Sejarah selusin wakil presiden sejak 1945 sampai kini membuktikan bahwa posisi RI-2 tersebut lebih banyak berfungsi sebagai "ban serep" saja. Fungsi itu terasa sekali dalam era wapres-wapres pilihan Presiden Soeharto yang berasal dari Golkar.
Para wapres tersebut adalah Adam Malik (1978-1983), Umar Wirahadikusumah (1983-1988), Sudharmono (1988-1993), Try Sutrisno (1993-1998), dan BJ Habibie (1998). Kelima wapres ini, plus Jusuf Kalla (2004-2009 dan 2014-2019), adalah orang-orang Golkar.
Ada tiga wapres yang bukan orang partai, yakni wapres pertama Mohammad Hatta yang bertugas pada periode 8 Agustus 1945-19 Desember 1948, 3 Juli 1949-27 Desember 1949, dan 15 Agustus-1 Desember 1956.
Jabatan wapres dalam era ini bahkan sempat lowong karena ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia pada 19 Desember 1948-13 Juli 1949 dan berdirinya Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949-15 Agustus 1950.
Hatta mengakhiri era keemasan dwitunggal setelah mengundurkan diri dari jabatan wapres pada tahun 1956 karena menganggap Presiden Soekarno semakin otoriter. Soekarno di sisi lain amat menghormati Hatta sebagai proklamator ataupun sebagai administrator yang memimpin kabinet sebagai perdana menteri (29 Januari 1948-20 Desember 1949).
Hatta dipercaya pula oleh Soekarno sebagai menteri pertahanan dan juga menteri luar negeri dalam kisaran waktu kurang dari setahun.
Konsep "dwitunggal" ini barangkali sulit terulang kembali karena perjalanan unik Bung Karno dan Bung Hatta yang memperjuangkan, mendirikan, membentuk, dan menggembala republik ini sejak mereka berusia muda. Ketika Soekarno sakit, Hatta nekat minta izin menjenguk. Mereka menangis sambil bergenggaman tangan, dan dua hari kemudian Soekarno wafat.
Wapres nonpartai kedua adalah Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978), wapres pertama Orde Baru sekaligus Presiden Soeharto. Portofolio Sultan sebagai Gubernur Yogyakarta, pejuang, jenderal bintang tiga, menteri, dan deputi PM pada masa Orde Lama, juga menko ekonomi Orde Baru, membuatnya lebih "menjulang" daripada Presiden Soeharto.
Sebagian kalangan bahkan menganggap Sultan sebagai pengganti Soeharto setelah ia magang sebagai wapres 1973-1978.
Ketika Adam Malik menggantikan Sultan sebagai wapres, tak urung ada juga yang terkejut. Gosip-gosip menyebut dia sudah "tua", berusia 65 tahun—Soeharto baru 56 tahun.
Untuk menangkal gosip itu, harianKompas di halaman depan memuat foto besar Sultan sedang mengendarai sedan, pertanda dia masih "muda". Karier politik Sultan selesai sudah, dia lebih banyak berkiprah di bidang olahraga sebagai Ketua KONI Pusat dan juga sebagai "Bapak Pramuka".
Dan, wapres nonpartai yang ketiga adalah Boediono (2009-2014). Sebelum menjadi wapres untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Boediono bertugas sebagai menteri negara Bappenas (1998-1999) pada era Presiden BJ Habibie, menteri keuangan (2001-2004) pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, menko ekonomi (2005-2008), dan gubernur Bank Indonesia (2008-2009) masing-masing pada era Presiden Yudhoyono.
Presiden Yudhoyono memilih Boediono karena wapres dia sebelumnya, Jusuf Kalla, dinilai terlalu menonjolkan diri. Ada pula sebagian kalangan yang beranggapan Jusuf Kalla berprinsip "lebih cepat lebih baik" karena Yudhoyono dianggap lamban dalam mengambil keputusan.
Jusuf Kalla akhirnya mencalonkan diri sebagai presiden tahun 2009 dan kalah telak dengan suara cuma 12,41 persen di bawah Yudhoyono (60,8 persen) dan Megawati (26,79 persen).
Mungkin, wapres Golkar yang paling menonjol adalah Adam Malik, yang berjuluk "Si Kancil" yang terkenal dengan ucapan "semua bisa diatur". Adam Malik sebelumnya dikenal sebagai wartawan kawakan yang lebih banyak berkiprah di dunia internasional sebagai menteri luar negeri (1966-1977).
Ia satu-satunya putra Indonesia yang pernah memimpin sebagai Ketua Sidang Umum PBB (1971-1972) dan juga sering berdiplomasi ke mancanegara untuk meyakinkan negara-negara sahabat dan lembaga-lembaga internasional tentang perubahan Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru.
Umar Wirahadikusumah dipilih Presiden Soeharto karena jasanya mengamankan ibu kota Jakarta pada saat-saat genting pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965. Kala itu, salah satu pesaing Umar yang namanya sering beredar adalah Mendagri Amir Machmud.
Amir salah seorang jenderal yang menjadi saksi mata penandatanganan Supersemar oleh Bung Karno di Istana Bogor, 11 Maret 1966. Amir menggantikan Umar sebagai Pangdam Jaya dan, juga seperti Umar, sesama warga Sunda.
Sebagian elite Orde Baru tak setuju ketika Presiden Soeharto memilih Sudharmono sebagai cawapres di ajang Sidang Umum MPR. Nama lain segera digulirkan, Jaelani Naro, yang dicalonkan oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Untuk pertama kalinya dalam sejarah ada dua cawapres, membuat terbukanya kemungkinan voting. Namun, pada saat-saat terakhir, PPP menarik pencalonan Naro dan Sudharmono menjadi calon tunggal.
Cawapres selanjutnya, Try Sutrisno, langsung diumumkan ABRI tanpa sepengetahuan Soeharto yang dikabarkan ingin memilih BJ Habibie. Soeharto yang pada awalnya tidak menghendaki pencalonan Try akhirnya mengalah agar tidak terjadi konflik dengan ABRI. Terlebih lagi, nama Try telanjur beredar luas di media massa. Habibie tidak lama bertugas sebagai wapres, hanya kurang dari satu bulan.
Sejak era Reformasi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menempatkan Wapres Megawati (1999-2001) dan dari PPP ada Hamzah Haz (2001-2004). Selebihnya, kita tahu Jusuf Kalla pertama kali cawapres yang didukung Golkar dan yang kedua kali didukung separuh hati oleh partainya yang kala itu mendukung duet Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Tak mustahil Jusuf Kalla kembali menjadi cawapres Jokowi jika hambatan konstitusional di atas di Mahkamah Konstitusi.
Untuk Pilpres 2019, nama cawapres yang mendampingi Jokowi mungkin lebih dari sepuluh. Sebuah hal yang pasti, mengulang pengalaman menjelang Pilpres 2014, peranan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri akan sangat dominan dalam menentukan nama cawapres bagi Jokowi.
Untuk Pilpres 2019, nama cawapres yang mendampingi Jokowi mungkin lebih dari sepuluh.
Ini lumrah mengingat Jokowi kader PDI-P yang akan sering terlibat dalam backroom deals dengan Megawati seperti, sekali lagi, menjelang Pilpres 2014.
Akan menarik, siapa saja nama yang akan disodorkan Megawati kepada Jokowi? Bisa kader sendiri, bisa juga kader partai lain, dan tak mustahil pula nonkader partai yang dekat dengan PDI-P. Sebuah hal yang pasti, Megawati mungkin baru akan menentukan pilihan pada detik-detik terakhir menjelang pendaftaran 4-10 Agustus 2018.
Siapa pun yang berminat, kader partai-partai, tokoh-tokoh nonpartai, menteri-menteri Kabinet Kerja, sejak kini sebaiknya mulai mengampanyekan diri. Sebagian sudah memulainya dan nama mereka rupanya mulai beredar di kalangan masyarakat karena dikenalkan lembaga-lembaga survei dan menjadi percakapan di media arus utama dan sosial.
Eh, ngomong-ngomong, kita akan memilih wapres ke-13, moga-moga bukan angka sial, ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar