Hari raya Imlek akan dirayakan Jumat, 16 Februari 2018, besok. Imlek juga telah ditetapkan sebagai hari libur nasional. Suasana kemeriahan pun mulai terasa.
Di sejumlah daerah, pernak-pernik Imlek, seperti lampion, barongsai, sudah bisa dilihat. Suasana itu kian memperkuat kekayaan dan keragaman kita sebagai bangsa. Ekspresi kebudayaan Imlek yang tertutup selama Orde Baru kini terbuka dan bisa disaksikan publik. Era Reformasi membuka itu semua. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari keputusan Presiden Abdurrahman Wahid yang membuka keran itu dan Presiden Megawati Soekarnoputri yang menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.
Meski masa jabatannya tidak sampai lima tahun, Gus Dur— panggilan KH Abdurrahman Wahid—telah meninggalkan warisan yang berharga bagi bangsa ini. Gus Dur telah membumikan kemajemukan Indonesia dan membuka ruang ekspresi bagi tampilnya liong dan barongsai dalam perayaan Imlek. Setiap pemimpin seyogianya memberikan warisan yang bermanfaat bagi bangsa ini. Seorang pemimpin akan dikenang bukan hanya berapa lama dia memimpin, melainkan warisan apa yang akan ditinggalkan untuk bangsa ini.
Melalui perayaan Imlek besok, kiprah masyarakat keturunan Tionghoa kian memperteguh amanat konstitusi yang menekankan Bhinneka Tunggal Ika. Bangsa Indonesia bersifat majemuk dalam segala hal, tetapi tetap sebagai satu negara-bangsa.
Bangsa ini tentunya patut bersyukur kepada Gus Dur. Sekat-sekat keeksklusifan Imlek telah dibuka olehnya. Ruang-ruang politik, ekonomi, dan kebudayaan telah terbuka untuk siapa saja, termasuk saudara kita keturunan Tionghoa. Terbukanya ruang-ruang ekonomi, politik, dan budaya tentunya juga menuntut tanggung jawab kita semua. Semua warga negara mempunyai tanggung jawab yang sama untuk menyelesaikan masalah bangsa.
Kebinekaan adalah keniscayaan. Meskipun kadang ada upaya mengoyak tenun kebinekaan, kita yakin bangsa ini tetap punya tekad untuk hidup bersama sebagai bangsa yang dikukuhkan dalam sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia. Jika tekad hidup bersama itu tidak ada, maka pecahnya Indonesia tinggal menunggu waktu.
Karena itulah, seperti dikutip Ernest Renan, semua elemen bangsa, termasuk keturunan Tionghoa, harus terpanggil untuk mempunyai tekad hidup bersama sebagai warga bangsa. Semua masalah yang dihadapi bangsa ini, saratnya korupsi, ketimpangan ekonomi yang masih besar, kemiskinan yang masih nyata, sektor pendidikan di sebagian masyarakat yang masih tertinggal, menjadi tanggung jawab bersama untuk menyelesaikannya. Bangsa ini membutuhkan sumbangan pemikiran dan pengorbanan untuk memperkukuh tekad hidup bersama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Seperti juga dikatakan Renan, hidup bersama bukanlah ketika bangsa ini hidup dalam kesenangan dan kegembiraan, melainkan juga ketika bangsa ini berada dalam masa-masa sulit. Di sinilah dituntut pengorbanan kita sebagai warga negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar