Apakah kali ini militer Thailand akan memenuhi janjinya: mengembalikan negara kepada kepemimpinan sipil dan memulihkan demokrasi?
Sudah berkali-kali militer, penguasa Thailand, berjanji. Namun, janji itu belum juga dilunasi. Tahun 2014 silam, militer mengambil alih kekuasaan dari genggaman tangan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra. Yingluck kemudian diadili secara in absentia dan dijatuhi hukuman lima tahun penjara.
Bukan kali ini saja militer mengambil alih kekuasaan, kudeta. Sejak 1932 tercatat militer sudah melakukan kudeta sekurang- kurangnya 12 kali. Salah satu korbannya, selain Yingluck, adalah Thaksin Shinawatra, yang sekarang juga hidup di luar Thailand.
Harapan bahwa kali ini militer akan memenuhi janjinya terjadi setelah Deputi Perdana Menteri Wissanu Kreangam mengatakan bahwa diharapkan pemilu akan dilaksanakan pada Januari atau Februari tahun depan. Bahkan, Perdana Menteri Prayudh Chan-o-cha secara tegas mengatakan paling lambat pemilu akan dilaksanakan akhir Februari 2018.
Pernyataan dua petinggi pemerintah dukungan militer itu telah ditanggapi oleh banyak organisasi untuk ikut pemilu. Menurut Komisi Pemilu Thailand, sudah ada 38 organisasi kemasyarakatan yang mendaftarkan diri dan mereka berpeluang untuk disahkan sebagai partai peserta pemilu.
Pertanyaannya kini adalah apakah banyaknya organisasi kemasyarakatan dan partai yang mendaftarkan diri itu sebagai pertanda akan pulihnya demokrasi di Thailand? Atau, apakah mereka mendaftarkan diri untuk ikut pemilu sebagai usaha untuk mengetes apakah militer benar-benar akan menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada sipil dan memulihkan demokrasi yang diambil dari tangan rakyat?
Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Demokrasi di Thailand berulang kali diuji atau malah disisihkan. Saat ini bisa dikatakan Thailand menganut sistem demokrasi terpimpin, semi-demokrasi. Konstitusi baru (2017) yang menggantikan Konstitusi 2007 memberikan kekuasaan politik signifikan, sangat berarti, kepada militer, yakni melalui pemilihan 250 senator dan pembentukan Dewan Strategi Nasional yang akan memastikan pemerintah mendatang taat pada pola induk (master plan) 20 tahun yang disusun militer.
Dengan demikian, militer tetap ambil bagian, sekurang-kurangnya menjaga agar pola induk yang mereka susun benar-benar berjalan; benar-benar dilaksanakan oleh pemerintah baru hasil pemilu. Tentu pertanyaannya adalah apa yang akan dilakukan militer jika ternyata pemerintah baru hasil pemilu nantinya tidak menjalankan pemerintahan sesuai dengan pola induk itu. Apakah militer, seperti yang sudah-sudah, akan mengambil tindakan dengan menyingkirkan pemerintah pilihan rakyat?
Tidak mudah, memang, bagi Thailand untuk kembali ke jalur demokrasi, dengan memaksa militer kembali ke barak. Harus diakui bahwa militer tetap merupakan aktor penting dalam panggung politik Thailand, terutama dalam menyokong monarki tetap berdiri tegak.
Kompas, 5 Maret 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar