PRIYOMBODO

Pergerakan indeks di gedung Bursa Efek Indonesia di Jakarta, Jumat (9/3). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menutup pekan ini di zona merah, terkoreksi tipis 9,699 poin ke level 6.433,32.

Pelemahan nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan sejak Februari lalu meski fondasi perekonomian baik memerlukan solusi segera.

Pemerintah, pelaku pasar, dan pengamat keuangan menyebut penyebab pelemahan nilai tukar rupiah dan IHSG adalah faktor eksternal. Pelemahan terjadi setelah Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell yang baru diangkat mengatakan di depan Kongres AS, akhir Februari lalu, bahwa perekonomian AS tetap kuat.

Pernyataan tersebut mengindikasikan bank sentral AS (The Fed) akan menaikkan suku bunga antara tiga dan empat kali sepanjang 2018. Hal itu mengindikasikan imbal hasil surat berharga AS akan naik dan berakibat keluarnya dana asing dari Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akhir pekan lalu Rp 13.794, melemah dari Rp 13.774 sehari sebelumnya. Sementara IHSG menjadi 6.433 pada 9 Maret dari 6.689 pada 19 Februari.

Sejak awal tahun hingga Maret jumlah dana asing yang keluar dari Indonesia besarnya Rp 12 triliun. Dana asing tersebut keluar meski imbal hasil obligasi Pemerintah Indonesia untuk tenor 10 tahun naik dari 6,2 persen menjadi 6,8 persen.

Dari sisi makroekonomi, kondisi Indonesia baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan IV-2017 mencapai 5,19 persen serta inflasi pada Januari dan Februari 2018 besarnya 0,79. Neraca perdagangan juga surplus 11,84 miliar dollar AS sehingga memperkuat cadangan devisa nasional. Indikator ini akan dijaga pemerintah.

Di tengah kebijakan makroekonomi Indonesia yang menghasilkan indikator ekonomi meyakinkan tersebut, ada baiknya kita juga mengingat dunia menghadapi tatanan ekonomi yang berubah. Ketidakpastian semakin menjadi keniscayaan di masa depan sehingga penyikapannya perlu bersifat jangka panjang.

Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Christine Lagarde pada sambutan kunci Konferensi Internasional Tingkat Tinggi di Jakarta, 28 Februari lalu, mengatakan, dalam tatanan ekonomi yang berubah, negara-negara harus siap menghadapi tiga tantangan utama: mengelola ketidakpastian yang semakin meningkat, membuat ekonomi semakin inklusif, dan bersiap untuk revolusi digital.

Indonesia berhasil melalui krisis keuangan global 2008 dan periode saat The Fed mengurangi pasokan dana ke pasar uang dunia pada 2013. Kini, negara-negara harus bersiap menghadapi normalisasi moneter bertahap negara-negara maju.

Sejumlah pengalaman empiris dan hasil penelitian memberikan informasi mengenai apa yang perlu dilakukan pemerintah suatu negara menghadapi tiga tantangan utama tersebut.

Pendalaman pasar keuangan, reformasi pasar tenaga kerja, industrialisasi, dan ekspor yang lebih berkualitas menjadi solusi bagi banyak negara. Hal lain, mendorong ekonomi berbagi atau ekonomi yang inklusif untuk mengurangi kesenjangan kemakmuran dan membuat ekonomi lebih berkelanjutan.