Demokrasi kita sejauh ini mengalami defisit: melahirkan terlalu banyak politisi tetapi terlalu sedikit negarawan. Idealnya, dari pemilu ke pemilu, penyelenggara negara semakin berkualitas negarawan (kompeten, berintegritas). Namun, politisi pemburu kekuasaan memotong linearitas korelasi waktu dan kualitas itu.
Diakui atau tidak, kita terjebak demokrasi liberal. Bukan hanya siapa punya uang banyak, tetapi juga siapa yang bisa menggoreng isu untuk dipolitisasi. Isu-isu populis dimainkan untuk mengubah orientasi rakyat, mengaktivasi emosi primordial sekaligus mendeaktivasi akal sehat yang jernih. Di mulut, kita mengutuk ekonomi liberal, tetapi laku politik kita demokrasi liberal.
Reformasi kita memang telah memberi jalan lebar demokrasi, tetapi—seperti dikatakan Bung Hatta di dalam Demokrasi Kita—kita "melupakan syarat-syarat untuk membangun demokrasi dalam praktik". Akibatnya, kita mempraktikkan demokrasi liberal (free fight), "hantam menghantam … menimbulkan perpecahan nasional, sehingga usaha-usaha pembangunan jadi telantar". Demokrasi seperti itu "tidak kenal batas kemerdekaannya, lupa syarat-syarat hidupnya dan melulu menjadi anarki".
Kita melupakan syarat-syarat untuk membangun demokrasi dalam praktik. Akibatnya, kita mempraktikkan demokrasi liberal (free fight).
Demokrasi dengan partisipasi aktif rakyat bertujuan untuk menjaring pemimpin berkualitas, yang pada gilirannya akan memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan luhur demokrasi akan tercapai "apabila ada rasa tanggung jawab dan toleransi pada pemimpin-pemimpin politik. Inilah yang kurang pada pemimpin-pemimpin partai yang telah berkali-kali saya peringatkan." Peringatan Hatta lebih dari setengah abad lalu ini masih relevan dengan keadaan kita sekarang.
Demokrasi pecah belah
Praktik politik demokrasi liberal pada dasarnya tanpa etika politik. Segala cara jadi halal, asal lawan kalah. Demi mengejar kekuasaan, tenun kebangsaan kalau perlu dirobek, rakyat dijadikan bahan bakar kampanye. Sportivitas pertarungan program dan gagasan jadi tak relevan. Sebagian kita memaknai ruang demokrasi sebagai kesempatan mengumbar caci maki, dalam ucap atau tulisan di media sosial, kepada yang tidak disukai. Tidak hanya sampai di situ, informasi bohong pun disebarluaskan untuk membentuk opini masyarakat dan membangun sentimen negatif.
Hoaks politik sedang dimainkan sebagai salah satu strategi pemenangan pemilu di era digital. Lepas dari siapa yang diuntungkan atau dirugikan oleh politik hoaks, kerugian terbesar tentu terbelahnya masyarakat ke dalam oposisi biner hanya berdasarkan asumsi pilihan politik dalam pemilu. Rakyat dan kontestan yang kalah babak belur, sementara sang pemenang merayakan kemenangan di atas robekan-robekan tenun kebangsaan.
Bukan itu demokrasi kita sebagai bangsa yang dulu dikenal mengedepankan musyawarah untuk mufakat, bergotong royong, dan hidup dalam harmoni. Persatuan bangsa dengan susah payah dipupuk oleh para pemimpin kita dalam suatu kesadaran bahwa bangsa yang terbelah tak akan kuat untuk maju dan menghadapi tantangan eksternal. Kekuatan dan kebesaran bangsa Indonesia hanya pada persatuannya. Hanya dengan cara itu kita menjadi bangsa yang tak mudah dikuasai dan didikte negara kuat.
Dulu, penguasa kolonial Belanda menjalankan politik pecah-belah masyarakat agar lebih mudah menguasai sumber- sumber ekonomi yang melimpah di Tanah Air. Kini, setelah lama merdeka, sebagian elite politik kita mengadopsi politik yang sama atas nama demokrasi tetapi untuk menguasai bangsa sendiri. Apabila kita dikuasai asing secara ekonomi, sebenarnya bukan karena asing musuh kita, melainkan kita menjadi lemah sendiri sehingga mudah dikuasai asing.
Banyak penyelenggara negara dalam praktiknya tidak profesional mengurus negara sehingga kemajuan bernegara berjalan lambat. Pencapaian legislator kita terkait legislasi dari tahun ke tahun jauh dari target dan mereka tak merasa wanprestasi sebagai wakil rakyat.
Dikotomi menyesatkan
Ada pandangan terungkap yang melegitimasi dikotomi negarawan-politisi. Orientasi negarawan adalah mengurus negara, sedangkan orientasi politisi adalah memburu kekuasaan sampai dapat. Per definisi, negarawan adalah orang yang paham seluk-beluk pemerintahan, taat asas menyusun kebijakan publik, visioner (melihat lebih jauh dari yang dilihat rakyat), dan berwibawa (bijaksana dalam memimpin, dan memiliki integritas pribadi).
Negarawan lahir melalui jalur-jalur konstitusional negara, lalu bermetamorfosa dari politisi menjadi penyelenggara negara yang berintegritas. Idealnya, setelah menjabat sebagai penyelenggara negara, horizonnya adalah negara dan bangsa. Sekalipun rumah politik lama berciri partisan, jabatan sebagai penyelenggara negara memberi horizon lebih luas untuk melihat masalah konstituennya dalam perspektif bangsa. Memperjuangkan kepentingan konstituen di dalam koridor kebangsaan. Dalam dikotomi seperti ini, politisi seolah-olah tak wajib memiliki kualifikasi negarawan sampai yang bersangkutan jadi penyelenggara negara. Ruang hidup politisi di luar negara dan selama itu ia boleh melakukan manuver politik apa saja.
Dikotomi ini menyesatkan. Politisi seperti Tan Malaka tak pernah masuk ke dalam lingkar kekuasaan tetapi buah pikirannya memperlihatkan betapa besar kepeduliannya atas bangsa dan negara. Tulisannya terus menginspirasi perjalanan para penyelenggara negara dan politisi kita. Bung Hatta juga bersikap negarawan ketika berada di luar lingkar kekuasaan.
Namun, benar bahwa tak semua penyelenggara negara adalah negarawan. Banyak penyelenggara negara dalam praktiknya tidak profesional mengurus negara sehingga kemajuan bernegara berjalan lambat. Pencapaian legislator kita terkait legislasi dari tahun ke tahun jauh dari target dan mereka tak merasa wanprestasi sebagai wakil rakyat.
Dalam ketergesa-gesaan dan tanpa uji publik, produk legislasi yang mengatur diri mereka langsung digugat masyarakat ke Mahkamah Konstitusi dan Presiden tak bersedia menandatanganinya. Publik dibiarkan menilai sendiri siapa yang berkehendak dengan legislasi itu dan penyelenggara negara mana yang lebih setia kepada partai daripada kepada negara.
Menyadari panggilan luhur mengemban tugas negara, Presiden Filipina Manuel L Quezon (1935-1944) bisa berkata, "Loyalitasku kepada partaiku berakhir ketika loyalitasku kepada negaraku dimulai." Karena itu, jadi penting presiden memiliki kesetiaan seperti itu dari para pembantunya yang notabene berasal dari partai.
Cacat kenegarawanan juga tampak dari persekongkolan melibatkan penyelenggara negara untuk membobol keuangan negara secara sistematis dan masif. Itu sebabnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2017 jalan di tempat pada skor 37 (skala 0-100) seperti tahun sebelumnya, malah turun peringkat dari 90 (total 176 negara) ke 96 (total 180 negara), meski banyak operasi tangkap tangan dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Korupsi seperti itu mengkhianati panggilan bernegara.
Politisi dan negarawan, keduanya mengatasnamakan rakyat dan paham seluk-beluk kenegaraan. Politisi belum tentu penyelenggara negara tetapi tak boleh kehilangan karakter negarawan dengan menghalalkan segala cara dalam perjuangan politiknya. Penyelenggara negara pasti politisi dan seharusnya negarawan dengan tidak menjadi partisan. Tugas kita semua, pemerintah dan rakyat, untuk keluar dari jebakan demokrasi liberal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar