Darurat Pensiun
Saya mohon tindakan berkeadilan bagi puluhan juta buruh atau pekerja oleh presiden RI atas hak jaminan pensiun mengingat pemerintah sibuk membenahi gaji, cuti melahirkan, sampai tunjangan pensiun bagi aparatur sipil negara/TNI/Polri.
Badan Pusat Statistik menginformasikan bahwa pada 2017 baru 11,7 persen pekerja yang memiliki jaminan pensiun. Dengan demikian, puluhan juta pekerja kita akan bergantung kehidupan sosial ekonominya pada lingkungannya saat mencapai usia lanjut atau pensiun, termasuk bergantung kepada APBN melalui Program Keluarga Harapan sebesar Rp 1.980.000 yang bertahan beberapa bulan saja.
Butuh berapa APBN apabila pada 2030 jumlah lansia atau pensiunan 28,7 juta orang? Untuk mengatasi ketidak- adilan, kami mengusulkan agar presiden secara utuh melaksanakan Pasal 39-46 Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional ataupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 dengan langkah darurat pensiun berikut.
Pertama, menginstruksikan kepada Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Dalam Negeri, aparat penegak hukum, dan pemerintah daerah untuk memastikan bahwa hak kepesertaan pekerja atas jaminan pensiun dan lainnya dilaksanakan oleh setiap majikan atau pemberi kerja dalam jangka waktu dua tahun ke depan.
Kedua, meninjau Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 agar tidak mengesampingkan hak pekerja-mandiri atas jaminan pensiun.
Usul di atas sepenuhnya berdasarkan (argumen) undang-undang yang dapat dipertanggungjawabkan. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko diharapkan mengamati dan memperhatikan surat ini secara extraordinary karena dengan cara-cara biasa yang sudah puluhan tahun—sejak Astek, UU Jamsostek, sampai sekarang—jumlah peserta (hak pekerja) tetap rendah.
Odang Muchtar
Bintaro, Jakarta Selatan
Dilema Kriteria Ketuntasan Minimal
Saya seorang guru suatu mata pelajaran di sebuah SMA negeri di daerah Bogor. Terkait dengan penilaian hasil belajar yang telah ditetapkan dalam Kurikulum 2013, sekolah harus menetapkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang dihasilkan dari pertimbangan intake siswa, daya dukung berupa sarana-prasarana sekolah, dan kompleksitas kompetensi dasar mata pelajaran.
Karena sekolah kami adalah sekolah terakreditasi A, KKM setiap mata pelajaran harus ada pada kisaran 75. Itu nilai minimal yang cukup mustahil didapatkan seluruh peserta didik bila mengingat ada 15 mata pelajaran yang harus dikuasai peserta didik.
Ketentuan KKM juga menimbulkan dilema sebab meskipun peserta didik ada yang tak lulus mata pelajaran tertentu, guru harus mengadakan remedial hingga nilai peserta didik ada di kisaran 75 atau KKM yang telah ditentukan.
Keadaan ini membuat kami, sebagai guru, merasa bahwa peserta didik justru terkesan santai karena tanpa belajar keras pun nilai mereka akan tetap 75, sesuai dengan KKM sekolah. Apalagi dengan maraknya penggunaan gawai di sekolah.
Hasilnya, karakter malas belajar dan santai pada diri peserta didik terbentuk di sekolah. Tentu hal ini bertentangan dengan nawacita pembentukan karakter di sekolah yang selama ini dicita-citakan seluruh pendidik di Indonesia.
Karena itu, saya mohon agar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sudi meninjau kembali penerapan KKM di sekolah karena untuk beberapa sekolah yang terakreditasi A, KKM sangat tinggi dan mustahil didapatkan seluruh peserta didik. Apabila KKM diturunkan atau ditiadakan, saya rasa peserta didik akan lebih kompetitif dan bersungguh-sungguh dalam belajar. Atas perhatian Mendikbud, saya mengucapkan terima kasih.
Dina Ardianti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar