Padahal, warga asal Bogor, Jawa Barat, itu sudah mendaftarkan kartu SIM telepon selulernya, seperti diatur Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sesuai pemahamannya, jika registrasi kartu SIM sudah dilakukan, dia tidak akan lagi mendapatkan beragam promosi melalui nomornya. Nomor telepon seluler dan data kependudukannya tak dimanfaatkan pihak lain. Namun, ia kecewa karena janji Kemkominfo itu tak terbukti.

Pengaduan itu senada dengan temuan Ombudsman Republik Indonesia yang disiarkan Senin (19/3). Ombudsman RI menerima sejumlah laporan dari masyarakat mengenai dugaan kebocoran data kependudukan untuk meregistrasi nomor telepon seluler prabayar. Keluhan masyarakat itu diterima Ombudsman RI melalui media sosial dan telepon.

Dalam rapat dengar pendapat antara Komisi I DPR dengan Kemkominfo dan operator telekomunikasi, Senin, di Jakarta, terungkap pendaftaran kartu telepon seluler prabayar itu penting untuk melindungi rakyat, misalnya dari penipuan. Apalagi data pengguna kartu prabayar terkonfirmasi dengan data kependudukan dan pencatatan sipil. Masa pendaftaran mulai Oktober 2017 hingga 28 Februari 2018. PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) dan PT XL Axiata hingga Maret 2018 memblokir 22,6 juta nomor telepon seluler yang tak didaftarkan.

Namun, penyalahgunaan data pelanggan setelah tenggat pendaftaran masih terjadi. Juga ada ketaksesuaian data antara sistem operator telekomunikasi, sekitar 304,859 juta nomor teregistrasi, dengan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Data nomor teregistrasi sesuai data Kemendagri mencapai 350,788 juta.

Menurut Konvensi Montevideo 1933, syarat berdirinya negara harus memenuhi unsur konstitutif dan deklaratif. Konstitutif adalah unsur pembentuk negara yang berasal dari dalam, seperti rakyat, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat. Deklaratif adalah unsur pengakuan dari negara berdaulat yang lain. Unsur rakyat tentu saja terkait erat dengan data kependudukannya.

Pemerintah wajib melindungi data kependudukan warganya. Ketentuan ini diatur tegas dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013, merevisi UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pasal 77 UU itu menyatakan, setiap orang dilarang memerintahkan dan/atau memfasilitasi dan/atau melakukan manipulasi data kependudukan dan/atau elemen data penduduk. Pasal 79 Ayat (1) memastikan data itu wajib disimpan dan dirahasiakan oleh negara.

Petugas ataupun pengguna data kependudukan dilarang menyebarluaskan data yang tidak sesuai kewenangannya. Pasal 95A UU No 24/2013 menegaskan, pelaku penyebarluasan tanpa hak data kependudukan dan data pribadi bisa dipidana paling lama dua tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp 25 juta.