Orang cenderung membebankan semua kesalahan di tangan rezim Bashar al-Assad. Dampaknya demo oleh beberapa kalangan di Jakarta, yang mengecam Assad dengan menyebutnya pembantai rakyatnya sendiri. 

Salah persepsi ini bersumber dari pemberitaan media yang kurang berimbang. Selain tidak mengirim langsung wartawan ke lapangan, media di Indonesia menerjemahkan berita-berita dari media asing yang kebanyakan menyandarkan informasi pada lembaga bernama Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) berbasis di Inggris.

Anti-Assad 

LSM ini dikelola oleh keturunan Suriah yang jelas-jelas anti- Assad. Sumber  informasi dari lapangan didapatnya dari "aktivis oposisi". Sejumlah video dan foto dari lapangan pun disediakan oleh LSM bentukan intelijen Barat, White Helmets.

Tidak jarang kita jumpai video dari zona perang lain atau video yang disutradarai disebarluaskan sebagai berita. Jangankan melakukan asas jurnalisme terpenting, yaitu mengonfirmasi berita dari pihak yang berseberangan, media Barat cenderung menganggap pemberitaan perang Suriah sebagai tugas patriotik mendukung kebijakan negerinya. 

Akhir 2016, jurnalis perang kawakan Inggris, Robert Fisk, menulis, "Sangat banyak kerusakan yang mencederai kredibilitas jurnalisme dan politisi dengan menerima hanya satu sisi cerita, ketika tak ada satu pun reporter yang bisa mengonfirmasi apa yang mereka beritakan. Kita memberikan jurnalisme kepada media dan orang-orang bersenjata yang mengontrol area itu…." 

Keprihatinan Fisk terkait dengan menyesatkannya media Barat dalam pemberitaan konflik dan proses pembebasan Aleppo dari tangan milisi oposisi. 

Sama seperti pemberitaan yang hari-hari ini kita baca tentang Ghouta. Waktu itu Aleppo dikabarkan sedang menjadi korban genosida oleh tentara Suriah. Namun, berita itu akhirnya terbantahkan ketika setelah dibebaskan, pada 25 Desember 2016 muncul berita gegap gempitanya ribuan warga Aleppo merayakan Natal. Inilah Natal pertama yang mereka rayakan setelah lima tahun tercekam kengerian atas kehadiran kelompok-kelompok fanatik yang menghalalkan teror demi membentuk negara "khilafah".

Menurut  The Washington Post, Rabu (28/2), butuh waktu lama bagi pemerintahan Damaskus untuk merebut kembali Ghouta timur karena puluhan ribu milisi yang bercokol di sana telah bersiap bertahun-tahun. Selain sudah membangun terowongan bawah tanah untuk perlindungan, mereka juga memiliki persenjataan sangat lengkap. 

The Washington Post bercerita, selain menghujani Damaskus dengan mortir, milisi ekstrem itu pernah mengurung kelompok minoritas Alawi di kerangkeng dan ditaruh di pusat-pusat keramaian sebagai tameng serangan bom dari Damaskus.

Pemberitaan tentang operasi tentara Suriah di Ghouta timur sebenarnya adalah pengulangan dari cerita pembebasan Aleppo. Melihat tentara milisi di Ghouta makin terdesak, pers dan intelijen Barat menyebarkan berita genosida di Ghouta dan meminta perhatian dunia.

Setiap kali milisi anti-pemerintah yang merupakan proksi Barat untuk menjatuhkan Assad terdesak, sidang-sidang darurat Dewan Keamanan PBB diadakan untuk memaksakan gencatan senjata. Tidak lupa pemberitaan tentang penggunaan senjata kimia oleh tentara Assad yang tidak pernah terbukti.

Pemberitaan yang masif sebenarnya hanya mengindikasikan bahwa milisi jihadis yang terdiri dari sejumlah tentara asing bentukan Barat sedang mengalami kekalahan. Berita terbaru membenarkan hal ini ketika penduduk Ghouta mulai berani berkelompok melawan milisi bersenjata yang selama ini menyandera mereka sebagai respons kedatangan  tentara Suriah.

Sangatlah mengherankan apabila kita gagal membaca motivasi Barat dalam perang Suriah setelah menyaksikan jatuh dan hancurnya Libya serta tragedi agresi Arab Saudi dengan sokongan Amerika Serikat di Yaman yang masih berlangsung sampai kini.

Bagi AS dan kawan-kawan, Assad—yang membangkang terhadap kemauan Barat, membahayakan eksistensi Israel, sekutu Iran dan Hezbollah di Lebanon, serta kawan dekat Rusia—harus distop dan disingkirkan. Tak ada niat mereka mendirikan demokrasi di sana karena AS melindungi rezim-rezim otoriter di Timur Tengah.

Namun, tidak semudah menjatuhkan Moammar Khadafy, Barat terus terkejut berhadapan dengan Assad. Ternyata Suriah tak semudah Libya untuk ditaklukkan. Kegagalan demi kegagalan dihadapi Barat meski dengan menciptakan tragedi kemanusiaan terbesar abad ini. Mengapa? Pertama, Assad bukan Khadafy dan Suriah bukan Libya yang tak siap hadapi manuver Barat.

Tidak seperti Saddam Hussein yang dibenci rakyatnya, Assad didukung oleh mayoritas warga Suriah yang bersedia berkorban untuk mempertahankan kedaulatan negerinya. Assad juga punya teman setia di Iran dan Lebanon yang siap membantu. Akhirnya, Rusia memutuskan tidak membiarkan Barat sesukanya menguasai Timteng.

Melawan teroris

Seperti banyak diberitakan, sejak 18 Februari Pemerintah Suriah melakukan operasi pembebasan di Ghouta, di pinggiran Damaskus, dari tangan milisi bersenjata yang terafiliasi Al Qaeda dan ideologi ekstrem lain. Mereka adalah Jayish al-Islam, Jabhat an-Nusra, Levant Liberation Commitee (Haiat Tahrir al- Sham), dan Faylaq ar-Rahman. Semua kelompok berambisi membentuk khilafah di Suriah.

Wawancara Sky News Australia beberapa hari lalu dengan Dr Marcus Papadopoulos, seorang pengamat politik asal Inggris, seharusnya membuat kita terenyak. Dia mengingatkan kepada publik Australia bahwa yang dilawan tentara Suriah di Ghouta timur adalah kelompok dengan ideologi sama dengan mereka pelaku Bom Bali.

Bom Bali I merupakan aksi teroris terbesar di Indonesia yang menewaskan dan melukai ratusan orang, kebanyakan asal Australia dan sebagian orang Indonesia. Setelah Bom Bali I, berbagai aksi bom bermunculan di Indonesia, dari bom JW Marriott, bom Kedubes Australia, bom Gereja Immanuel Palu, bom Bali II, bom Solo, bom Sarinah, hingga bom Kampung Melayu.

Anehnya, sebagai bangsa yang pernah secara langsung mengalami aksi brutal kelompok ekstrem atas nama agama, simpati dan empati kita terhadap Pemerintah Suriah terasa minim. Padahal, bangsa Suriah sedang menghadapi kelompok ekstremis dengan ideologi yang sama dengan pelaku pengeboman di Indonesia. Salah satu indikator lawan-lawan pemerintahan Assad adalah kelompok ekstremis, adalah dukungan suara-suara kelompok garis keras di negeri kita lewat media sosial dan media lain kepada kelompok oposisi.

 Dapatkah kita membayangkan betapa porak porandanya negeri kita andai tahun 1998 Soeharto menolak mundur dan kemudian kelompok reformis mendatangkan milisi asing untuk bertempur melawan Soeharto? Atau, andai ribut-ribut jelang Pilkada DKI tahun lalu dicampuri oleh kekuatan jihadis asing?

Untunglah bangsa Indonesia tinggi rasa nasionalismenya dan Tuhan masih melindungi.

Indonesia adalah negara yang plural dengan dasar negara Pancasila. Konflik Suriah seharusnya menjadi pelajaran penting bagi kita bahwa tidak ada tempat di Nusantara bagi kelompok ekstremis yang ingin mengobarkan konflik dan peperangan.

Tantangan bagi media kita adalah menjadi media yang bertanggung jawab dalam menjabarkan bahaya ekstremisme dengan menyampaikan pemberitaan faktual mengenai konflik Suriah dari sumber bonafide. 

Posisi pemerintah kita sudah benar dan tidak terpengaruh oleh pemberitaan media yang berat sebelah. Pemerintah telah terus- menerus mengawasi warga negara Indonesia apabila kepergiannya ke luar negeri dicurigai dalam rangka bergabung dengan milisi di Suriah atau Irak. Beberapa bahkan sudah diamankan.

Upaya dan kewaspadaan ini harus terus dipelihara. Langkah yang lebih maju tentunya apabila ada peluang bagi pemerintah kita untuk berperan sebagai juru damai di antara faksi yang bertikai di sana seperti yang sudah diusahakan di Afghanistan.

Abdillah Toha Pemerhati Politik

Kompas, 13 Maret 2018