KOMPAS/DIDIE SW

.

Pengakuan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan mutu guru. Namun, setelah lebih kurang 12 tahun berbagai upaya dilakukan, bukan saja kualitas guru yang belum meningkat, melainkan juga  persoalan distribusi dan kekurangan guru merundung setiap jenjang persekolahan di seluruh pelosok Tanah Air.

Meskipun para pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sering menyebutkan secara makro kita tak mengalami kekurangan guru seperti ditunjukkan oleh rasio guru-murid yang tampak ideal—untuk SD 1:18 (guru PNS, 1:31); SMP 1:17 (guru PNS, 1:32); SMA 1:16 (guru PNS, 1:32); SMK 1:17 (guru PNS, 1:60)—sejatinya Indonesia mengalami dan terancam kekurangan guru serius, yang jika tidak diantisipasi dari sekarang akan "merobohkan" sekolah dan pendidikan kita.

Data Kemdikbud (Desember 2016) menyebutkan jumlah total guru 2.922.826 orang, terdiri dari 1.432.623 orang (49 persen) PNS dan sisanya 1.490.203 orang (51 persen) guru non-PNS. Dari jumlah guru non-PNS, 812.064 orang (54,5 persen) adalah guru honorer, yang baik sistem perekrutan maupun pengelolaannya hingga kini kurang jelas. Selain itu, dalam kurun waktu 2016-2020, diproyeksikan ada 316.535 guru PNS akan pensiun sehingga situasi kekurangan guru akan makin parah (Kompas, 23/11/2016).

Sebenarnya, sekolah kita sudah lama mengalami kekurangan guru, tetapi dalam pemetaan sering kali kesimpulan yang ditonjolkan adalah perbandingan agregasi guru-murid tanpa mempersoalkan keberadaan guru non-PNS, terutama guru honorer, sehingga terkesan masalah yang kita hadapi hanyalah persoalan pemerataan/distribusi guru semata. Kekurangan guru dan keberadaan guru honorer yang sarat permasalahan, baik kualitas maupun statusnya, dianggap tidak urgen. Oleh sebab itu, kemudian pemerintah (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Keuangan) tak mengecualikan guru ketika mengeluarkan regulasi moratorium pengangkatan PNS.

Di sisi lain, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 Pasal 8 melarang semua pejabat pembina kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi mengangkat tenaga honorer sehingga kepala daerah tak berani secara resmi mengangkat guru honorer, meski UU tentang Guru dan Dosen (UUGD) Pasal 29 Ayat (4) mewajibkan  pemerintah pusat atau pemda menyediakan guru pengganti ketika terjadi kekosongan guru. Hingga saat ini, kita belum mendengar bagaimana skenario komprehensif pemerintah dalam menghadapi kekurangan dan ketidakmerataan guru yang berlarut-larut itu.

Belakangan, Mendikbud Muhadjir Effendy cukup rasional mengeluarkan kebijakan "Guru Berkeahlian Ganda" (GBG), yaitu memberikan/meng-upgrade guru yang ada dengan kompetensi tambahan sehingga dapat mengampu beberapa mata pelajaran. Langkah ini, meskipun bersifat "darurat" dan sementara, kiranya perlu diperluas mengingat dalam waktu 2-5 tahun mendatang, pemerintah agaknya tidak mungkin dapat mengangkat guru baru dalam jumlah besar. Pengangkatan guru demikian, selain terkendala oleh  keterbatasan keuangan negara, juga terkendala oleh keterbatasan sumber daya manusia guru. Menurut UUGD, seseorang dapat menjadi guru harus memiliki kualifikasi akademik strata satu (S-1) atau diploma empat (D-4) dan memiliki sertifikat pendidik yang diperoleh dari Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang baru saja dibuka di beberapa perguruan tinggi yang ditunjuk.

Dalam kondisi seperti sekarang ini, PPG paling banyak dapat   menghasilkan calon guru yang bersertifikat 3.000-5.000 orang per tahun. Dengan demikian, hingga 2020 PPG hanya mampu menyediakan maksimal sekitar 25.000 calon guru yang bisa diangkat pemerintah. Karena itu, kebijakan mengefektifkan peran guru yang ada melalui program GBG menjadi sangat penting dalam mencegah ketidakhadiran guru di kelas atau terjadinya akselerasi penggelembungan jumlah guru honorer (guru tidak tetap) yang penyelesaiannya tentu akan makin pelik. Di samping itu, pemerintah perlu memprioritaskan menyeleksi guru non-PNS, khususnya guru honorer, secara bertahap untuk diikutsertakan PPG (bagi yang belum bersertifikat) agar memenuhi syarat untuk diangkat.

Pemerintah seyogianya memiliki desain besar yang komprehensif untuk menyelesaikan masalah guru secara "tuntas" sekaligus merumuskan dasar-dasar sistem yang "ajek" dalam mempersiapkan dan  mengelola keguruan kita mendatang. Rancangan itu harus matang dengan memuat program "potong kompas" untuk memutus berbagai siklus masalah yang membelenggu pendidikan dan keguruan kita selama ini. Selagi pengadaan dan pengelolaan guru sering kali darurat dan karut-marut, upaya profesionalisme guru tidak akan membuahkan guru bermutu dan pendidikan yang berkemajuan.

Pendidikan berkemajuan

Sejak gagasan profesionalisme ditetapkan, berbagai program peningkatan mutu guru yang dijalankan boleh dibilang tidak berdampak signifikan atau gagal dalam mencapai tujuannya, kecuali efek sampingannya seperti perbaikan ekonomi sebagian besar guru dan meningkatnya minat anak muda menjadi guru. Secara normatif beberapa kebijakan sudah cukup tepat dan baik untuk memajukan pendidikan nasional, di antaranya tentang anggaran minimal 20 persen dari APBN dan APBD, tentang definisi pendidikan yang partisipatif, dan profesionalisme guru. Namun, implementasinya  tak substansial sehingga tak berdampak positif secara kualitatif.

Anggaran pendidikan nasional, umpamanya, atas nama  "Anggaran Fungsi Pendidikan" sangatlah besar nominalnya (Postur APBN 2018:  Rp 440,9 triliun), tetapi penggunaannya terpecah-pecah sehingga sangat tidak efektif. Kemdikbud yang tupoksinya sangat luas dan tuntutan masyarakat pada institusi ini sangat kuat hanya "kebagian" Rp 40,1 triliun (9,1 persen). Demikian pula persentase anggaran pendidikan di kebanyakan daerah yang besarannya jauh melampaui 20 persen, tetapi pada kenyataannya satuan itu sering kali termasuk dana alokasi umum dan dana alokasi khusus sehingga "anggaran pendidikan daerah aslinya" sangat kecil. Dengan demikian, harapan terjadinya lompatan kemajuan pendidikan daerah dalam era otonomi sekarang ini hampir tak terjadi.

Contoh lain adalah keharusan sertifikasi guru yang semestinya jadi peluang untuk melakukan intervensi kualitatif, tetapi yang dipilih malah penilaian berkas-berkas kertas portofolio, lalu diberi UKG (yang tadinya) setiap tahun. Dari proses seperti itu, agaknya tak memungkinkan guru akan jadi pembelajar mandiri dan mengembangkan keprofesiannya secara berkelanjutan. Tekanan berbagai pihak dan situasi sering menjadikan kementerian pengelola  pendidikan mengimplementasikan kebijakannya tergesa-gesa dan terkesan sekadar "mengakali" peraturan perundang-undangan sehingga tak dapat dijadikan andalan untuk kemajuan guru dan pendidikan.

Beragam masalah kuantitatif seperti di atas cukup menyita perhatian dan energi sehingga kita abai pada kualitas dan kurang tanggap terhadap berbagai tantangan. Kini, para guru dan pendidikan kita dilamun arus deras perubahan yang membutuhkan respons yang tepat dan cepat.

Kemajuan teknologi informasi yang menerobos dinding-dinding sekolah sering membuat guru kewalahan dan semakin tak penting di mata murid dan masyarakat. Perkembangan isu hak asasi manusia yang masif serta perlindungan terhadap anak dari kekerasan yang begitu luas definisinya menjadikan guru sering salah tingkah dan apatis. Kemajuan ekonomi guru berkat tunjangan profesi menyebabkan sebagian guru mengalami semacam kejutan budaya dan makin transaksional.

Sementara itu, belum ada sentuhan signifikan, baik dari pemerintah maupun organisasi profesi, untuk mengubah pola pikir serta meniupkan roh keguruan yang memungkinkan guru secara dinamis melakukan pengembangan diri terus-menerus (continues improvement) sehingga kompatibel dengan tantangan dan perkembangan zaman. Presiden Joko Widodo berulang kali meminta agar situasi inkompatibilitas dalam pendidikan dan pengajaran segera dibenahi. Guru dan pendidikan kita harus lebih fleksibel sehingga responsif dan kontekstual terhadap berbagai perkembangan.

Berbagai program yang dijalankan pemerintah selama ini kebanyakan sekadar proyek formalitas yang telah terformat sejak dulu mengikuti daftar anggaran belanja yang kaku sehingga meski kegiatan kurang efektif dan kontekstual harus diteruskan agar anggaran dapat diserap. Sementara program organisasi profesi karena keterbatasan berbagai sumber daya tak banyak dapat memberdayakan guru. Seharusnya, pemerintah dan/atau pemerintah daerah—menurut UUGD Pasal 41 Ayat (5)—memfasilitasi dan bekerja sama dengan organisasi profesi agar pengembangan dan peningkatan kompetensi guru menjadi terarah, sinergis, dan efektif.

Mengefektifkan peran guru makin urgen mengingat ultimate goal dari seluruh proses pendidikan kita adalah membentuk watak dan peradaban bangsa. Pembentukan karakter melalui persekolahan mengandaikan peran guru tidak sebatas menyampaikan konten pengetahuan dari mata pelajaran yang diampunya. Lebih daripada itu, setiap guru harus mengambil dan mengembangkan peran profetik, yaitu membentuk kepribadian produktif dengan mengajak murid pada kebenaran/kebajikan serta mencegah kesesatan/kemaksiatan. Meski dalam profesionalisme keahlian dan linieritas bidang ilmu sangat diperlukan, guru tidak boleh terpaku hanya pada linieritas dengan mengabaikan fungsi-fungsi edukasi.

Dalam terpaan budaya global zaman now,fungsi-fungsi edukasi dari guru harus lebih utama. Guru menjadi sumur jernih ilmu pengetahuan, tempat becermin yang memantulkan cahaya transmisi dan transformasi budaya bangsa. Guru laksana pohon filicium yang menaungi dan meneduhi para murid, yang memberi napas kehidupan bagi ribuan organisme dan menjadi tonggak penting mata rantai ekosistem (Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi, 2006:32).

MOHAMMAD ABDUHZEN