KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Syamsuddin Haris

Rapat Kerja Nasional PDI Perjuangan di Bali akhirnya memutuskan mengusung kembali Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden pada 2019. Istana semakin ramai dikunjungi para pesohor. Elite politik, media, dan lembaga survei pun sibuk mengutak-atik, siapa calon wakil presiden yang tepat bagi Jokowi?

Keputusan rakernas Bali mengakhiri spekulasi tentang tertundanya pencapresan Jokowi oleh basis politiknya sendiri, PDI Perjuangan, padahal, tujuh partai politik lainnya sudah mendeklarasikan dukungan bagi Jokowi. Ketujuh parpol terdiri atas empat partai di DPR hasil Pemilu 2014 (Nasdem, Golkar, Hanura, dan PPP), dan tiga partai non-DPR (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia/PKPI, Partai Solidaritas Indonesia/PSI, dan Partai Persatuan Indonesia/Perindo).

Perhatian publik jelang Pilpres 2019 saat ini bukan lagi soal calon presiden (capres), tetapi justru pada calon wakil presiden (cawapres). Hal ini bukan semata-mata karena sosok capres sudah relatif jelas, yakni Jokowi sebagai petahana dan Prabowo Subianto selaku penantang, tetapi juga karena peluang munculnya capres ketiga relatif kecil. Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum membatasi, hanya parpol dan/atau gabungan parpol yang memperoleh 25 persen suara atau 20 persen kursi DPR yang dapat mengajukan pasangan capres dan cawapres. Mahkamah Konstitusi beberapa waktu yang lalu mengukuhkan kembali amanat UU Pemilu tersebut melalui keputusan MK yang akhirnya menolak uji materi (judicial review) yang diajukan sejumlah pihak terkait hal itu.

Apabila lima parpol koalisi pendukung Jokowi yakni PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, Hanura, dan PPP (total 52,1 persen suara, 51,7 persen kursi) mengusung kembali Jokowi, maka yang tersisa tinggal Gerindra, PKS, PAN, PKB, dan Partai Demokrat. Jika Gerindra dan PKS mencalonkan Prabowo—kebetulan jumlah kursinya pas 20 persen—maka gabungan suara ataupun kursi Demokrat (persentase suara 10,2 persen/kursi 10,9 persen) dan PAN (suara 7,7 persen/kursi 8,8 persen) tak cukup memenuhi  syarat mengajukan capres di luar Jokowi dan Prabowo.

Potensi munculnya poros ketiga hanya terjadi jika PKB (suara 9,0 persen/kursi 8,4 persen) –parpol koalisi tetapi belum mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi—akhirnya memilih bergabung dengan Demokrat dan PAN. Kalaupun misalnya PKB bergabung dengan Demokrat dan PAN, pertanyaannya, siapa yang menjadi  capres? Bukankah, dalam konteks Pilpres 2019, baik Muhaimin Iskandar maupun tokoh muda Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono lebih dipersiapkan dan memposisikan diri sebagai cawapres ketimbang capres?

Empat sumber

Meskipun PDI Perjuangan sudah memutuskan pengusungan kembali Jokowi, belum jelas siapa cawapres yang dianggap tepat. Idealnya, Jokowi membutuhkan cawapres yang tidak sekadar kompeten, visioner, serta memiliki chemistry dan bisa bekerja sama dengan mantan walikota  Solo tersebut, tetapi juga kandidat yang merepresentasikan keberagaman Indonesia. Akan tetapi, adakah cawapres yang memenuhi syarat ideal tersebut?

Dalam kaitan tersebut, paling kurang ada empat sumber cawapres yang tersedia bagi Jokowi. Pertama, para ketua umum parpol koalisi pendukung Jokowi di luar Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati yang sudah pernah menjadi wapres (1999-2001) dan bahkan presiden (2001-2004). Partai-partai Golkar, Hanura, Nasdem, PKB, PPP, dan PAN tentu akan berusaha mengajukan nama ketua umum dan/atau ketua dewan pembina partai masing-masing sebagai pendamping Jokowi pada Pilpres 2019. Di pucuk pimpinan parpol ini secara berturut-turut ada nama Airlangga Hartarto, Wiranto, Surya Paloh, Muhaimin Iskandar, M Romahurmuziy, dan Zulkifli Hasan.

Kedua, para tokoh masyarakat, termasuk kalangan profesional, perempuan, dan pemimpin-pemimpin organisasi kemasyarakatan, juga dapat menjadi sumber cawapres bagi Jokowi. Sejumlah nama dapat didaftar untuk kategori ini seperti Mahfud MD, Yenny Wahid, Jimly Asshiddiqie, Chairul Tanjung, serta Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Nama tokoh-tokoh masyarakat ini tentu bisa didaftar lebih panjang lagi.

SUMBER: INDO BAROMETER

Pilihan terbuka calon wakil presiden

Ketiga, para menteri Kabinet Kerja yang kinerjanya dianggap mampu memenuhi harapan Presiden, adalah salah satu sumber cawapres lainnya yang bisa dilirik Jokowi. Ada beberapa menteri yang menonjol dibandingkan yang lain seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono. Ada juga menteri yang memiliki kedekatan politik dengan Jokowi seperti Puan Maharani, putri Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati, yang menjabat menko pembangunan manusia dan kebudayaan dalam Kabinet Kerja.

Keempat, mereka yang secara elektoral terekam oleh lembaga-lembaga survei. Ada banyak nama di luar Jokowi dan Prabowo, namun hampir tidak satu pun yang benar-benar signifikan secara elektoral. Sejumlah hasil survei mengkonfirmasi, selain Jusuf Kalla yang sudah dua kali menjadi wapres, beberapa nama yang berada di lapis kedua sesudah Jokowi dan Prabowo, di antaranya adalah Anies Baswedan, Gatot Nurmantyo, dan Agus Yudhoyono. Di lapisan berikutnya ada banyak nama lain yang potensi elektabilitasnya lebih rendah lagi.

Friksi internal koalisi

Dari empat sumber cawapres tersebut, persaingan relatif ketat berlangsung di antara pimpinan parpol koalisi pendukung Jokowi sendiri. Jauh-jauh hari Muhaimin bahkan telah mendeklarasikan diri sebagai cawapres melalui baliho ukuran besar hampir di seantero Tanah Air. Namun yang menarik, sebagai parpol koalisi pendukung Jokowi, PKB sendiri belum mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi sebagai capres 2019, sehingga tidak jelas bagi sebagian publik, ketua umum PKB ini hendak menjadi cawapres bagi Jokowi, Prabowo, atau yang lain.

Di luar Muhaimin, Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang mengumumkan untuk mencalonkan Wiranto sebagai pendamping Jokowi pada pilpres mendatang. Ketua-ketua umum parpol koalisi lainnya tentu berharap sama, dipinang Jokowi untuk menggantikan posisi Jusuf Kalla. Golkar yang begitu bersemangat mendukung Jokowi, tentu tak ingin kehilangan momentum untuk mengusung Airlangga Hartarto sebagai pendamping mantan gubernur Jakarta tersebut. Apalagi hubungan Jokowi dan Golkar tengah mengalami masa bulan madu politik, sehingga Airlangga pun dibiarkan tetap menjabat sebagai menteri perindustrian merangkap ketua umum partai beringin.

Apakah cawapres bagi Jokowi berasal dari pimpinan parpol, tak seorang pun tahu. Sebagai kader PDI Perjuangan, saya kira Jokowi tahu diri, sehingga belum tentu ia bisa memilih cawapres sendiri. Apalagi potensi friksi internal koalisi akan muncul bila cawapres berasal dari salah satu pimpinan parpol koalisi. Di sisi lain, koalisi banyak parpol tidak sepenuhnya identik dengan dukungan elektoral, sehingga tak ada jaminan pula bahwa pilihan atas cawapres dari parpol koalisi akan turut mengerek elektabilitas Jokowi.

Tunaikan janji politik

Oleh karena itu prioritas Jokowi saat ini semestinya bukanlah mencari dan memikirkan cawapres pendamping. Komunikasi dan lobi-lobi politik dengan pimpinan parpol pendukung dan para elite politik lain memang penting dan perlu. Namun yang tak kalah penting dan seharusnya menjadi prioritas Presiden adalah memanfaatkan waktu 18 bulan periode akhir masa jabatan untuk memenuhi janji-janji politik yang terlanjur terucap. Biarlah cawapres menjadi urusan para ketua umum parpol koalisi pendukung.

KOMPAS/LITBANG

Hasi Survei Litbang Kompas soal Elektabilitas Jokowi

Dalam jangka waktu yang pendek ini Jokowi sebaiknya fokus pada evaluasi diri atas pencapaian kinerja, termasuk melunasi utang politik yang belum terbayar serta juga memenuhi tuntutan sembilan program prioritas (Nawacita) Jokowi-JK. Apa saja program dan kebijakan yang berhasil dicapai, apa yang belum, serta apa saja yang terkendala. Dalam konteks Nawacita, misalnya, sejauh mana pemerintah berhasil menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara dalam berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Evaluasi jujur Presiden Jokowi atas pencapaian kinerja, serta pengakuan atas keterbatasan kapasitas pemerintah dalam memenuhi janji-janji politik, hemat saya akan memberi kontribusi elektoral yang signifikan ketimbang sekadar mencari dan mengutak-atik cawapres. Siapa pun cawapres bagi Jokowi, ia haruslah seorang tokoh yang bersih, memiliki rekam jejak sebagai pemimpin berintegritas, tidak memiliki cacat hukum dan beban politik masa lalu, serta mempunyai komitmen kebangsaan dan keindonesiaan yang kuat.