TOTO SIHONO

    

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa atau RPJMDes merupakan amanat Pasal 79 UU No 6/2014 tentang Desa. RPJMDes ini salah satu dokumen perencanaan pembangunan desa untuk periode enam tahun sesuai masa pemerintahan kepala desa terpilih. RPJMDes merupakan keselarasan antara visi dan misi kepala desa terpilih. Dalam RPJMDes termuat arah kebijakan pembangunan desa dan rencana kegiatan, meliputi bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa.

RPJMDes adalah dokumen perencanaan pembangunan yang partisipatif karena penyusunannya wajib melibatkan unsur masyarakat. RPJMDes menjadi pedoman pemerintah desa menyusun Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDes) sebagai acuan perumusan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (RAPBDes). Hal yang mengagetkan banyak pihak jika Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan akan menghapus permendagri yang mengatur kewajiban pelaksanaan RPJMDes karena dianggap sebagai salah satu hambatan investasi. RPJMDes diatur dalam Permendagri No 114/2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa. RPJMDes merupakan produk perencanaan pembangunan desa yang mengakomodasi aspirasi kepentingan masyarakat serta sinkronisasi rencana pembangunan daerah dan desa.

Implikasi penghapusan

Jika benar RPJMDes akan dihapuskan, hal itu akan berdampak negatif bagi kualitas perencanaan pembangunan desa, penyelenggaraan pemerintahan desa, dan eksistensi partisipasi masyarakat desa. Ada implikasi sosiologis dan politis. Pertama, mereduksi kewenangan pemerintah desa dalam mendesain konsep pembangunan desa berdasar potensi SDA, sumber daya ekonomi dan SDM yang ada. Boleh jadi pembangunan desa akan bergantung skema politik pembangunan pemda dan pemerintah pusat. Otonomi desa dalam mengurus perencanaan pembangunan desa tercerabut dari akarnya.

Kedua, melemahkan partisipasi publik. Partisipasi masyarakat desa dalam penggalian gagasan mengenai konsep, kebijakan, program kegiatan pembangunan desa diabaikan. Partisipasi masyarakat desa dalam kegiatan seperti rembuk desa, musyawarah desa mengenai penggalian gagasan pembangunan, tak dapat tempat atau ruang berbicara. Rencana pembangunan desa mutlak jadi otoritas kepala desa, bahkan mungkin pemerintah pusat dalam bentuk panduan formalistik pembangunan desa.

Ketiga, menegasikan prinsip dasar otonomi pemerintahan desa. Menghapuskan RPJMDes sama artinya meniadakan hak "politis" pemerintahan desa dalam perencanaan program kegiatan yang mandiri dan mengurangi kekuasaan desa atas tata kelola anggaran. Yang lebih fatal, penghapusan RPJMDes dengan dalih memperlancar arus investasi ke desa akan menyuburkan praktik korupsi.

RPJMdes merupakan rambu-rambu penting penyelenggaraan program pembangunan sekaligus pelaksanaan anggaran desa. Pelaksanaan tata kelola anggaran desa mengacu pada dokumen RPJMDes sebagai landasan program kegiatan di desa. Jika RPJMdes ditiadakan, banyak program kegiatan yang dirumuskan dengan basis logika kepentingan birokrasi dan elite desa.

Adalah aneh jika menghapus RPJMDes dikaitkan dengan kepentingan investasi. RPJMdes mewakili kepentingan masyarakat desa, sedangkan investasi merepresentasikan kepentingan kuasa pemilik modal. Tiga tahun pelaksanaan otonomi desa dan program dana desa, tak ada bukti muatan program kegiatan pembangunan desa yang tertuang dalam RPJMDes menghambat investasi. Benar ada sinyalemen tentang banyaknya perda di tingkat kabupaten/kota/provinsi turut andil menghambat arus investasi untuk kemajuan pembangunan nasional, tetapi tak ada peraturan desa yang secara langsung menghadang investasi.

Peraturan desa terkait dokumen RPJMDes, RKPDes, RAPBDes, maupun kebijakan terkait norma kearifan lokal tak ada kaitan dengan investasi. Desa justru kian berkembang dalam ritme kemajuan ekonomi yang terbuka melalui badan usaha milik desa (BUMDes). Banyak desa justru berharap investasi dari luar masuk dalam rangka mendorong kemajuan desa di bidang ekonomi, industri, dan sebagainya.