RONY ARIYANTO NUGROHO

Mujiono (35) petani lada di Tanggamus, Lampung, memeriksa tanaman ladanya, Rabu (21/3). Perkebunan lada di Lampung mulai menyusut akibat anjloknya harga lada 2 tahun terakhir. Harga lada pada 2016 mencapai Rp 110 ribu per kilogram, namun kini para petani hanya mampu menjual dengan harga Rp 40 ribu per kilogram. Selain itu, petani juga dihadapkan pada permasalahn penyakit tanaman yang menyerang batang namun hingga kini belum diketahui penanggulangannya.

Judul berita utama harian ini, Senin (26/3), adalah "Riset Jadi Kunci Kesuksesan". Berita itu menyebutkan, inovasi berbasis riset masih minim.

Minimnya riset terhadap berbagai komoditas unggulan, seperti lada, singkong, dan kopi, menyebabkan produktivitas Indonesia kalah dibandingkan dengan negara lain. Sebagai contoh dikemukakan, Indonesia pernah menguasai pasar ekspor lada dunia hingga sebelum tahun 2013. Kini, pasar lada dunia dikuasai Vietnam yang sebelum tahun 1980 belajar dari Indonesia.

Kita yakin, meski ada faktor cuaca dan kesuburan lahan, keberhasilan negara seperti Vietnam di bidang lada tak bisa dilepaskan dari riset. Berita kemarin menyimpulkan, minimnya riset menjadi salah satu faktor merosotnya sejumlah komoditas pertanian yang menjadi andalan perekonomian masyarakat.

Diskursus tentang merosotnya produktivitas di bidang pertanian harus menjadi pengingat sekali lagi tentang pentingnya riset, yang tidak saja dibutuhkan untuk berbagai bidang lain, mulai dari kesehatan hingga kemiliteran, bahkan juga untuk ilmu-ilmu yang semakin kita butuhkan, seperti geologi dan geofisika-meteorologi. Yang terakhir ini terkait dengan meningkatnya kesadaran bahwa bangsa Indonesia tinggal di lingkungan Cincin Api, dan sekarang ini sedang menghadapi fenomena perubahan iklim akibat pemanasan global.

Hingga beberapa tahun terakhir, bayangan kita tentang anggara riset adalah sangat rendah, di bawah 0,1 persen dari APBN. Dalam Refleksi 50 Tahun Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rieke Diah Pitaloka, politikus PDI-P yang menjadi Duta Informasi Ilmiah LIPI, menyebut dana riset Indonesia kalah dari Vietnam dan Filipina.

Terkait dengan soal ini, presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri setahun sebelumnya sudah melobi Presiden Joko Widodo untuk menambah anggaran riset nasional.

Ada tiga masalah pokok sebenarnya yang bisa diangkat menyangkut riset untuk pembangunan di berbagai bidang ini. Pertama, budaya riset itu sendiri masih perlu dibangkitkan di kalangan ilmiah Indonesia.

Kedua, seperti satu kali pernah dikritik Wakil Presiden Jusuf Kalla, topik riset perlu difokuskan supaya relevan dengan kegiatan pembangunan. Wapres mengakui, memang ada banyak riset yang dilakukan, tetapi di mana manfaatnya?

Yang ketiga, yang tidak kalah penting, ada kebiasaan di kalangan bangsa kita bahwa apa yang bisa dibeli, mengapa harus dibikin? Ini tentu menyurutkan riset dan inovasi karena tidak ada komitmen penggunaan oleh bangsa.

Kita menggarisbawahi pentingnya membawa riset dalam arus utama pembangunan, tentu dengan membuat urutan prioritas, sehingga kasus merosotnya produksi lada dan keterbelakangan lain di berbagai bidang bisa kita atasi.