Sebua ironi, mengapa bagi Indonesia yang jumlah penduduknya nomor empat terbesar di dunia sangat sulit mencetak kader pemimpin nasional yang kuat, berkarakter mengagumkan, berkompetensi membanggakan dan visioner, yang mampu memberi harapan bagi kemajuan bangsa-negara di masa datang?

Proses Pemilihan Presiden/Wakil Presiden 2019 sudah mulai bergulir. Berbagai media pun sudah meramaikannya dengan diskursus tentang pencalonan serta koalisi parpol pendukungnya.

Dalam bulan Agustus nanti atau tinggal empat bulan lagi, calon pasangan presiden-wakil presiden harus sudah didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun sejauh ini calon yang secara resmi telah dimunculkan lewat partai politik baru Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Keduanya adalah muka lama yang pernah bertarung dalam Pilpres 2014. Dikabarkan pula bahwa Prabowo pun masih mikir-mikir karena dia realistis dan tidak mau dikompori.

Satu harian terbitan Jakarta menilai tiadanya wajah baru kader pimpinan nasional yang segar dan berkualitas dalam perhelatan politik 2019 ini sebagai tanda bahwa bangsa Indonesia belum move on, sekaligus tengah mengalami krisis kader pemimpin nasional.

Akar masalah
Sebuah ironi, mengapa bagi Indonesia yang jumlah penduduknya nomor empat terbesar di dunia sangat sulit mencetak kader pemimpin nasional yang kuat, berkarakter mengagumkan, berkompetensi membanggakan dan visioner, yang mampu memberi harapan bagi kemajuan bangsa-negara di masa datang? Masalah ini bukan hal sederhana, melainkan sangat fundamental yang akan memengaruhi eksistensi dan keberhasilan bangsa-negara ke depan. Terlebih dalam menghadapi tantangan bahkan ancaman aktual dalam percaturan global yang diwarnai persaingan ketat.

Akar masalahnya, pertama, karena sejak reformasi kita telah menganut dan memberlakukan sistem politik/demokrasi liberal sehingga fondasi Pancasila pun digantikan dengan liberalisme-individualisme. Sesuai watak sistem politik/demokrasi liberal yang bercirikan kompetisi bebas, bila diterapkan di negara berkembang sangat potensial memunculkan oligarki.

Hal itu ditambah keberadaan UU Parpol yang membuka peluang bagi para elite untuk memperoleh kewenangan luas dalam mengendalikan parpol, sehingga kini pada umumnya parpol di Indonesia telah dihinggapi dan dibelenggu oligarki kapitalis/korporasi serta dinasti.  Tidak heran bila sebagian (besar) partai politik di Indonesia menjadi ekslusif-tertutup, sehingga menjadi hambatan bagi proses kaderisasi yang sehat. Sebaliknya, yang tumbuh subur adalah nepotisme dan machiavellisme.

Kedua, pada umumnya parpol tidak difungsikan dengan sebagaimana mestinya. Sering kita saksikan justru dijadikan kendaraan politik yang disewakan. Akibatnya, secara derivatif telah menyuburkan politik uang yang meluas melanda berbagai kalangan, termasuk para pemilik hak suara, sehingga ongkos politik pun menjadi sangat mahal. Pada akhirnya kader pemimpin di pusat maupun daerah yang muncul hanya mereka yang kantongnya tebal, tidak tersaring kader yang sesungguhnya berkualitas namun tidak memiliki cukup 'gizi'.

Ketiga, berpolitik tanpa ideologi (Pancasila), lalu berkembang pragmatisme overdosis. Panggung politik pun hanya diramaikan oleh pentas perebutan kekuasaan antar-elite, tidak untuk kepentingan rakyat. Diperparah oleh kondisi multi-partai yang membuat kepentingan para elite politik menjadi luas dan beragam. Akibatnya, kaderisasi pimpinan berdasarkan meritokrasi yang sesungguhnya merupakan salah satu fungsi parpol tidak berjalan, dikalahkan oleh kepentingan para elitenya.

Keempat, berkembangnya dunia "simulacra", sebuah kehidupan masyarakat post-modern yang diwarnai campur-aduknya antara: nilai-citra, benar-hoax, nyata-semu, asli-palsu; buah dari pesatnya kemajuan teknologi informasi yang dimanfaatkan masyarakat dalam melakukan komunikasi sosial. Lewat berbagai media informasi, dikembangkan "proses simulasi" yang antara lain bertujuan untuk menyulap citra seseorang sehingga melambung tinggi, jauh dari kenyataannya. Pada ujungnya, bermunculan kader karbitan, produk simulacra yang berkualitas semu.

Kelima, sistem otonomi daerah yang pada tataran implementasinya kebablasan. Pada umumnya elite politik daerah mengidentifikasikan diri/kelompoknya berdasarkan SARA (suku, agama, ras, antar-golongan), lalu berkembang politik identitas di daerah. Akibatnya terjadi segregasi sosial-horizontal yang juga berdasarkan SARA. Kondisi ini selain potensial memicu konflik, juga menghambat pertumbuhan kader daerah yang sebenarnya berkualitas tapi tak memiliki kecocokan SARA dengan elitenya.

Rekomendasi

Krisis kader pemimpin nasional ini sebagian besar karena sistem kenegaraan yang tak cocok serta peran parpol dan (terutama) elite politik/pucuk pimpinannya. Maka, upaya perbaikannya pun sangat bergantung pada cara pandang dan kemauan mereka. Jika demi kepentingan bangsa-negara mereka bersedia menanggalkan kenyamanan yang didapat dari sistem politik/demokrasi yang berlaku saat ini, maka jalan ke arah perbaikan pun akan terbuka lebar.

Menilik akar masalah di atas, dapat disimpulkan krisis kader pemimpin nasional ini sebagian besar karena sistem kenegaraan yang tak cocok serta peran parpol dan (terutama) elite politik/pucuk pimpinannya. Maka, upaya perbaikannya pun sangat bergantung pada cara pandang dan kemauan mereka. Jika demi kepentingan bangsa-negara mereka bersedia menanggalkan kenyamanan yang didapat dari sistem politik/demokrasi yang berlaku saat ini, maka jalan ke arah perbaikan pun akan terbuka lebar.

Langkah yang harus dilakukan, pertama dan yang paling utama adalah melakukan kaji ulang terhadap UUD hasil amandemen yang telah membuat sistem politik/demokrasi kita menjadi sangat liberal, tidak cocok dengan lingkungan sosial maupun akar budaya bangsa.

Secara filosofis, kaji ulang adalah mengembalikan "roh" Pancasila ke dalam batang-tubuh UUD, implementasinya antara lain dengan mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan pusat kedaulatan rakyat. Diikuti dengan revisi semua UU  menyangkut politik, seperti: UU MD3, UU Parpol, UU Pemilu dan Pilkada, dan juga UU Otonomi Daerah. Dalam konteks ini perlu dipikirkan kemungkinan agar parpol tidak menjadi satu-satunya sarana atau akses bagi rekrutmen kepemimpinan nasional, sedemikian rupa sehingga para kader dari luar parpol pun dapat ikut berkontestasi.

Langkah berikutnya, segera melakukan "reformasi parpol", yang pada intinya menjalankan fungsi parpol secara utuh. Terdapat banyak fungsi parpol, akan tetapi yang penting di antaranya fungsi perekrutan kader pimpinan politik, pendidikan politik, komunikasi politik, artikulasi dan agregasi kepentingan.

Selanjutnya, menegakkan meritokrasi dalam internal parpol dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab. Meritokrasi akan meniadakan politik dinasti, politik uang, lahirnya politisi karbitan, serta praktik-praktik machiavellisme.

Semoga ke depan akan lahir kader-kader pemimpin nasional yang sangat kita butuhkan dan harapkan.