Perilaku politik seseorang tak pernah mungkin diramalkan dengan penuh keyakinan. Alasan paling dasarnya: manusia memiliki consciousness, kesadaran, free will, kemauan bebas, dan reason, rasio, yang memungkinkan ia memilih sesuatu di luar perkiraan pengamat atau ilmuwan.
Saya sering teringat pada kenyataan itu, termasuk ketika Donald Trump memenangi pilpres AS dua tahun lalu dengan jumlah suara sekitar 46% dari semua pemilih. Ia berkampanye secara terbuka sebagai seorang rasis putih, antiorang Amerika-Afrika, Hispanik, dan minoritas lain. Ia juga terang-terangan bersikap seksis, meremehkan martabat perempuan yang layak diperlakukan sama dengan laki-laki.
Dalam politik Amerika modern, dua sikap itu merupakan pantangan keras bagi semua calon presiden dua partai besar yang menguasai panggung politik kami. Pantangan keras dalam pengertian dianggap umum prasangka buruk yang berlawanan dengan hati nurani bangsa. Kiranya tak mungkin diterima, baik oleh puluhan juta pemilih dalam pilpres maupun oleh elite politik, termasuk kepemimpinan partai, para legislator, dan pejabat tinggi di pemerintahan. Makanya, kemenangan Trump mencengangkan pemain dan pengamat.
Namun, dalam satu hal, hubungan kampanye dengan pemerintah Rusia, juga suatu pantangan keras, Trump memberi kesan kuat bahwa dia sedang menyembunyikan sesuatu. Daftar bukti hubungannya amat panjang, mulai dengan pengangkatan Paul Manafort sebagai manajer pertama kampanyenya. Manafort, aktivis kawakan Republik, punya hubungan lama dengan para oligark Rusia melalui kegiatannya selaku konsultan politik di Ukraina. Kini ia didakwa Jaksa Khusus Robert Mueller perihal pencucian uang.
Selain itu, anaknya, Donald Trump Jr, menantunya, Jared Kushner, dan Manafort mengadakan pertemuan pada tengah 2016 dengan pengacara Rusia yang punya hubungan lama dengan Kremlin, pusat pemerintahan Rusia. Tujuan pertemuan itu, mencari informasi bagi kampanye hitam terhadap Hillary Clinton, capres Partai Demokrat waktu itu. Trump senior lalu dilaporkan The Washington Post mendikte pernyataan palsu tentang pertemuan itu. Lagi pula, perbuatan banyak anggota tim sukses Trump mencurigakan, terutama Michael Flynn, yang jadi Penasihat Keamanan Nasional pertamanya, mengaku berbohong kepada FBI, dan kini bekerja sama dengan Jaksa Khusus Mueller.
Trump sendiri belum pernah bersikap kritis terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin. Ketika Putin membantah intervensi Rusia dalam pilpres AS, Trump mengatakan percaya pada keikhlasan Putin! Pengakuan itu diucapkan pada konferensi pers Trump di Danang, Vietnam, terkait KTT APEC November 2017.
Dalam suasana serba menggelisahkan ini, masihkah ada lembaga atau tokoh tepercaya yang mampu dan bersedia melindungi bangsa saya dari rongrongan Rusia? Kelihatannya ada tiga, semua kalangan pejabat.
Pertama, Direktur Intelijen Nasional Daniel Coats, pemimpin 17 badan intelijen. Dalam kesaksiannya di Senat 13 Februari lalu, ia menegaskan, "keberhasilan pemerintah Rusia dalam usahanya menganggu kampanye presidensial 2016 mengisyaratkan bahwa Rusia akan mengulangi kegiatan itu pada pemilu paruh waktu 2018."
Kesimpulan Coats disetujui lima kepala badan yang hadir hari itu, termasuk Direktur CIA Mike Pompeo, yang pernah dikhawatirkan terlalu dekat pada Trump. Trump sendiri diam.
Kedua, tiga hari kemudian Jaksa Khusus Mueller mendakwa 13 orang Rusia yang dituduh terlibat "suatu jaringan canggih untuk menyabot pilpres 2016 dan mendukung kampanye Trump." Para pelaku itu "mencuri identitas warga-negara Amerika, berpose sebagai aktivis, dan menunggangi isu-isu hangat seperti imigrasi, agama, dan ras untuk mendistorsi kampanye pilpres". Balasan Trump: "Kampanye Trump tidak bersalah—no collusion, tidak bersekongkol!"
Tak terbantahkan
Tudingan terakhir dari dalam pemerintahan diluncurkan 17 Februari di Konferensi Keamanan Munich, Jerman, oleh Jenderal HR McMaster, Penasihat Keamanan Nasional pengganti Flynn. Membicarakan dakwaan Jaksa Khusus, McMaster bersitegas, "Keterlibatan pemerintahan Rusia dalam pilpres AS tak terbantahkan."
Namun, Trump membantah penasihatnya sendiri dengan kicauan khasnya: "Satu-satunya persekongkolan adalah antara Rusia dan Sang Penjahat Hillary serta Partai Demokrat!"
Berita ini tentu menggembirakan setiap patriot yang mencintai demokrasi. Ternyata sejumlah pejabat pemerintahan tak tergoyahkan oleh rayuan dan gertakan Trump. Ini perlu digarisbawahi mengingat betapa Trump mengabaikan banyak pantangan dan norma demokrasi yang berlaku ratusan tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar