Karena DPR belum kunjung mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penyiaran dalam kurun 11 tahun, akibat RUU tersebut masih tertahan di Badan Legislasi DPR sejak Februari 2017, saya minta semua anggota DPR untuk tidak libur atau tidak mengadakan masa reses dahulu.
Pengesahan RUU Penyiaran sangat mendesak sebab migrasi ke televisi digital terestrial itu sangat penting demi kualitas penerimaan gambar dan suara di rumah. Gambar yang jernih dan suara yang bagus dapat diterima dengan menggunakan antena TV UHF.
Program televisi lebih bervariasi karena satu kanal televisi digital terestrial bisa menampung 12-15 program, lebih banyak dibandingkan dengan televisi analog terestrial, di mana setiap kanal hanya bisa menampung satu program televisi.
Kita sangat tertinggal dalam hal migrasi ke televisi digital terestrial dibandingkan dengan Singapura yang lebih dulu menerapkannya. Dalam waktu dekat, mereka akan menonaktifkan siaran televisi analog terestrial.
Sampai saat ini belum ada tanda-tanda RUU Penyiaran akan disahkan oleh DPR. Saya mohon sudilah anggota DPR menanggapi permintaan ini.
Andre Agusta Wiradharma
Jalan Malaka, Malaka Sari,
Duren Sawit, Jakarta Timur
Marka Kejut di Terminal 3
Saya jarang menjemput keluarga di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta. Beberapa kali hanya mengantar saja.
Baru-baru ini saya sangat terkejut ketika hendak menjemput keluarga di Terminal 3. Beberapa marka kejut yang dipasang setelah jembatan layang, menurut saya, dibuat asal-asalan dan tidak sesuai standar. Belum lagi polisi tidur yang dipasang persis sesaat sebelum memasuki area depan terminal. Sungguh luar biasa tinggi.
Marka kejut itu jitu membuat mobil seperti "terlempar", bahkan bergeser, ketika melintasinya. Selain itu, polisi tidur yang begitu tinggi juga membuat banyak mobil mengurangi kecepatan dengan mendadak. Ini tentu berpotensi besar menimbulkan kecelakaan.
Mengapa pengelola bandara tidak membuat marka kejut yang sesuai dengan standar saja? Misalnya, seperti yang tersua di jalan tol. Pun dengan polisi tidur, apa harus setinggi itu?
Mohon tanggapan pengelola Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta.
Rico Setyawan
Pondok Pinang, Kebayoran Lama,
Jakarta Selatan
Setia sebagai Kutu Media Cetak
Saya mulai mengenal harian Kompasketika duduk di kelas VI SD dalam dasawarsa 1980- an. Ketika itu kami mendapat tugas mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) membuat kliping mengenai Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Saat saya duduk di SMP dan SMA, tugas-tugas sekolah tetap berpatokan pada harianKompas.
Saat itu, Soroako, tempat kami tinggal, merupakan daerah terpencil. Koran tiba satu hari setelah tanggal terbit. Agen koran membelinya dari Ujungpandang. Koran itu dikirim dengan bus malam. Soroako- Ujungpandang dengan bus pada saat itu ditempuh dalam waktu 12 jam.
Meskipun daerah kami terpencil, kami tak kekurangan bacaan karena ada toko yang menjual majalah anak-anak, seperti Bobodan Hai.
Keluarga kami saat itu tidak melangganiKompas, tetapi kami melanggani majalahBobo untuk anak-anak serta Hai untuk remaja dan belia.
Berkat Kompas dan kedua majalah itulah saya menjadi kutu buku dan menjadi penulis. Dalam bahasa sekarang yang digital dan serba nirkertas, bolehlah saya dibilang sebagai kutu media cetak (ingatkutu dalam "kutu buku").
Hingga kini saya melanggani harianKompas dan tetap melakukan kliping.
Saya lebih suka membaca cetakan—surat kabar cetak— ketimbang koran elektronik yang disebut saat ini sebagai e-paper.
Vita Priyambada
Kompleks Perhubungan, Jatiwaringin,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar