WAWAN H PRABOWO

Undang- Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD ( UU MD3) yang baru saja diterapkan mendapat penolakan dari sejumlah kalangan masyarakat, salah satunya adalah kelompok masyarakat yang mengatasnamakan dirinya Koalisi Masyarakat Tolak MD3 di kawasan Tebet, Jakarta, Kamis (15/3). Koalisi yang menjadi penggagas petisi change.org/tolakuumd3 tersebut mengajak masyarakat dan pendukung petisi untuk bersama-sama menjadi pengaju uji formil UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi.

UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD adalah satu contoh kelemahan legislator menyusun undang-undang. UU dibuat hanya untuk kepentingan para elite.

Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) jelas bermasalah! Dari sisi formil, DPR bersama pemerintah memang bertugas membuat undang-undang. Namun, dari sisi kepantasan, DPR rasanya tidak pantas membuat undang-undang yang hanya menambah kewenangan lembaga itu dan memproteksi anggota serta lembaga itu dan menghambat kebebasan rakyat. Pasti ada konflik kepentingan di sana.

Dalam dunia hukum dikenal pandangan, tidak seorang pun bisa menjadi hakim untuk kepentingan dirinya sendiri. Pandangan itu untuk menghindarkan terjadinya konflik kepentingan atau pemanfaatan kewenangan untuk kepentingan dirinya sendiri. Adalah realitas bahwa DPR dan pemerintah bersama-sama membuat undang-undang, tetapi seharusnya dilakukan konsultasi publik, mendengarkan suara publik. Ini yang hampir tidak pernah dilakukan.

UU MD3 yang memberikan kewenangan kepada Majelis Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil tindakan hukum dan tindakan lain terhadap siapa pun yang merendahkan martabat DPR bisa menimbulkan kesan DPR antikritik. Pasal itu tidak beranjak dari realitas sosial mengenai kinerja DPR yang rendah dalam tingkat kehadiran dan miskin dalam produktivitas membuat undang-undang.

Kelemahan lain tampak dari hubungan Presiden Joko Widodo dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam proses pembuatan undang-undang. Pengakuan Presiden Jokowi tidak mendapat laporan utuh tentang proses pembuatan undang-undang yang menimbulkan kontroversi di masyarakat, sehingga Presiden Jokowi tidak menandatanganinya, merupakan masalah tersendiri. Terlepas komunikasi yang terjadi atau tidak terjadi antara Presiden Jokowi dan Menteri, Presiden selaku kepala pemerintahan harus bertanggung jawab.

Sudah menjadi realitas politik, UU MD3 telah berlaku kendati Presiden tidak menandatanganinya. Sebagian elemen masyarakat resisten dan menyerukan penolakan. Adapun Presiden Jokowi tidak mau menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) karena perppu dinilai tidak efektif karena juga harus mendapat persetujuan DPR.

Menyarankan rakyat melakukan uji materi ke MK memang solusi konstitusional, meski ada kesan mau melemparkan masalah kepada lembaga lain. Saran lain yang bisa dipertimbangkan adalah DPR atau pemerintah mengajukan revisi UU MD3 dan mengakomodasi keberatan masyarakat.

Langkah itu wajar dan penting apalagi di tahun pemilu. DPR pun bisa mengambil prakarsa politik untuk "memandulkan" sementara kewenangan MKD, tidak menggunakan kewenangan menyandera orang yang tidak mau hadir, melalui sebuah keputusan politik DPR.