Presiden AS Donald Trump kini hendak memberlakukan bea masuk tambahan atas produk impor dari China senilai sekitar 60 miliar dollar AS. Para investor khawatir sikap keras AS tersebut akan dibalas serius oleh China. Perseteruan pun tampaknya semakin meruncing.
Sepanjang tahun 2017, China mengekspor barang dan jasa ke AS senilai 424 miliar dollar AS. Angka kumulatif itu naik 9,3 persen dari tahun 2016. Sementara itu, AS mengirimkan barang dan jasa ke China senilai 186,6 miliar dollar AS sehingga ada defisit 337,2 miliar dollar AS.
Angka defisit ini semakin naik dari tahun ke tahun. Pada tahun 1999, nilai defisit AS terhadap mitra dagangnya China hanya 67,4 miliar dollar AS.
Defisit yang membesar mendorong Trump mengembalikan kejayaan Amerika. Trump berupaya kembali melindungi industri di dalam negeri. Kalau ditelisik lebih jauh, ekspor AS terbesar ke China berupa pesawat jet Boeing dan perlengkapan pesawat lainnya. Ekspor pada sektor itu mencapai 16,3 miliar dollar AS.
Pasar saham bereaksi cepat dengan keputusan dan kemungkinan terjadi perang dagang di antara kedua negara besar itu. Nilai saham Boeing di New York langsung melorot 5,2 persen pekan lalu. Boeing dianggap menjadi sasaran empuk pembalasan China.
Apalagi, apabila diingat, pada tahun 2015, China memesan pesawat Boeing senilai 38 miliar dollar AS. Saham Caterpillar yang pangsa pasarnya di China sangat besar juga turun 5,7 persen. Padahal, saham Boeing merupakan salah satu saham yang berkinerja paling baik pada jajaran indeks Dow Jones.
Walaupun pekan lalu turun, hingga penutupan perdagangan lalu, saham Boeing masih naik sekitar 7 persen sejak awal tahun.
Saham-saham perbankan juga melorot. Penurunan imbal hasil obligasi pemerintah AS membuat investor melepaskan kepemilikan mereka. Saham JP Morgan Chase and Co, misalnya, melorot 4,2 persen.
Penurunan harga saham juga dialami beberapa perusahaan China yang mendaftarkan sahamnya di bursa efek New York. Reksa dana di bursa (exchange traded fund/ETF) Guggenheim China Technology yang turun lebih dari 5 persen mencatatkan penurunan harian terburuk sejak 2015. Saham Baidu Inc dan Alibaba Group Holding Ltd juga tertekan.
Ketika AS juga mengekspor kedelai senilai 12,4 miliar dollar AS, yang merupakan produk ekspor terbesar kedua setelah pesawat, maka boleh jadi China membalas dengan mengenakan tarif impor juga untuk produk ini.
Saham-saham dan ETF perusahaan pertanian, seperti VanEck Vectors Agribusiness, Monsanto Co, Zoetis Inc, Deere & Co, dan Acher-Daniels-Midland Co, pun turun 2 persen-2,5 persen.
Para petani di beberapa negara bagian sudah merasa tidak tenang. Apalagi, hasil panen mereka lebih banyak diekspor daripada dikonsumsi di dalam negeri.
Sementara itu, emiten-emiten peritel sudah berkirim surat kepada Trump untuk membatalkan rencana tersebut. Dengan memberlakukan biaya tambahan, otomatis harga-harga barang akan naik.
Dampak lainnya adalah pada pasar surat utang. China dan Jepang adalah pembeli utama surat utang yang dikeluarkan Pemerintah AS. Para pejabat di China sudah mengusulkan untuk mengurangi, bahkan menghentikan pembelian obligasi terbitan Pemerintah AS. Pekan lalu, imbal hasil obligasi berdurasi 10 tahun membukukan penurunan terbesar kedua dalam tahun 2018 ini.
Skenario terburuknya, pelemahan daya beli masyarakat akan membawa konsekuensi yang lebih jauh dari sekadar perang dagang, yaitu penurunan pertumbuhan ekonomi di AS.
Saham naik
Sebaliknya, ada beberapa saham emiten di China yang melonjak karena ketegangan soal perdagangan tersebut. Saham-saham produsen babi dan pertanian, misalnya, malah menuai berkah.
Hambatan tarif yang dibuat Trump dibalas China dengan mengeluarkan hambatan untuk produk-produk AS yang dapat dikenakan bea masuk hingga 25 persen. Di antaranya produk daging babi, buah segar, dan minuman anggur.
Balasan dari China itu membuka peluang bagi produsen China untuk dapat meningkatkan penjualan mereka di dalam negeri. Saham emiten peternak babi, Hunan New Wellfull, naik hingga 10 persen akhir pekan lalu di bursa Shanghai. Saham emiten peternak babi lain, Guangdong Wens Foodstuff Group, juga naik 3,66 persen.
Saham emiten yang memproses biji, kapas, dan makanan Gansu Dunhuang naik pula 10 persen. Sementara saham emiten produsen minuman anggur Wei Long Grape juga naik 1,38 persen dan saham emiten pertanian Xinjian Korla Pear naik 4,23 persen.
Namun, di bursa Hong Kong, saham WH Group yang merupakan produsen daging babi terbesar yang mengambil bahan baku dari AS malahan turun 5 persen.
Walaupun saham-saham emiten yang diuntungkan dengan ketegangan ini naik, secara umum indeks saham di bursa Shanghai dan Shenzhen juga turun seperti di New York. Indeks Shanghai turun 4,49 persen dan indeks Shenzhen turun 3,39 persen.
Perseteruan di antara kedua raksasa ekonomi itu masih terus berlanjut. Negosiasi yang mungkin akan dilakukan juga akan mengerakkan harga saham-saham emiten yang akan terkait langsung dengan hubungan dagangan antara AS dan China.
Investor juga harus memutuskan, apakah akan tetap memegang sahamnya, membeli lebih banyak, atau melepaskannya. Pertarungan tampaknya masih akan berlanjut
Kompas, 26 Maret 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar