang dan Seoul melalui kesediaan Korea Utara berpartisipasi dalam Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang, 9-25 Februari 2018. Akan tetapi, hal ini belum menjadi jaminan bahwa rezim Kim Jong Un di Korea Utara akan melucuti senjata nuklirnya. Bahkan ada yang menduga, sikap kooperatif ini hanya untuk meringankan beban sanksi ekonomi oleh Dewan Keamanan PBB.

Kedua, China tampaknya semakin sensitif terhadap setiap upaya dari pihak luar untuk mempermasalahkan kontrol de facto-nya atas beberapa pulau yang disengketakan di Laut China Selatan. Bahkan, baru-baru ini bersamaan dengan kunjungan Menteri Pertahanan AS Jim Mattis ke Indonesia dan Vietnam, China memprotes keras adanya kapal perusak AS, USS Hopper, yang dituding masuk Laut China Selatan karena dianggap melanggar kedaulatan negara itu. Kendati AS di bawah Presiden Donald Trump lebih memprioritaskan kebijakan dalam negeri, ada juga niat untuk diikutsertakan dalam kerja sama dengan Indonesia dan Filipina untuk menjaga keamanan di sekitar Laut Natuna. Bisa diduga bahwa selain ingin mendukung penumpasan terorisme di perairan Filipina Selatan, AS juga ingin membangun akses untuk memantau lebih dekat ke wilayah sengketa di Laut China Selatan.

Ketiga, nuansa persaingan antara India dan China sebagai dua raksasa Asia semakin terasa dan keduanya sama-sama melirik potensi ASEAN, baik sebagai entitas politik maupun ekonomi yang semakin penting. India semakin menyadari ketertinggalannya dibandingkan China dalam memanfaatkan pertumbuhan daya beli kelas menengah di ASEAN. Misalnya, pada tahun 2015, volume ekspor China ke ASEAN sudah mencapai sekitar 139 miliar dollar AS, sedangkan India baru sekitar 39 miliar dollar AS (www.aseansec.org). Ketika merayakan 25 tahun kemitraan India-ASEAN, Perdana Menteri Narendra Modi menekankan kebijakan Act East Policy yang antara lain bertujuan mengintensifkan kerja sama ekonomi dengan negara-negara ASEAN.  

Dua konsep kerja sama

Urgensi kerja sama Indo-Pasifik yang inklusif, sesuai usul Indonesia, semakin mendesak karena sudah mulai dirasakan gejala polarisasi dua konsep kerja sama di kawasan ini. Pertama, dalam tur ke Asia pada November tahun lalu, Presiden Donald Trump melontarkan gagasan kerja sama Indo-Pasifik versi AS, yang intinya menyatukan negara-negara demokrasi di kawasan ini, seperti India, Australia, dan Jepang, untuk mengimbangi dominasi China yang semakin kuat.

Dalam perkembangan selanjutnya, menghadapi ancaman nuklir Korea Utara, Australia dan Jepang sedang mempersiapkan pembentukan pakta militer yang tentu saja menimbulkan kecurigaan di pihak China (Kompas, 19 Januari 2018). India juga tidak tinggal diam. Seorang analis strategis India dari South Asia Analysis Group, Subhash Kapila, bahkan mengusulkan segera dibentuknya Indo-Pacific Treaty Organization (IPTO), meniru pola NATO di Eropa. Ini demi mengimbangi kebijakan China yang tampil agresif mulai dari Laut China Selatan sampai perbatasan dengan India di Pegunungan Himalaya (http://www.indiandefencereview.com).

Kedua, konsep kemitraan atau kerja sama versi China di kawasan Indo-Pasifik agak berbeda karena lebih mengutamakan instrumentalisasi perdagangan dan investasi melalui implementasi gagasan Satu Sabuk Satu Jalur (OBOR). Beijing sudah memperhitungkan bahwa semua negara di kawasan ini pasti tergiur dengan kekuatan pasar China dan sumber daya finansial yang dimilikinya. Seorang diplomat dari Kedutaan Besar China di Jakarta, Wang Liping, memperkirakan bahwa dalam lima tahun ke depan total impor barang dan jasa China akan melampaui 10 triliun dollar AS (Kompas, 27 Januari 2018).

Sikap Indonesia

Menghadapi dinamika kawasan di lingkar Indo-Pasifik seperti yang diuraikan di atas, sangat masuk akal apabila Indonesia sebagai kekuatan konstruktif dan moderat di Asia, serta sejalan dengan prinsip kebijakan luar negeri bebas aktif, mempromosikan kerja sama Indo-Pasifik yang inklusif, terbuka, dan komprehensif. Konsep ini diharapkan bisa diterima semua pihak karena tidak mengutamakan kontestasi kekuatan (struggle for power), tetapi membangun ekosistem perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran.

Tentu saja ini suatu inisiatif kebijakan luar negeri yang positif. Dengan catatan, ini harus diimbangi dengan upaya peningkatan kemampuan Indonesia untuk memanfaatkan kerja sama yang ada demi pembangunan nasional. Bagaimanapun, dalam hal yang terakhir ini, kita sangat tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga di lingkungan ASEAN. Semoga!