Pada Pemilu 2019, kebijakan afirmatif pencalonan perempuan sebagai anggota legislatif untuk keempat kalinya akan diterapkan. Perjalanan kebijakan afirmatif tersebut telah melewati sejumlah perubahan regulasi yang menandai perkembangan keterwakilan politik perempuan. Itu dimulai dari aturan bersejarah yaitu Pasal 65 UU Nomor 12 tahun 2003 yang pertama kali mengatur partai politik peserta pemilu memerhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dalam pencalonan anggota legislatif.

Aturan berubah sejalan perubahan undang-undang pemilu pada 2008 dan 2012 yang mengatur lebih rinci kebijakan afirmatif. Selain pencalonan minimal 30 persen, juga mengatur penempatan perempuan di daftar calon yaitu setiap tiga nama paling kurang terdapat satu perempuan. Aturan tersebut tidak berubah di UU Nomor 7 tahun 2017 sebagai hukum formal pelaksanaan Pemilu 2019 (lihat pasal 245 dan pasal 246 ayat 2).

Keterwakilan perempuan

KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA

Lima pemakalan kaum perempuan dalam seminar "Dilema Kaum Perempuan Pusaran Politik" yang diselenggarakan Setnas Jokowi NTT. Dari kiri ke kanan: Aleta Baun anggota DPRD NTT, Veronika Ata dosen Undana Kupang, Bilqis Soraya dosen Undana Kupang, Aurora Modo politisi PDI-P NTT, Anita Yovita Mitak dari Pemprov NTT, dan Isma Walde Bendahara Umum Setnas Jokowi NTT. Perempuan NTT harus kerja keras untuk mencapai kuota 30 persen di legislatif.

Penerapan kebijakan afirmatif dalam tiga pemilu terakhir (2004, 2009, 2014) menunjukkan adanya pencapaian keterwakilan perempuan di legislatif. Pemilu 1999 yang merupakan pemilu pertama di Era Reformasi dan tanpa afirmasi, jumlah perempuan terpilih di DPR hanya 9 persen (46 dari 500). Saat kebijakan afirmasi perempuan pertama kali diterapkan pada Pemilu 2004, terjadi peningkatan jumlah perempuan terpilih di DPR: 65 orang dari 550 anggota DPR (11,8 persen). Afirmasi plus (30 persen dan penempatan 1 dari 3) pada Pemilu 2009 memberikan hasil yang lebih baik dari sebelumnya. Jumlah perempuan terpilih mencapai persentase tertinggi yaitu 18 persen (101 dari 560). Namun, pada Pemilu 2014 dengan aturan afirmasi plus yang sama, jumlah perempuan terpilih di DPR turun menjadi 97 orang (17,3 persen).

Keterwakilan perempuan di DPRD juga menunjukkan kenaikan dalam dua pemilu terakhir. Walau demikian ada DPRD di sejumlah kabupaten yang keterwakilan perempuannya nol.
Berkaca pada hasil Pemilu 2014,  menjadi pertanyaan apakah keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD hasil Pemilu 2019 mendatang akan naik, turun, atau stagnan? Sejumlah hal perlu diperiksa untuk menjawab.

Regulasi operasional yang bisa mewajibkan partai politik peserta pemilu mematuhi kebijakan afirmatif, tetap menjadi faktor strategis. Seperti KPU 2012-2017 yang menerbitkan PKPU Nomor 7 tahun 2013 tentang Pencalonan DPR dan DPRD, di mana daftar calon yang diajukan partai politik peserta pemilu di tiap daerah pemilihan (dapil) wajib memenuhi syarat afirmasi sebagaimana diatur UU Nomor 8 tahun 2012. Jika tidak memenuhi ketentuan itu maka KPU menyatakan daftar calon partai di suatu dapil tidak memenuhi syarat. Partai harus memperbaiki daftar calon. Ketentuan tersebut mampu membuat pencalonan perempuan di tiap dapil 30 persen.

Tidak hanya akumulatif jumlah caleg perempuan secara nasional (total dapil), namun tiap dapil wajib memuat paling kurang 30 persen perempuan dalam daftar calon.  Aturan tersebut membuka peluang keterpilihan menjadi lebih tinggi di tiap dapil. Dengan asumsi aturan afirmasi pencalonan perempuan tidak berubah dalam UU Pemilu, tidak ada alasan bagi KPU periode ini untuk tidak membuat peraturan pencalonan yang sama.

Potensi perempuan

HUMAS KEMENKO PMK

Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani berkunjung ke Agats, Kamis (22/2/2018)

KOMPAS/MAWAR KUSUMA

Anggota DPR dari Fraksi PDI-P Rieke Dyah Pitaloka

Potensi keterpilihan perempuan sesungguhnya cukup tinggi. Ada tiga perempuan terpilih di DPR 2014-2019 yang perolehan suaranya terbanyak. Ketiganya berasal dari PDIP: Karolin Margret Natasha  (Kalbar, 397.481 suara, peringkat 1); Puan Maharani (Jateng V, 369.927 suara, peringkat 2); dan Rieke Dyah Pitaloka (Jabar VII, 255.064 suara, peringkat 4).

Potensi tersebut juga ditunjukkan dari persentase pemilih yang memberikan suara untuk caleg perempuan. Catatan Puskapol UI menunjukkan pada Pemilu 2009, perolehan suara caleg perempuan mencapai 22,45 persen (16 juta suara pemilih untuk caleg perempuan), meningkat sedikit pada 2014 yaitu 23 persen. Artinya ada selisih antara persentase suara caleg perempuan dari seluruh partai politik peserta pemilu (23 persen) dengan persentase keterpilihannya di DPR (17 persen).

Secara regulasi, kesenjangan itu merupakan dampak aturan ambang batas suara parlemen di mana pembagian kursi DPR dihitung dari partai-partai yang meraih 3,5 persen suara nasional. Tetapi dampak lain yang strategis berasal dari minimnya jumlah caleg perempuan di nomor urut satu dalam daftar calon. Data Puskapol UI (2014) menunjukkan keterpilihan caleg di nomor urut 1 sangat tinggi, ditandai mayoritas anggota DPR terpilih di nomor urut 1 (62,14 persen). Berselisih sangat jauh dengan nomor urut 2 (16,96 persen) dan nomor urut 3 (4,46%).

Riset Formappi (2013) menunjukkan hanya sebagian kecil caleg perempuan yang ditempatkan partainya pada nomor urut 1, yaitu 140 dari 2.465 total caleg perempuan (5.7 persen). Terbanyak pada nomor urut 3 (25,7 persen) dan nomor urut 6 (19,9 persen). Faktanya, posisi nomor urut caleg masih relevan memengaruhi peluang keterpilihan caleg dalam sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak.

Perempuan masuk partai bukan menjadi ornamen belaka, tetapi sebagai konsekuensi hak politik warga negara untuk mengekspresikan kepentingan secara formal dalam wadah partai politik. Perempuan terlibat dalam partai, bekerja sukarela untuk kemajuan partai, loyal pada keputusan partai, tetapi lebih dulu terpinggirkan ketika berhadapan dengan kepentingan kompetisi (jabatan) kekuasaan.

Harus dicatat gambaran hasil keterwakilan perempuan tersebut—sejak Pemilu 2004 hingga 2014—diperoleh tanpa aturan afirmasi apa pun dari internal partai politik. Aturan afirmasi masih dipahami secara administratif yaitu syarat keikutsertaan dalam pemilu. Belum dipahami sebagai bagian tanggung jawab partai politik dalam memperbaiki kualitas representasi politik yang berkesetaraan dan berkeadilan.  PKPU Nomor 7 tahun 2013 berhasil mendongkrak jumlah caleg perempuan di tiap dapil (caleg perempuan DPR 37,3 persen), tetapi tanpa diikuti afirmasi internal partai maka hasilnya tidak signifikan (hanya 17,3 persen yang terpilih).

Ke depan, aturan afirmasi internal partai menjadi kebutuhan stratagis untuk meningkatkan keterwakilan politik perempuan.  Dalam 20 tahun ini, keterlibatan perempuan dalam perkembangan partai-partai politik era reformasi tidak bisa diabaikan. UU partai politik sejatinya memberikan ruang partisipasi bagi perempuan untuk terlibat dalam kepengurusan partai dari tingkat ranting (desa), kota/kabupaten, provinsi hingga pusat.

Perempuan masuk partai bukan menjadi ornamen belaka, tetapi sebagai konsekuensi hak politik warga negara untuk mengekspresikan kepentingan secara formal dalam wadah partai politik. Perempuan terlibat dalam partai, bekerja sukarela untuk kemajuan partai, loyal pada keputusan partai, tetapi lebih dulu terpinggirkan ketika berhadapan dengan kepentingan kompetisi (jabatan) kekuasaan.

Keterbatasan perempuan
Sedikitnya ada dua hal yang dibutuhkan dalam persaingan sistem proporsional terbuka, yaitu modal ekonomi dan basis sosial. Perempuan umumnya terbatas dalam dua hal itu.
Figur kader perempuan seperti ini cukup banyak ditemui di partai, terutama di daerah: punya basis sosial di akar rumput,  bekerja sukarela membesarkan partai, tangguh menghadapi pasang surut di partai, tetapi modalnya pas-pasan.  Mereka diapresiasi partai sebatas pencalonan di nomor urut tidak potensial (3, 6, 9, dst), dikalahkan dari anggota baru—baik laki-laki dan perempuan—dengan modal ekonomi kuat tetapi minim basis sosial.


Oleh karena itu, partai harus mengombinasikan dua hal itu (modal dan basis sosial) dengan afirmasi internal.  Pertama, afirmasi internal partai dalam bentuk menempatkan caleg perempuan di nomor urut satu pada sekurang-kurangnya 30 persen dari total dapil. Jadi potensi peluang keterpilihannya tinggi.

Kedua, perempuan dengan afirmasi nomor urut satu diutamakan kader tangguh, memiliki basis sosial di akar rumput, aktif dalam kegiatan partai, tetapi modal ekonomi terbatas.  Dengan demikian, partai tetap bisa mencalonkan orang-orang dengan modal kuat tanpa meminggirkan potensi kader yang bekerja keras membesarkan partai.

Sejatinya tantangan keterwakilan politik perempuan bukan sekadar meningkatkan jumlah keterpilihan elektoral. Itu hanya pintu masuk menuju representasi yang berkeadilan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Peran strategis partai politik sangat penting untuk melewati pintu masuk itu.  Masih ada waktu bagi partai politik peserta pemilu mempertimbangkan penerapan afirmasi internal menjelang tahapan pencalonan anggota legislatif yang dimulai Mei nanti.  Dengan demikian hasil lebih baik dapat terwujud pada Pemilu 2019 mendatang.