Selain karena Presiden Jokowi gagal dalam mengesahkan Strategi Nasional Program Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK)—sebuah dokumen resmi yang semestinya dijadikan rujukan nasional-daerah dalam upaya memberantas korupsi—kabar mengejutkan datang dari Kepolisian.

Melalui salah satu petingginya, Kabareskrim, lahir gagasan dan kebijakan untuk 'mengabaikan' kejahatan korupsi yang dikategorikan kecil. Pengertian kecil ini adalah apabila nilai kerugian negara yang timbul lebih sedikit dari biaya yang dikeluarkan oleh aparat penegak hukum untuk menangani perkaranya. Deponering model kepolisian ini dapat diterapkan dengan syarat apabila tersangka telah mengembalikan kerugian keuangan negaranya.

ANTARA/MUHAMMAD ADIMAJA

Pekerja membersihkan logo Komisi Pemberantasan Korupsi di Gedung KPK, Jakarta, Senin (5/2). Dari hasil penindakan rasuah sepanjang tahun 2017, KPK mengklaim telah berhasil mengembalikan uang sebesar Rp 276,6 miliar kepada negara, dari uang tindak pidana korupsi dan pencucian uang serta hibah barang rampasan.

Dalil yang digunakan untuk mengusung kebijakan di atas adalah perhitungan ekonomi atau kalkulasi untung rugi. Artinya, negara diasumsikan mengalami kerugian apabila biaya menangani perkara korupsi dianggap lebih mahal dari kasus yang ditanganinya. Dalam situasi semacam itu, negara dianggap tidak mendapatkan apapun secara ekonomi saat menjalankan fungsinya untuk menegakkan hukum.

Pertanyaannya, sejak kapan fungsi penegakan hukum, atau fungsi untuk menegakkan aturan diukur dengan pendekatan untung rugi secara ekonomi? Sejak kapan pula aparat kepolisian berubah menjadi ekonom?

Korupsi kecil

Sebenarnya korupsi berkategori kecil tidak dapat dijelaskan secara utuh. Aparat kepolisian menafsirkan korupsi kecil sebagai perbuatan korupsi yang nilai kerugian negaranya lebih sedikit dari ongkos penegakan hukumnya. Lalu, korupsi senilai berapa yang kemudian dianggap kecil?

Rp 5 juta atau Rp 10 juta atau di bawah Rp 100 juta? Dalam soal ini, kita tidak pernah dapat menentukan angka pastinya. Artinya, jika hal ini kemudian menjadi kebijakan resmi, yang lahir kemudian adalah diskresi dari penegak hukum untuk menentukan besar kecilnya.

Masalahnya, diskresi yang terlalu luas juga memicu korupsi. Apakah pada akhirnya tidak mungkin tercipta kesempatan luas kolusi antara penegak hukum dan pelaku untuk 'membebaskan' kasus itu dengan dalih telah mengembalikan kerugian keuangan negara dan nilai kerugian negaranya kecil?

Demikian halnya, dalam UU No 31 tahun 1999 jo UU 20 tahun 2001 diatur dengan jelas jenis perbuatan yang disebut korupsi. KPK dalam buku sakunya membagi jenis korupsi itu menjadi tujuh bagian. Korupsi yang berkaitan dengan nilai kerugian keuangan negara hanyalah salah satu jenis korupsi yang dimaksud oleh UU. Lantas, bagaimana dengan pidana suap, pemerasan, gratifikasi, dan lain-lainnya? Apabila nilai suap yang diterima oleh penyelenggara negara, pegawai negeri, aparat penegak hukum dan hakim misalnya Rp 10 juta, apakah ini juga dianggap sebagai korupsi berkategori kecil karena biaya penegakan hukumnya sebagai misal Rp 20 juta?

Toleransi terhadap korupsi

Bertrand de Speville, mantan Komisioner ICAC Hong Kong, dalam satu makalah berjudul "The Struggle Against Corruption: Progress at a Snail's Pace. Why?" yang diterbitkan Asia-Pasicif Review (2016) mengingatkan kita bahwa pengabaian terhadap penanganan korupsi yang dianggap kecil akan membuat persoalan korupsi lebih serius.

Menurutnya, pemberantasan korupsi hanya akan berhasil jika semua kejahatan yang dianggap korupsi atau penyimpangan direspons secara cepat untuk menunjukkan bahwa pemerintah atau negara tidak memberikan toleransi sekecil apapun atas perbuatan itu. Hal ini juga karena korupsi kecil yang dilakukan secara terus menerus akan menimbulkan kerusakan yang serius apabila didiamkan.


Lebih lanjut, ia memberikan alasan bahwa setiap laporan yang disampaikan oleh masyarakat merupakan langkah awal untuk membangun kepercayaan dan dukungan dalam melawan korupsi. ICAC Hongkong yang hingga hari ini menikmati dukungan publik luas di Hongkong memulai cara untuk meraih kepercayaan itu dari responsifnya mereka terhadap laporan masyarakat yang masuk. Apabila investigasi yang dilakukan ICAC tidak mendapatkan bukti yang cukup, pelapor akan diberitahu dan ICAC melalui mekanisme review-nya akan meninjau kebijakan atau tindakan yang meskipun tidak dianggap korupsi, tapi berpotensi mengarah ke korupsi untuk diperbaiki.

Pengabaian terhadap penanganan korupsi yang dianggap kecil akan membuat persoalan korupsi lebih serius. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil jika semua kejahatan yang dianggap korupsi atau penyimpangan direspons secara cepat untuk menunjukkan bahwa pemerintah atau negara tidak memberikan toleransi sekecil apapun atas perbuatan itu

Jika karena dianggap korupsi kecil, kemudian laporan dari publik diabaikan, maka hal ini merupakan titik balik dari upaya melawan korupsi. Dukungan masyarakat dalam bentuk pelaporan akan mengalami penurunan apabila respons yang diberikan tidak memadai. Masyarakat mungkin tidak memercayai, atau enggan untuk memberikan informasi lagi, meskipun mereka melihat kejahatan korupsi terjadi, kepada penegak hukum apabila dalam laporan sebelumnya, mereka dikecewakan.
Situasi semacam ini akan sangat menyulitkan kerja-kerja memberantas korupsi kedepan.

Fungsi negara dan kalkulasi untung rugi

Masalah lain yang timbul dari kebijakan mengabaikan korupsi kecil adalah alasan ekonomi yang menjadi latar belakangnya. Negara seakan-akan mengalami kebangkrutan apabila mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menegakkan aturan, memastikan ketertiban sosial dan mengawal prinsip rule of law.

Padahal secara substansial, fungsi negara untuk menegakkan prinsip rule of law tidak bisa dihilangkan atau dikurangi dengan alasan karena keuangan yang terbatas.

Cita-cita pemberantasan korupsi yang paling utama adalah ketika pada tingkat masyarakat, sektor swasta dan pemerintah/negara, tercipta sebuah nilai-nilai antikorupsi bersama. Upaya membangun nilai-nilai itu salah satunya dilakukan dengan pendekatan penegakan hukum.

Dapat membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak bisa dilakukan, mana yang dianggap pelanggaran hukum dan mana yang bukan, mana yang disebut korupsi dan mana yang tidak merupakan bagian dari nilai-nilai bersama yang diharapkan terbangun.

Sementara apabila ada yang melewati batas-batas ini penegak hukum akan mendeteksi dan memberikan hukuman. Ini semua adalah proses yang mana negara harus menanggung biayanya, seberapa besarpun ongkos itu harus dikeluarkan. Jika cara berpikir negara telah berubah menjadi pedagang, justru ini adalah awal mula petaka korupsi yang lebih serius akan terjadi.