Keputusan Parlemen Kamboja mengesahkan Undang-Undang Lese Majeste telah menambah "tali" yang mengikat dan membatasi kebebasan bersuara.
Keputusan tersebut diambil secara bulat, 123 anggota Parlemen Kamboja, pada hari Rabu lalu. Dengan keputusan itu, Kamboja mengikuti langkah Thailand yang sudah terlebih dahulu menerapkan undang-undang tersebut. Thailand memberlakukan undang-undang itu bahkan sejak tahun 1908, dan masih tetap berlaku hingga saat ini. Bahkan, pada tahun 1976, sanksi terhadap pelanggar undang-undang itu diperkuat.
Menurut Pasal 112 hukum pidana yang berlaku di Thailand, seseorang yang "merusak nama baik, menghina, atau mengancam raja, ratu, putra mahkota, atau bangsawan" akan dihukum penjara hingga 15 tahun.
Sanksi terhadap pelanggar Undang-Undang Lese Majeste di Kamboja tidaklah seberat di Thailand. Orang yang terbukti melanggar undang-undang tersebut di Kamboja akan dijatuhi hukuman satu hingga lima tahun dan denda 500 dollar AS hingga 2.500 dollar AS.
Meskipun sanksi hukum dan denda bagi pelanggar Undang-Undang Lese Majeste di Kamboja bisa dikatakan lebih ringan dibandingkan dengan sanksi yang berlaku di Thailand, pemberlakuan undang-undang tersebut tetap dianggap sebagai pembatasan baru terhadap kebebasan bersuara. Hal itu terutama dikaitkan dengan semakin dikuranginya kebebasan berpendapat di Kamboja di bawah pemerintahan PM Hun Sen.
Hun Sen yang sudah berkuasa sejak tiga dasawarsa silam semakin lama semakin dinilai—terutama oleh kelompok oposisi—mengurangi, membatasi kebebasan. Tahun lalu, misalnya, pemerintah membungkam lawan-lawan politik dan membekap kritik-kritik yang ditujukan kepada pemerintah.
Memang, keputusan tersebut diambil oleh pengadilan. Akan tetapi, pengadilan tidak sepenuhnya mandiri, dan lebih di bawah pengaruh kekuasaan Partai Rakyat Kamboja, partainya Hun Sen, yang berkuasa.
Pemerintah menyatakan bahwa Undang-Undang Lese Majeste diperlukan untuk melindungi kehormatan dan reputasi raja. Akan tetapi, benarkah demikian? Bukankah Raja Norodom Sihamoni (64) selama ini hanya memainkan peran kecil dalam urusan-urusan publik, dan selalu berusaha untuk tetap low profile. Sementara kekuasaan hampir sepenuhnya di tangan dan dimainkan oleh PM Hun Sen. Perdana Menteri dapat dikatakan hampir menguasai secara absolut politik Kamboja.
Oleh karena itu, sebenarnya, jika dikaitkan dengan situasi dan kondisi politik di Kamboja saat ini, pemberlakuan Lese Majeste lebih untuk kepentingan pemerintah—dalam hal ini Hun Sen— dan bukannya untuk kepentingan Raja Sihamoni. Undang-undang tersebut lebih merupakan penambahan senjata bagi pemerintah untuk melawan, menghadapi lawan-lawan politiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar