Ada persepsi, di masa Presiden Joko Widodo, reformasi militer berjalan mundur.
Persepsi ini muncul dengan, antara lain, melihat pelibatan TNI dalam program ketahanan pangan, kesepakatan antara Panglima TNI dan Kapolri tentang pelibatan TNI dalam penanganan demonstrasi, dan—walaupun tidak dilakukan oleh TNI—wacana penunjukan perwira aktif Polri sebagai pelaksana tugas gubernur di Sumatera Utara dan Jawa Barat.
- English Version: Democratic Control
Pada dasarnya, persepsi ini memunculkan kekhawatiran bahwa proses demokratisasi berbalik arah dan sedang membawa Indonesia kembali ke era tentara politik di masa Orde Baru.
Kekhawatiran tersebut bisa dijawab dengan memperkuat satu konsep utama, kendali demokratik. Konsep ini ditawarkan sebagai solusi untuk mencegah perluasan peran politik militer yang ditandai adanya intervensi militer ke sistem politik.
Telaah yang dilakukan para peneliti hubungan sipil-militer menunjukkan, intervensi militer muncul karena bertemunya dua variabel, yaitu (a) persepsi bahwa sipil lemah dan melanggar konstitusi dan (b) sipil yang lemah ini mengganggu kepentingan militer dengan melakukan intervensi terlalu dalam ke urusan taktis operasional militer. Untuk mencegah kedua variabel itu muncul, kerangka kerja kendali demokratik menawarkan enam solusi yang sedang dikerjakan pemerintahan Presiden Jokowi.
Enam solusi
Solusi pertama, penguatan kerangka regulasi di bidang pertahanan. Solusi ini menginginkan adanya paket regulasi lengkap untuk menopang UU Pertahanan Negara, UU TNI, dan UU Industri Pertahanan sehingga ada legitimasi kuat bagi Kementerian Pertahanan dan TNI untuk membentuk sistem pertahanan semesta. Harus diakui, kelemahan utama proses reformasi sejak 2000 ialah penyusunan regulasi di tingkat UU untuk bidang pertahanan. Di masa Presiden Megawati Soekarnoputri, pemerintah dan DPR berhasil menyelesaikan UU Pertahanan Negara dan UU TNI. Di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hanya UU Industri Pertahanan yang berhasil disahkan. Proses pembahasan rancangan UU yang lain, seperti UU Bela Negara, UU Komponen Pertahanan, UU Perbantuan TNI, dan UU Peradilan Militer, hingga hari ini mengalami stagnasi dan butuh terobosan politik dari Presiden Jokowi agar bisa digulirkan kembali di Program Legislasi Nasional 2018-2019.
Solusi kedua, penataan organisasi pertahanan untuk memperjelas rentang kewenangan antara Kementerian Pertahanan dan Markas Besar TNI. Tuntutan demokratik untuk memastikan bahwa jabatan Menteri Pertahanan tak dirangkap Panglima TNI—atau adanya kendali administratif anggaran untuk proses pengadaan persenjataan TNI oleh Kementerian Pertahanan—adalah contoh dari penataan organisasi yang telah dilakukan saat ini untuk memperkuat kendali demokratik. Salah satu pencapaian utama dari sisi penataan organisasi pertahanan adalah dikeluarkannya Perpres Nomor 62 Tahun 2016 tentang Susunan Organisasi TNI yang, antara lain, memberikan mandat kepada Panglima TNI untuk membentuk Komando Gabungan yang akan memperkuat karakter TNI sebagai angkatan perang terpadu.
Solusi ketiga, menghilangkan karakter tentara politik dan niaga dengan menguatkan karakter TNI sebagai tentara profesional. Ini telah dilakukan secara konsisten sejak berlakunya UU TNI tahun 2004. Saat ini, netralitas TNI jadi pakem utama untuk memastikan tentara tidak lagi terlibat dalam politik praktis, tentara tidak jadi anggota dan pengurus partai politik, dan tentara harus pensiun dini jika ingin maju dalam proses pemilu. Pakem ini juga diperkuat ketentuan tentara tak bisa menduduki jabatan di luar jabatan-jabatan yang diatur dalam UU TNI.
Solusi keempat, penguatan gelar TNI. Melalui Perpres No 62/2016, Presiden Jokowi telah memberikan mandat kepada Panglima TNI untuk membentuk Komando Gabungan. Dalam paparan di Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan pada Januari 2018, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menjabarkan rencana strategis TNI untuk membentuk tiga komando utama baru, yaitu Divisi III Kostrad, Armada Tengah, Pasukan Marinir III, dan Komando Operasi AU III yang akan mengarah pada pembentukan Komando Gabungan. Jika ini dilakukan, kita akan melihat gelar baru TNI yang tak lagi didasarkan atas pertimbangan politik teritorial era Orde Baru, tetapi sudah mengarah pada pertimbangan keterpaduan lintas angkatan yang disesuaikan dengan kondisi geografis serta dinamika ancaman terkini.
Solusi kelima, kendali dan komitmen sipil untuk menyediakan sumber daya bagi pengembangan kekuatan TNI. Kendala utama di masa pemerintahan Jokowi ialah kondisi ekonomi makro tak memungkinkan pemerintah mengalokasikan anggaran sesuai proyeksi pemenuhan kekuatan pokok minimum 2024. Kendala ini berusaha diatasi Jokowi dengan menawarkan paradigma baru investasi pertahanan untuk membuat agar pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) bukan dilihat sebagai belanja pertahanan semata. Dengan konsep investasi pertahanan ini, proses transfer teknologi, offset pertahanan, kalkulasi biaya daur hidup senjata, hingga proporsi muatan teknologi lokal wajib dipenuhi di tiap proses pengadaan alutsista.
PR bagi Presiden Jokowi
Solusi keenam, penguatan legitimasi politik dalam pengerahan kekuatan TNI. Idealnya, pengerahan kekuatan TNI diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga ada prosedur politik baku yang menjamin keabsahan operasi militer yang dilakukan. Di era Jokowi, prosedur baku pelibatan TNI untuk strategi kontra teror sedang diproses dalam perubahan UU Terorisme. Pelibatan TNI dalam program ketahanan pangan harus dikaitkan dan diperkuat dengan pengaturan lebih operasional tentang tugas AD, AL, AU untuk memberdayakan wilayah pertahanan sehingga tidak dianggap telah terjadi perluasan fungsi TNI.
Nota kesepahaman antara Kapolri dan Panglima TNI tentang perbantuan TNI untuk menangani aksi massa harus dipandang sebagai aturan transisi untuk mengisi kekosongan aturan di tingkat peraturan pemerintah atau bahkan UU tentang Tugas Perbantuan TNI. Sejak 2004, prosedur politik baku tentang pengerahan TNI tidak berhasil dirumuskan secara tuntas. Presiden Jokowi memiliki pekerjaan rumah untuk segera membentuk prosedur ini sehingga kekhawatiran tentang intervensi militer di luar ranah pertahanan bisa dihilangkan.
Keenam solusi ini jadi pekerjaan rumah pemerintah sejak berlakunya UU Pertahanan (2002) dan UU TNI (2004). Presiden Jokowi memiliki peluang besar untuk memantapkan reformasi militer dengan memperkuat kendali demokratik, terutama dengan menggulirkan kembali proses legislasi beberapa UU di bidang pertahanan negara dan penyusunan prosedur baku pengerahan kekuatan TNI.
Andi Widjajanto Analis Pertahanan
Kompas, 20 Februari 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar