Minggu lalu, fluktuasi pasar keuangan domestik cenderung intensif. Pertama, merespons pengumuman Jerome Powell, gubernur baru Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, yang untuk pertama kalinya memimpin rapat dan langsung menaikkan suku bunga referensi 25 poin menjadi 1,75 persen.

Kenaikan suku bunga ini diikuti beberapa bank sentral utama dunia, seperti European Central Bank (ECB) dan People's Bank of China (PBC). Bank Indonesia memilih tak mengubah suku bunga acuan setelah mempertimbangkan dampak yang dinilai netral.

Kedua, akibat keputusan Presiden AS Donald Trump menerapkan tarif atas produk China. Pada akhir minggu lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah sekitar 0,70 persen ke level 6.210. Padahal, pada awal tahun sempat menyentuh level tertinggi pada kisaran 6.600. Nilai tukar juga melemah mendekati Rp 13.800 per dollar AS.

Mengapa, meski perekonomian domestik kuat, sektor keuangan cenderung rentan terhadap dinamika eksternal? Perekonomian kita yang kecil dan terbuka menjadikan kita sensitif terhadap dinamika global. Apalagi, belakangan ini fenomena ketidakseimbangan global kembali mengemuka. Ketidakseimbangan global ini juga diyakini menjadi penyebab utama krisis keuangan global pada 2008. Setelah satu dekade, persoalan ketidakseimbangan global masih tetap relevan.

Keputusan Presiden Trump menaikkan tarif barang asal China, khususnya produk baja dan aluminium, tidak bisa dipisahkan dari fakta melebarnya defisit perdagangan AS. Pada 2008, total defisit barang dan jasa AS mencapai hampir 700 miliar dollar AS, terutama dengan China. Di sisi lain, cadangan devisa China melonjak dari sekitar 450 miliar dollar AS pada awal 2000-an menjadi sekitar 2,5 triliun dollar AS pada 2009. Peningkatan terjadi akibat surplus perdagangan yang begitu masif, khususnya terhadap AS.

Dalam upaya menyelesaikan krisis finansial, Pemerintah AS menerbitkan surat utang secara masif dan China menjadi salah satu pemegang surat utang terbesar. Dari kacamata awam, China dianggap telah "mencuri" kekayaan orang AS melalui perdagangan. Kemudian, mengendalikan Pemerintah AS dengan cara menguasai kepemilikan surat utang.

Itulah kampanye jitu yang diyakini menjadi salah satu penentu kemenangan Trump. Kini Trump mulai merealisasikan janjinya untuk membatasi produk China agar praktik "pencurian" tersebut bisa dihentikan.

Keputusan ini mengundang polemik. Pertama, dampak pembatasan produk China justru menghantam industri domestik AS sendiri, khususnya sektor penerbangan, otomotif, dan industri lain yang menggunakan bahan baku baja dan aluminium. Kedua, tindakan AS akan mengundang reaksi pembalasan sehingga perang dagang tidak terelakkan.

Pemerintah China sudah menyiapkan 128 jenis produk AS senilai sekitar 3 triliun dollar AS untuk dikenakan tarif sebagai tindakan balasan. Oleh karena itu, pasar keuangan global bereaksi negatif, yakni hampir semua pasar keuangan di seluruh dunia merosot.

Mungkin gejolak sektor keuangan ini bersifat sementara. Namun, ketidakseimbangan global bukanlah fenomena jangka pendek. Ketidakseimbangan global ini merupakan isu fundamen yang tak sekadar berdimensi ekonomi, tetapi juga politik.

Mengapa Trump membuat pengecualian kebijakan kenaikan tarif untuk kelompok negara mitra, seperti Korea Selatan, Jepang, Australia, dan kelompok negara NATO lainnya? Jelas sekali AS ingin fokus pada China, yang mungkin targetnya menarik China ke meja perundingan.

Martin Feldstein, profesor ekonomi Universitas Harvard, termasuk segelintir yang "memahami" keputusan Trump. Menurut Feldstein, China memang telah merencanakan "pencurian" sistematis di segala bidang secara matang dan terukur, termasuk mencuri kekayaan intelektual. Intinya, hubungan China dan AS diwarnai dinamika yang rumit, berdimensi ekonomi, politik, dan bahkan militer.

Dinamika

Lalu, bagaimana kita mengantisipasi dinamika tersebut? Tidak bisa dimungkiri, secara umum dunia cenderung bergerak ke arah protektif. Oleh karena itu, aliran perdagangan global akan melemah di masa depan. Akibatnya, ekspor kita tak bisa diharapkan meningkat dalam jangka menengah. Dalam jangka pendek, mungkin kita diuntungkan dengan kenaikan harga komoditas sehingga nilai ekspor kita terdorong ke atas. Namun, dalam jangka menengah, ekspor berbasis komoditas yang hanya terkonsentrasi ke pasar tradisional sama sekali tidak bisa diharapkan. Agendanya jelas, melakukan diversifikasi produk ekspor dan menemukan pasar baru. Selain itu, ketergantungan kita pada sektor jasa asing juga harus dikurangi secara signifikan.

Mengapa penting, karena neraca perdagangan, khususnya jasa, akan menentukan aliran modal asing yang masuk ke pasar domestik. Semakin kecil ekspor kita, sementara ketergantungan pada jasa asing tetap tinggi, menyebabkan defisit neraca transaksi berjalan semakin lebar. Defisit transaksi berjalan harus ditutup dengan mengundang lebih banyak modal asing melalui berbagai instrumen, khususnya investasi portofolio. Semakin besar dominasi modal asing di pasar keuangan kita, maka sektor keuangan kita juga makin rentan gejolak.

Agenda besar lain yang harus dikerjakan adalah menggali pendanaan dari perekonomian domestik agar ketergantungan pada modal asing bisa secara bertahap bisa dikurangi. Masalahnya, kalaupun dilakukan secara benar, hasilnya baru akan dinikmati beberapa tahun ke depan. Memperdalam pasar keuangan merupakan isu jangka panjang yang akan memecahkan dua soal besar sekaligus, yaitu stabilitas dan intermediasi.

Dalam jangka pendek, fokusnya menjaga stabilitas. Pertama, otoritas moneter harus siap mengorbankan cadangan devisa untuk menjaga rupiah tidak terdepresiasi tajam. Kedua, otoritas keuangan harus mengantisipasi gejolak di pasar saham dan obligasi agar tidak tergerus tajam.