HANDINING

.

Integrasi Indonesia sebagai bangsa sesungguhnya mengalami kemajuan konstitusional.

Keberanian untuk menghilangkan frasa "Indonesia asli" di dalam amendemen UUD 1945 sebagai syarat presiden Indonesia bukan keputusan politik biasa. Itu puncak kesadaran evolusi berbangsa yang dibangun di atas fakta bahwa tak ada seorang pun dari kita sekarang berhak mendaku diri Indonesia asli. Keputusan politik itu tepat waktu, menjelang fajar globalisasi populisme politik merekah.

Hanya saja, implementasi kemajuan konstitusional itu tak sederhana dalam praktik kehidupan berbangsa. Perjalanan membangsa kita masih terseok-seok karena dijegal oleh kepentingan politik kekuasaan. Ketionghoaan dipolitisasi dan diposisikan diametral berhadapan dengan keindonesiaan. Ternyata, pada suatu titik sejarah Indonesia prakemerdekaan, perasaan kuat sebagai bagian dari Indonesia sudah dimiliki orang Tionghoa.

Tionghoa di Indonesia

Berawal ketika media massa di Hindia Belanda masih dikuasai orang Barat, pada paruh kedua abad ke-19 orang Tionghoa mulai masuk ke dalam bisnis koran. Bahkan, pada Mei 1926, dua tahun sebelum Sumpah Pemuda, koran Sin Poadalah media massa pertama yang memuat kata "Indonesia" sebagai ganti istilah "Hindia Belanda" buatan penguasa kolonial.

Koran itu juga dengan tiras ribuan eksemplar yang pertama kali memuat teks lagu "Indonesia Raya" ciptaan WR Supratman lengkap bersama partiturnya. Dengan begitu, rakyat Indonesia di seluruh Nusantara pada zaman sebelum ada televisi dan internet bisa dengan cepat mengenal yang kelak menjadi lagu kebangsaan Republik Indonesia.

Selanjutnya, sesudah kekalahan besar Jepang dari pasukan Sekutu pada 1944 saat Perang Dunia II, Kekaisaran Jepang mengharapkan dukungan rakyat Indonesia untuk memerangi pasukan Sekutu jika mereka menyerbu Indonesia untuk menaklukkan Jepang. Sebagai kompensasi dukungan itu, perdana menteri Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia jika negeri itu memenangi perang Asia Timur Raya.

Pada 1 Maret 1945, bertepatan hari ulang tahun Kaisar Hirohito, Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Tugas badan itu adalah mempelajari dan mempersiapkan hal-hal penting untuk mendirikan negara  Indonesia  merdeka.

Badan bentukan penguasa kolonial itu beranggotakan 62 tokoh dan empat di antaranya Tionghoa. Pertama, Liem Koen Hian, wartawan, pendiri Partai Tionghoa Indonesia di Surabaya. Kedua, Oey Tiang Tjoei, juga wartawan. Ketiga, Tan Eng Hoa, sarjana hukum. Keempat, Oey Tjong Hauw, ketua partai kaum peranakan Tionghoa, putra konglomerat gula Oei Tiong Ham.

Salah satu dari keempat Tionghoa itu, Liem Koen Hian, dalam pidato politiknya (1929) antara lain mengkritik superioritas darah Tionghoa yang menjadi bagian alam bawah sadar kaumnya. Berikut adalah cuplikan pidatonya, "Boleh dibilang sekarang ampir tida ada lagi bangsa jang mempoenjai darah toelen. Kaloe ada bangsa jang darahnja toelen, belon terjampoer sama darah laen bangsa, barangkali jalah bangsa jang sekarang dinamaken biadab".

Yang amat penting adalah pandangannya tentang apa itu menjadi Indonesia dari perspektif Tionghoa. Dalam salah satu pidatonya beberapa tahun kemudian (1932), Liem berbicara tentang konsepIndonesier (kata Belanda untuk "orang Indonesia") asli. "Seorang peranakan, tidak peduli turunan dari bangsa apa saja, tetapi jika ia berasa dan berpikir seperti seorangIndonesier asli dan bersedia untuk menjalankan kewajibannya terhadap negeri yang ia cintai ini sebagai tumpah darahnya, maka boleh sekali mengaku sebagai Indonesier." Pribumi, menurut Liem, orang yang "berasa dan berpikir" sebagai orang Indonesia.

Setelah menyelesaikan tugasnya, BPUPK dibubarkan dan Jepang membentuk badan baru bernama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 7 Agustus 1945. Tugas badan baru itu menyusun undang-undang dasar jika Indonesia merdeka. Salah seorang anggota badan itu adalah Yap Tjwan Bing, apoteker dan dosen ITB.

Tionghoa, seperti minoritas lain di republik ini, punya andil dalam pendirian Indonesia merdeka. Dalam buku teksSejarah Nasional Indonesia (enam jilid) yang disusun Nugroho Notosusanto dkk, Kepala Pusat Sejarah ABRI, awalnya (1975) masih disebut di antara anggota BPUPK terdapat "4 orang golongan Cina dan Arab" (VI.17), tanpa nama dan sebenarnya kurang tepat karena keterlibatan Tionghoa saja sudah empat orang.

Pada edisi keempat buku itu (1984), saat itu Notosusanto sebagai menteri pendidikan, frasa "orang golongan Cina" sama sekali hilang. Sebagai gantinya, frasa "empat orang golongan Arab serta golongan peranakan Belanda". Teks itu masih demikian sampai sekarang tanpa koreksi meski sudah direvisi. Entah sampai kapan kecelakaan dokumentasi sejarah itu dibiarkan pemerintah, sementara sumber kepustakaan itu menjadi rujukan pengajaran sejarah nasional.

Menjadi Indonesia

Namun, Tionghoa di Indonesia lebih penting dan menyibukkan diri dengan proses menjadi Indonesia. Bukan hanya soal kewarganegaraan, tempat lahir, tempat mencari nafkah, atau tempat berlindung di hari tua, melainkan juga bagaimana memberikan kontribusi nyata sebagai bagian dari bangsa.

Menjadi Indonesia adalah mencintai Tanah Air. Untuk segala sesuatu yang dicintai, mustahil kita merusak atau menjelek-jelekkannya kendati segala kekurangannya. Sebaliknya, kita akan mengusahakan sesuatu yang baik untuknya. Mungkin kita merasa kecewa dengan perilaku bangsa sendiri atau cara kerja pemerintah. Perasaan itu wajar. Itu pertanda kita bukan orang asing, melainkan bagian dari bangsa dan negeri ini.

Ada orang kita yang suka menjelek-jelekkan negeri sendiri dan memuji-muji negeri orang. Percakapan dengan orang di luar negeri dan orang kita yang sudah lama bermukim di luar negeri membuka mata saya bahwa sesungguhnya di mana saja ada enak dan tidak enaknya, tergantung pada pilihan kita hendak hidup di mana.

Tak bisa disangkal, identitas primordial mendahului keindonesiaan. Di dalam negeri, bisa saja kita lebih menghayati keprimordialan kita. Namun, di luar negeri, hanya identitas keindonesiaan kita yang diperhitungkan untuk dibedakan dari orang Thailand, Filipina, atau Malaysia. Orang luar tak peduli apa etnis atau agama kita.

Yang mempersatukan rakyat Indonesia adalah keindonesiaan. Tugas kita semua dan bersama adalah memperkuat proses menjadi Indonesia apa pun etnis dan agama kita. Tak cukup hanya menjadi warga yang baik dan taat hukum. Sebagai bangsa dan negara yang masih banyak tertinggal, kita semua tanpa kecuali harus juga mengupayakan kesejahteraan kota dan negeri kita.

Yonky Karman