TOTO SIHONO

.

Retorika hukuman berat dalam perkara narkotika tetap mendominasi wacana publik. Hukuman mati sebagai upaya penjeraan pelaku tindak pidana narkotika masih diyakini banyak pihak. Begitu pula penghukuman penjara masih dianggap paling efektif membuat pengguna tak kembali menikmati narkotika.

Faktanya dalam perkara narkotika, penjeraan adalah suatu hal yang sulit untuk dicapai meski hukuman yang diatur dan dijatuhkan sangat berat. Saat ini, ancaman hukuman yang mendominasi bagi kejahatan narkotika adalah penjara.

DOKUMENTASI KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Para tersangka kasus peredaran narkotika di Kantor BNNP jateng, Kota Semarang. Sindikat ini dikendalikan narapidana salah satu Lembaga Pemasyarakatan di Pulau Nusakambangan, Cilacap.

Dalam kejahatan narkotika, Douglas Husak menyatakan bahwa pemenjaraan berdurasi lama dan frekuensi tinggi yang diberikan bagi pengguna narkotika, tidak memiliki korelasi dalam mengurangi penggunaan narkotika (Husak, 2003).

Di Indonesia, misalnya, jumlah pengguna dan pengedar narkotika yang ditahan dan dipenjara meningkat sangat tajam sejak diberlakukannya UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pada Desember 2010, jumlah tahanan dan terpidana narkotika seluruhnya 3.183 orang. Penanhanan dan pemenjaraan terhadap pengedar maupun pengguna narkotika meningkat pesat hingga 2.847 persen dalam kurun waktu tujuh tahun hingga mencapai jumlah 90.616 orang.

Semakin banyak pelaku kejahatan narkotika yang dikurung di balik jeruji besi tak diiringi dengan penurunan prevalensi penggunaan narkotika.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Para tersangka pengedar narkotika yang berhasil ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN) dirilis kepada media di kantor BNN, Cawang, Jakarta Timur, Kamis (2/2). BNN berhasil mengungkap kasus peredaran narkotika jenis 4-klorometkatinona atau 4-CMC (blue safir) sebanyak 50 liter yang dikirim dari Tiongkok dan berhasil mengamankan dua orang tersangka. Selain itu, sebanyak 11 tersangka jaringan sindikat narkotika internasional di kawasan Medan, Sumatera Utara juga berhasil ditangkap dengan barang bukti sabu seberat 10 kilogram.

Sebelum UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diberlakukan, prevalensi penyalahgunaan narkotika sebanyak 1,99 persen dari total penduduk atau 3,6 juta jiwa dalam kurun waktu 2006-2010 (Sulastiana, 2013). Akan tetapi pada 2014, prevalensi pengguna narkotika meningkat menjadi 2,8 persen dari total penduduk atau 5,1 juta orang (Azhar, 2014).
Dampak penjara dalam mengurangi kejahatan secara umum juga dikritik dan dibantah pada beberapa penelitian. Kejahatan di Amerika Serikat, misalnya, tetap tinggi meski negara itu paling banyak memenjarakan orang. Semakin banyak orang yang terkurung di penjara belum tentu mengurangi kejahatan, namun yang pasti akan menambah pengeluaran negara.

Penjara bukan solusi

Tindakan yang dilakukan kepada pengguna narkotika semestinya berbasiskan pada ilmu pengetahuan dan bukti. Suatu kebijakan yang didasarkan pada emosi, retorika dan tanpa bukti ilmiah cenderung menyesatkan. Bagi pengguna narkotika, penjara bukanlah solusi yang paling jitu untuk dirinya maupun negara.

Penggunaan narkotika tidak dapat dilepaskan dari faktor biologis, psikologis, dan sosial seseorang. Terkait faktor biologis, toleransi seseorang terhadap alkohol dan obat-obatan yang menimbulkan ketergantungan menurun melalui genetik (Kring, 2013). Seorang anak atau anggota keluarga dari seseorang yang mengalami ketergantungan juga memiliki angka tingkat ketergantungan lebih tinggi.

Faktor psikologis turut berperan dalam penggunaan narkotika seperti (1) keinginan individu mengatasi suasana hati; dan (2) adanya ekspektasi tertentu terkait penggunaan zat, misalnya agar lebih bertenaga. Lingkungan sosial seperti pengaruh teman dan bahkan keluarga, juga menjadi salah satu faktor penyebab penggunaan narkotika.

Seseorang yang menggunakan narkotika akan mengalami perubahan pada otak, psikis, dan fisik. Penggunaan kembali narkotika dianggap sebagai jalan mengatasi rasa sakit fisik dan kecemasan yang diderita. Cara kerja otak dalam jangka panjang juga berubah, khususnya pada bagian pre-frontal yang berperan pada motivasi, memori, kontrol atas impuls dan penilaian.

Kondisi seperti ini berpotensi besar memunculkan periode penggunaan kembali (relapse) meskipun telah dihukum penjara. Pemenjaraan terhadap pengguna narkotika justru akan kian membuat keadaannya terpuruk dan tak teratasi permasalahan ketergantungannya pada narkotika. Rekam kriminal yang melabeli seseorang juga menghambat aksesnya untuk pendidikan dan pekerjaan yang layak.

Dalam jangka panjang, tidak jarang seorang pengguna narkotika semakin terpuruk dan tergantung pada penggunaan narkotika. Penelitian di Inggris, misalnya, menunjukkan pengguna narkotika yang menjadi kecanduan sebagian besar berasal dari komunitas miskin, dan untuk kecanduan ganja potensi besar terjadi bagi mereka yang memiliki gangguan kejiwaan.
Oleh karenanya, tindakan rehabilitasi dinilai lebih tepat bagi pengguna narkotika agar dapat mengelola penggunaan dan meningkatkan kualitas hidupnya. Kualitas hidup yang baik ini dapat diukur melalui kesehatan fisik, psikologis, kemandirian, relasi sosial, lingkungan yang mendukung, dan religiusitas.

Mitos hukuman mati

Keyakinan terhadap efek jera hukuman mati juga perlu dibuktikan dengan penurunan peredaran narkotika. Dalam periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pemerintah telah mengeksekusi mati sebanyak 14 orang pada 2015 dan empat orang pada 2016. Semua eksekusi mati dilakukan terhadap terpidana kejahatan narkotika yang mayoritas warga negara asing.

Pasca-eksekusi mati, peredaran narkotika dalam jumlah besar masih kerap terjadi. Pada awal 2018, puluhan kilogram yang siap diedarkan berhasil digagalkan. Produksi narkotika juga terus dilakukan baik di tempat yang ramai dikunjungi banyak orang seperti hiburan malam, ataupun yang dikendalikan oleh narapidana meski hukuman mati mengancam mereka.
Pembuktian efek jera hukuman mati berkali-kali dilakukan di berbagai negara. Di Amerika Serikat, tidak ada penurunan kejahatan yang signifikan di negara bagian yang masih mengeksekusi mati (Sellin: 1967 & 1980).

KOMPAS/RHAMA PURNA JATI

Dua warga negara Malaysia Chong Kim Tian (duduk di depan) dan Aaron A Chew (duduk di belakang) menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri Klas 1 Palembang, Selasa (18/4). Pada sidang ini, Chong Kim Tian dijatuhi hukuman mati sedangkan Aaron A Chew dijatuhi hukuman kurungan seumur hidup. Keduanya dihukum karena menyelundupkan 20 kg narkoba jenis sabu dari Malaysia ke Palembang pada 5 Oktober 2016 lalu.

Tren angka kejahatan pembunuhan juga sangat serupa antara negara bagian penghapus dan penahan hukuman mati. Penurunan tingkat pembunuhan justru terjadi di negara yang menghapus hukuman mati (Gebhard: 2005).

Selain itu studi atas hubungan hukuman mati dan efek jera juga sudah pernah dilakukan dengan melibatkan para pakar ilmu kriminologi di Amerika Serikat pada 2008. Di akhir studi, para pakar berada pada konsensus bahwa hukuman mati tidak menambah efek jera yang signifikan daripada pemenjaraan jangka panjang (Radelet & Lacock: 2009).

Apabila eksekusi mati tidak didukung bukti kuat mengurangi kejahatan, efek jera pidana mati menjadi mitos purbakala belaka. Pemerintah zaman modern sudah selayaknya tidak mengambil kebijakan berdasarkan pada mitos serta lebih bijak sebelum merenggut hidup seseorang.