Apa yang menarik di sini? Jawabannya adalah adanya kata "pasar" di dalam "ekonomi Pancasila" itu. Dan dengan intrusi kata "pasar" di dalamnya, diskusi dan perdebatan ekonomi Pancasila kali ini tampak berbeda dengan yang terjadi di akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Yang terakhir ini, karena diwarnai suasana Perang Dingin, ada kesan tekanan ideologis dalam perdebatan "ekonomi Pancasila". Dalam arti bahwa walaupun rata-rata kaum intelektual Indonesia adalah reproduksi pendidikan Barat, trauma sejarah penjajahan di bawah payung imperialisme dan kapitalisme telah mendorong mereka mengartikan "ekonomi Pancasila" sebagai refleksi perlawanan terhadap liberalisme.

Maka, kendati Emil Salim menekankan "ekonomi Pancasila" yang lebih ramah kepada sistem pasar, Arif Budiman menekankan elemen sosialisme di dalamnya, di mana peran negara tetap diperlukan.

Lepas dari perdebatan itu, secara empiris perekonomian Indonesia justru ditandai kebijakan-kebijakan debirokratisasi, privatisasi, dan adopsi prinsip-prinsip Organisasi Perdagangan dunia (WTO), yaitu pencabutan berbagai hambatan perekonomian, baik subsidi maupun proteksi, yang dianggap menghambat arus barang dan jasa secara global. Di sini, Indonesia didorong kian terintegrasi ke perekonomian internasional (globalisasi). Maka, terutama pasca-Perang Dingin, etatisme perekonomian Indonesia bertransformasi menjadi liberal. Peran pelaku swasta kian mengemuka. Akibatnya, seperti diketahui, kebijakan liberal ini berakhir dengan krisis dan pergantian rezim kekuasaan.

Ekonomi pasar

Dalam banyak kesempatan memberikan kuliah dan berbagai seminar, penulis sering menyampaikan, selain komunisme (yang kini praktis dianut hanya oleh Korea Utara), tema pembicaraan ekonomi pasti berbasiskan sistem pasar. Akan tetapi, harus cepat ditambahkan bahwa kata "pasar" di sini sebaiknya dilihat dengan hati-hati. Benar bahwa negara-negara Eropa Barat menganut sistem pasar. Kendati demikian, aktivitas ekonomi mereka berdampingan dengan peran negara yang menjamin kesejahteraan rakyatnya melalui sistem jaminan sosial untuk seluruh penduduk, mediator buruh dan majikan, pendorong gerakan koperasi yang sangat efisien. Gabungan peran pasar dan negara dalam perekonomian ini menyebabkan rendahnya tingkat kemiskinan dan meratanya pendapatan masyarakat.

Yang lebih mengesankan, kinerja "ekonomi pasar" ala Jepang. Dalam waktu relatif singkat (1970-an hingga 1990-an) kinerja cabang-cabang industri negara ini (elektronik, telekomunikasi, otomotif) mampu melampaui cabang-cabang industri AS dan Eropa. Mengapa? Karena, melalui apa yang dikenal sebagai Japan Incorporated, peranan negara dalam perekonomian cukup besar. Di sini, negara bertindak sebagai medium yang secara aktif menyinergikan semua kekuatan yang tersedia di masyarakat (swasta, parlemen, dunia riset, perwakilan-perwakilan di luar negeri), melalui perencanaan jangka panjang, berkinerja secara kolektif dan produktif. 

Baru pada tingkat praksisnya, negara menyerahkan seluruh wewenang kepada pihak swasta untuk merealisasikan aksi korporasinya dalam mekanisme pasar (baik nasional maupun global). Hasilnya, seperti dinyatakan sebuah studi, bersama dengan Swedia, tingkat kesejahteraan buruh di Jepang termasuk yang paling tinggi di dunia meskipun serikat buruh di Jepang tidak terlalu kuat seperti di Eropa.

Walau perekonomian terbesar dan secara politik dan militer serta teknologi mendominasi dunia, ekonomi pasar AS ditandai dengan kerapuhan sosial. Ini karena peran negara dalam masyarakat sangat minimal. Tak heran, sejak krisis finansial 2008, ada sekitar 2 juta gelandangan, penduduk tanpa rumah sekitar 12 persen, kemiskinan (dengan garis kemiskinan jauh lebih tinggi dari negara-negara sedang berkembang) sekitar 18 persen, di negara ini. Ini terjadi karena negara tak aktif dalam masalah sosial. Problem kemiskinan lebih menjadi urusan yayasan sosial, seperti yayasan Keluarga Kennedy, Rockefeller, dan Ford.

Sejak pemerintahan Obama dari Partai Demokrat, negara berusaha hadir dengan membuka akses kesehatan melalui UU yang dikenal sebagai Obamacare. Namun, di bawah Trump, kebijakan pro-rakyat ini justru dihapus lewat UU perpajakan baru.

Jalan Asia

Pertanyaannya, bagaimana di Asia? Pandangan Prof Kishore Mahbubani—intelektual dari Lee Kuan Yew School of Public Policy Singapura—yang disegani intelektual AS dan Eropa karena pandangannya tentang ekonomi pasar di Asia, perlu dilihat. Menurut Mahbubani, negara-negara di Asia menempatkan ekonomi pasar secara pragmatis dalam apa yang disebut March to Modernity dan meramalkan keadaan sekarang dan tren ke depan. Menurut dia, Asia akan menjadi "Pusat Peradaban dan Pembangunan" yang sekarang masih berpusat di negara-negara Barat.

Dalam pandangan Mahbubani, keberhasilan banyak negara Asia (Jepang, China, Korea Selatan, India, Malaysia, Thailand, Singapura) adalah karena pelaksanaan mekanisme pasar di perekonomian mereka berlangsung tanpa meninggalkan nilai-nilai agama, nilai tradisional, dan dengan peran negara dan demokrasi politik yang unik dan bervariasi. Di China, rakyat tidak hanya menikmati kemakmuran yang jauh lebih tinggi, tetapi juga mulai terdapat kebebasan atau demokratisasi secara riil berkat kemajuan ekonomi. Menurut penulis, jenis ekonomi pasar Asia ini menyempal dari arus utama yang berlaku di AS dan Eropa. DalamEkonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik, dan Solusi bagi Indonesia dan Negara-negara Sedang Berkembang(2014), saya menyebutnya "Ekonomi Heterodoks".

Di Indonesia, di bawah Soeharto (1970-1998), meski secara politik bersifat otoriter, ekonomi pasarnya ditandai adanya sentuhan negara di bidang kesejahteraan. Ini terjadi melalui program-program ekonomi dan sosial, yakni program delapan jalur pemerataan, kebijakan afirmatif pribumi, posyandu, swasembada pangan, dan lain-lain sehingga kemiskinan turun dari 56 persen tahun 1970 menjadi 13 persen tahun 1998.

Hal itu dimungkinkan karena stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen dan kinerja industri manufaktur yang tumbuh rata-rata 18 persen. Memang korupsinya tinggi, rata-rata sekitar 30 persen, dan birokrasinya menciptakan kegagalan negara, tetapi sejak 1998 kebijakan ekonominya lebih liberal, terutama karena tekanan Dana Moneter Internasional (IMF) yang memberikan pinjaman 45 miliar dollar AS untuk mengatasi krisis moneter 1997-1998 .

Reformasi yang dilahirkan krisis itu mendorong terjadinya big-bang demokrasi politik dan kebebasan pers serta otonomi daerah di Indonesia. Ini berpengaruh terhadap corak kebijakan ekonomi di mana peranan "pasar" kian membesar. Pada gilirannya, semua ini mendorong penguasaan ekonomi oleh asing makin tajam, misalnya bidang pangan, perbankan, pertambangan, pasar modal, dan seterusnya serta maraknya impor barang dan jasa.

Maka, kita menyaksikan sebuah paradoks. Di satu pihak, dunia dilanda krisis finansial AS pada 2008 dan Eropa pada 2010, tetapi Indonesia mengalami kinerja pertumbuhan ekonomi tinggi, rata-rata sekitar 6 persen pada pemerintahan SBY dan sekitar 5 persen masa pemerintahan Jokowi. Ini menjelaskan mengapa Indonesia bergabung dalam G-20 dengan tingkat kekayaan nasional (produk domestik bruto/PDB) terbesar ke-16 di dunia. Di lain pihak, meski pada tingkatnya yang ekstrem telah menurun menjadi 12 persen, kalangan yang hampir miskin (pengeluaran 2 dollar AS per hari) masih lebih dari 50 persen penduduk.

Yang paling memprihatinkan adalah kesenjangan sosial. Sebelumnya, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), rasio gini pengeluaran yang sebelumnya sekitar 0,32 (2004), tahun 2012 sudah menjadi 0,413 (dua tahun terakhir ada perbaikan sedikit menjadi 0,397 diduga karena pelaksanaan BPJS Kesehatan dan ketenagakerjaan yang dilaksanakan sejak 2014). Apalagi kalau memakai data pendapatan, menurut perkiraan penulis, rasio gini sekitar 0,5, artinya kesenjangan yang sangat buruk. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang tinggi lebih banyak dinikmati oleh 20 persen penduduk terkaya.

Memang, pertumbuhan orang kaya di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia. Dengan kondisi geografis sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, keragaman etnis, suku bangsa, agama dan lapisan sosial juga yang paling heterogen di dunia, penerapan ekonomi pasar tanpa peran aktif negara hanya akan membuat pertumbuhan ekonomi tinggi dengan berbagai masalah sosial dan politik. Karena itu, bermodalkan UUD 1945 yang menuntut adanya EPP seperti dilontarkan Habibie menjadi kian relevan.

Ekonomi pasar Pancasila

Pelajaran sejarah pemikiran ekonomi pasca-Renaisans Eropa adalah bahwa kelahiran ekonomi modern diawali konstruksi sekularisme. Ini berlaku baik model ekonomi liberal, sosialisme-demokrasi, maupun komunisme. Dalam konteks ini, agama telah terpinggirkan sekitar empat abad di dalam perekonomian. Bagaimana proses ini bisa dinetralisasikan?

Jawabannya, dengan Pancasila. Di sini, keempat silanya (Kemanusiaan, Persatuan Indonesia, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial) haruslah ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan perspektif ini, warna agama mengonstruksi EPP. Dengan demikian, EPP adalah bagian atau mirip "Jalan Asia" di mana karakteristik pasar/ekonomi dan politik/demokrasi sebagai instrumen (bukan tujuan) sekaligus arena negara membuat perencanaan jangka panjang dan semua pelaku ekonomi (BUMN, swasta, dan koperasi) berjalan dalam mekanisme pasar  untuk mencapai kemakmuran (pertumbuhan ekonomi) yang tinggi dan keadilan sosial (pemerataan kesejahteraan seluruh rakyat). Sementara, agama berfungsi sebagai penjamin akhlak individu, keluarga, dan negara.

Dalam konteks terakhir ini, spiritualitas dan religiositas para pelaku (individu, keluarga, hingga negara) harus mewarnai dalam pengelolaan dunia materi (sumber daya alam dan sumber daya buatan, seperti teknologi, manajemen, dan seterusnya) baik mikro maupun makro.

Best practice-nya adalah Jepang sehingga model demokrasinya pun lebih dalam Consensus Scenario (tak dalam terlalu ditonjolkan Conflictual Scenario). Sementara dalam ekonomi secara makro berjalan dalam perspektif Indonesia Incorporated dan secara mikro tetap dalam kompetisi (sehat). Nilai keluarga dengan kesucian pernikahan menjadi dasar konstruksi sosial (individu dan keluarga) sehingga semua aktivitas ekonomi tidak merusaknya. Kalangan yang tertinggal dalam proteksi negara dan dibangun kelas menengah yang besar dalam struktur belah ketupat di mana yang kaya dan miskin lebih sedikit. Untuk Indonesia yang mayoritas Muslim, keuangan dan perbankan syariah yang menghindari riba kian menjadi arus tengah yang mewarnai kegiatan ekonomi.

Tentu energi keagamaan harus makin mewarnai dalam kemasyarakatan dan kenegaraan serta menciptakan kedamaian, toleransi, dan kerja sama dalam memerangi kemiskinan, kebodohan, kesenjangan, dan keterbelakangan. Peran pemimpin dan sistem serta regulasi menjadi sangat penting dalam pengejawantahan semua proses pelaksanaan EPP. Dan dalam pelaksanaan EPP tersebut terdapat pasal-pasal pokok pedoman dalam UUD 1945 dalam kerangka EPP: Pasal 23 (APBN untuk kesejahteraan sebesar-besarnya rakyat), Pasal 27 (berorientasi penciptaan kesempatan kerja penuh/besar), Pasal 33 (peran GBHN, ekonomi kekeluargaan modern, SDA dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya, demokrasi ekonomi, efisiensi berkeadilan, kebersamaan, keberlanjutan, dan kesatuan ekonomi nasional), serta Pasal 34 (sistem jaminan sosial).

Bagaimana hal itu dapat dilaksanakan? Para pemimpin dan elitelah yang harus bertanggung jawab di mana "demokrasi yang supermahal" yang berjalan sekarang ini sangat menyulitkan pelaksanaan EPP yang harus direformasi supaya kondusif terhadap pelaksanaan EPP.

Semoga.