KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Budiman Sudjatmiko

Sebuah masyarakat merdeka yang tak bisa menolong banyak orang miskin, tak akan bisa menyelamatkan sedikit orang yang kaya rayaSebuah masyarakat merdeka yang tak bisa menolong banyak orang miskin, tak akan bisa menyelamatkan sedikit orang yang kaya raya. ~ John F Kennedy

Ada dua jenis kemiskinan dilihat dari faktor biang keroknya: kemis- kinan yang diaki- batkan  keserakah- an segelintir orang dan kemiskinan yang diakibatkan oleh keteledoran banyak orang. Pelakon utama yang pertama sudah pasti segelintir penjahat bisnis. Namun pelakon utama yang ke dua menyeret banyak orang (berniat) baik yang salah baca teori dan gagal mencerna tanda-tanda zaman.  Faktor yang pertama sudah berabad-abad menjadi biang kerok semua persoalan sosial warisan kolonialisme dan industrialisasi. Namun ketimpangan  dan kemiskinan di masa depan yang tak terlalu lama lagi akan sangat dipengaruhi faktor yang kedua.

Automasi

Peta risiko global 2018 yang dikeluarkan  World Economic Forum menempatkan konsekuensi negatif dari kemajuan teknologi di inti jejaring keterhubungan risiko global. Ia terkait erat dengan risiko ekonomi pengangguran/setengah pengangguran dan risiko ketidakstabilan sosial.

Automasi dan digitalisasi diperkirakan akan menekan jumlah pekerja manusia dan upah kerja, meningkatkan produktivitas, dan konsekuensinya akan kian memperbesar pendapatan dan kekayaan para pemilik modal dan teknologi. Dampak automasidan pengangguran akibat teknologi  harus mulai jadi perbincangan serius di meja-meja rapat pemerintahan hingga bangku-bangku ruang kuliah. Prediksi McKinsey & Co mengungkapkan  bahwa 45 persen pekerjaan yang kita kenal saat ini akan hilang dalam dua dekade ke depan.

Saya mau menyoroti tiga hal ini. Pertama, ancaman automasi dan digitalisasi tidak boleh cuma dianggap bahaya di masa depan.  Kenyataannya ia sedang berlangsung di depan mata. Ia seperti dulu munculnya kereta api dan sepeda yang menggantikan kereta kuda.  Peristiwa tutupnya sejumlah gerai retail besar tahun lalu, dan akan terus berlanjut di tahun ini,  hanyalah adegan pembuka dari kisah saga peradaban berisi makhluk-makhluk berakal budi yang hidup berbarengan dengan robot cerdas, kecerdasan buatan dan mesin pembelajar.

Perusahaan-perusahaan swasta berkejar-kejaran dengan napas memburu melakukan investasi teknologi. Sejauh ini sasarannya adalah otomasi pekerjaan yang bersifat rutin dengan peringkat keahlian menengah. Namun tinggal menunggu waktu dan harga teknologi yang pas saja untuk bergerak ke peringkat pekerjaan yang lebih kompleks maupun sederhana. Pada peringkat pekerjaan yang kompleks, yang terkena dampak kerasnya adalah orang-orang cerdas tapi dengan cara berpikir usang. Pada peringkat pekerjaan sederhana, yang terdampak adalah berpuluh juta orang yang tidak punya keunggulan ilmu di masa kini, apalagi di masa depan. Akan jadi petaka dahsyat jika keduanya menyatu dan meledak.

Kedua, proses transformasi dunia kerja akan berlangsung cepat. Dunia pernah mengalami transformasi masif oleh karena revolusi teknologi. Namun apa yang terjadi saat ini akan sungguh-sungguh berbeda.  Bobot dan kecepatannya yang tinggi akan mendatangkan momentum yang jauh lebih meremukkan jika salah penanganan. Butuh waktu 200 tahun lebih  Amerika Serikat (AS) untuk bergerak dari masyarakat dengan 84 persen petani di tahun 1810 menjadi tinggal 2  persen  saat ini. Namun hari ini keahlian akan cepat  usang dan setiap pekerjaan rentan tergantikan oleh mesin. Tidak ada jeda waktu yang cukup, bagi individu maupun pemerintah, untuk beradaptasi dan memberikan respons yang sesuai.

Ketiga, jaring pengaman sosial yang kita miliki masih jauh dari cukup untuk meredam luka dalam tersebut. Bayangkan Anda memacu kecepatan sepeda motor dalam sirkuit balapan dengan banyak tikungan, tanjakan dan turunan menajam, cuma memakai helm plastik. Hal ini karena skema kesejahteraan yang ada saat ini  dibangun berdasarkan  ide, cara kerja  dan jenis pekerjaan produk Revolusi Industri I yang bertumpu pada mesin uap dan era Revolusi Industri II yang bersandar pada tenaga listrik.  Sekarang revolusi industrinya bertumpu pada teknologi digital, super komputasi dan biologi (neuroscience dan biologi sintetik).Pertanyaannya, bagaimana kita mencegah luka dalam di tubuh masyarakat, antara si kaya dan si miskin, antara pemilik teknologi di Silicon Valley dan mereka yang kehilangan pekerjaan akibat teknologi? Jawaban satu-satunya adalah melalui skema Pendapatan Dasar Universal (PDU) atau Universal Basic Income.

Pendapatan dasar universal

Ide dasarnya adalah negara memberikan pendapatan minimum yang mencukupi kebutuhan dasar tiap-tiap warganya bahkan pada kondisi ia tak dapat bekerja sama sekali,  secara rutin dan tanpa prasyarat apapun. Meski sangat sederhana ide ini memiliki gaung yang kencang. Ia mendapatkan dukungan dari banyak kalangan, di spektrum politik Kiri-Tengah maupun Kanan-Tengah, dari aktivis HAM  seperti Martin Luther King Jr dan  Desmond Tutu,  sampai ekonom pro pasar bebas Milton Friedman. Tak ketinggalan para inovator dan elite  teknologi seperti Mark Zuckerberg dan Elon Musk (yang berpolemik tentang dampak teknologi kecerdasan buatan) berada di garis depan mendukung pelaksanaan skema ini.

Ada beberapa eksperimen PDU sedang berjalan, di antaranya di Finlandia, Kenya, India, Belanda, Kanada, dan AS dengan skala dan level pelaksanaan yang beragam. Inisiatifnya tak hanya datang dari negara, tapi juga pihak swasta  maupun lembaga donor. Tujuannya  untuk mengevaluasi mekanisme dan dampak skema PDU sebagaimana disuarakan oleh pendukung atau dituduhkan oleh pengritiknya. Belum  ada gambaran final dari berbagai eksperimen tersebut. Namun hasilnya sejauh ini  mengindikasikan skema PDU mampu mendatangkan manfaat  positif, substansial dan jangka panjang, untuk tiap-tiap orang maupun komunitas penerimanya.  Misalnya, terlihat adanya peningkatan yang signifikan pada keahlian tiap-tiap orang, investasi aset, kesehatan  dan pendidikan anak.

Kecurigaan bahwa skema PDU akan berakibat negatif pada individu, misalnya meningkatkan konsumsi alkohol atau membuat orang malas bekerja,  tak punya dukungan empiris sama sekali. Di era saat robot cerdas dan mesin pembelajar akan menjadi bagian keseharian hidup manusia, PDU adalah cara untuk membagi adil 'kue kemakmuran' yang terus membesar oleh karena  kemajuan teknologi.

Kita perlu memandang PDU sebagai hak individu warga negara. Ia merupakan dividen warga dari investasi negara pada pengembangan  teknologi yang justru menghilangkan akses  warganya pada pekerjaan. Ia adalah royalti atas  monetisasi informasi yang diberikan sukarela oleh tiap-tiap orang di ruang-ruang digital. Ia  kompensasi atas hilangnya akses terhadap berbagai hal yang seharusnya dimiliki bersama.  Dengan beberapa cara pandang ini, ruang inovasi rancang pendanaan untuk membiayai pelaksanaan PDU akan lebih terbuka. Bagaimana masyarakat perdesaan  meresponnya? Kenapa desa?Desa silikon

Desa menjadi wilayah yang sangat rentan terdampak negatif oleh kemajuan teknologi. Hal ini karena mayoritas desa belum memiliki SDM mumpuni untuk menyesuaikan diri dan  membangun pertahanan diri atas hal ini. Namun itu akan jadi kisah masa lalu. Dalam tiga tahun terakhir desa-desa di Indonesia mulai berbenah. Sejak dana desa digulirkan, berbagai model kewirahusahaan sosial berbasis BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) dan BUMADes (Badan Usaha Milik Antar Desa) muncul dan berkembang.

Tentu masih banyak persoalan namun mimpi menjadikan desa sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru  akan semakin nyata dalam sepuluh tahun ke depan. Desa Ponggok di Klaten, Jawa Tengah, menjadi salah satu kisah sukses BUMDes yang kemudian disuntik dari dana desa. Berawal dari desa miskin dengan pendapatan tahunan hanya Rp 14 juta di  2006 kini menjelma menjadi makmur dengan total pendapatan Rp 15 miliar  di  2017.

Saat ini BUMDes Ponggok menaungi 13 unit usaha, mulai dari wisata air sampai warung kelontong. Semua dikelola secara profesional,     modern, dan  memanfaatkan teknologi informasi. Program kesejahteraannya pun beragam, mulai dari beasiswa satu rumah satu sarjana sampai pendapatan dasar universal dalam rupa 'gaji' untuk semua penduduk usia lanjut.  Hal serupa juga sedang dirintis di sejumlah desa lain di Indonesia.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Indeks Pariwisata Klaten – Wisatawan pengunjung obyek wisata Umbul Ponggok, Desa Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, menyewa jasa warga setempat yang berprofesi sebagai fotografer bawah air, Minggu (14/8).

UU Desa dengan dana desanya dan PDU adalah dua senjata kembar identik untuk menyongsong kemajuan teknologi.  Jika PDU memberikan kekuatan pada individu bertahan terhadap gempuran otomasi dan perubahan cara kerja sebagai postur defensifnya,  Dana Desa akan memberikan kemampuan orang banyak di desa untuk memenangkan kompetisi di era ekonomi digital sebagai postur ofensifnya. Artinya bahkan BUMADes-BUMADes juga bisa berkembang sebagai perusahaan data raksasa (Big Data) dan teknologi informasi dalam desa-desa berteknologi silikon (silicon village). Ini memadukan kecerdasan buatan dan jejaring sosial desa, di mana pelaku-pelakunya bukan cuma individu melainkan komunitas-komunitas. Tak ada yang lebih tepat dari itu sekarang.

Sebagaimana UU Desa, PDU juga membutuhkan tindakan politik progresif yang keras hati. Di tahap awal kita perlu mendorong adanya  eksperimen PDU di beberapa  wilayah. Ini perlu untuk memperkaya data dan pengetahuan kita tentang dampak PDU sambil menemukan skema yang pas. Melalui  PDU kita  berharap bisa menyelesaikan persoalan kemiskinan terutama di kampung-kampung kota maupun desa, gunung dan pantai secara tuntas sembari berselancar di atas gelombang kemajuan sains teknologi yang tak kenal rem ini.